Ellysa
Gianna, gadis berusia 16 tahun blasteran Amerika-Indonesia yang biasa
dipanggil Elsa itu kini duduk di kelas 10 di salah satu sekolah
berstandar internasional dimana seluruh muridnya adalah golongan orang
kaya. Elsa cantik tentu saja, namun pribadinya yang pendiam membuatnya
menjadi sosok penyendiri karena jarang bergaul dengan teman sebayanya.
Karena hal itu, setelah menamatkan pendidikan menengah pertamanya di
Amerika, orang tuanya memutuskan menyekolahkannya di Indonesia dengan
tujuan agar Elsa bisa lebih terbuka dengan sekelilingnya.
Bagi
yang tak mengenal Elsa, mungkin mereka sudah menganggap gadis itu
sombong karena tak mau berteman dengan siapapun. Tapi kenyataannya,
gadis itu hanya terlalu pemalu dengan menganggap dirinya tak pantas
berteman dengan siapapun karena ia hanya bisa membuat mereka kerepotan
dengan tingkah manja dan cengengnya. Saat di sekolah lamanya pun Elsa
hanya mempunyai seorang teman, itu pun bukan ia yang menghendaki
pertemanan itu. Karenanya Elsa lebih memilih menutup dirinya. Menempati
zona yang menurutnya aman.
.
.
"Berbaris rapi, cepat!" teriak seorang pemuda dengan jas khusus yang hanya dimiliki oleh anggota OSIS di sekolah baru Elsa. Hari ini adalah hari terakhir pelaksanaan MOPD. Itu artinya penderitaan Elsa juga akan berakhir setelah enam hari penuh mendapat pelatihan mental dari para panitia MOPD itu.
.
"Berbaris rapi, cepat!" teriak seorang pemuda dengan jas khusus yang hanya dimiliki oleh anggota OSIS di sekolah baru Elsa. Hari ini adalah hari terakhir pelaksanaan MOPD. Itu artinya penderitaan Elsa juga akan berakhir setelah enam hari penuh mendapat pelatihan mental dari para panitia MOPD itu.
Elsa
meluruskan barisan takut-takut setelah lagi-lagi mendengar teriakan
aba-aba dari panitia MOPD yang memekakkan telinga. Panas matahari
semakin menyengat kulit kepala, membuat keringat sebesar biji jagung
mengalir melalui pelipis juga lehernya. Sudah hampir dua jam para
peserta didik baru diorientasi oleh panitia MOPD yang tak lain merupakan
anggota OSIS yang sangar bukan main.
Elsa
dengan terpaksa menunduk ketika kepalanya berdenyut pening. Kedua
matanya ia pejamkan sejenak lalu dibukanya lagi guna menghalau rasa
pusing yang mendadak menderanya.
"El,
are you okay? Kamu dipanggil." bisik Kenia. Teman barunya yang bermata
sipit. Satu-satunya siswi yang menyapa Elsa dan mengajak gadis pendiam
itu berteman.
"Baris nomor tiga dari depan, maju!" panggil Kak Beni, salah satu panitia MOPD berwajah sangar.
Elsa
melangkah takut dan berdiri di depan Beni dengan kepala menunduk.
Menunggu dengan gusar hukuman apa yang akan diberikan padanya dengan
kesalahan entah apa yang dia perbuat.
"Kamu tau dimana letak kesalahanmu?"
Elsa menjawab dengan gelengan pelan. Memang ia tak tahu kesalahannya karena ia tak merasa membuat kesalahan apapun.
"Jawab!" ujar Beni menaikkan oktaf suaranya.
Terkesiap,
Elsa mendongak cepat untuk kemudian menunduk lagi. Ia mundur selangkah.
"T-tidak tau Kak." gumamnya disertai gelengan.
Setelahnya,
yang Elsa dengar adalah ceramahan panjang lebar dari Beni yang
sebenarnya lebih pantas disebut bentakan-bentakan marah. Telinga Elsa
sampai pengang dibuatnya, berakibat ke kepalanya yang sekali lagi pusing
dan berat terasa seperti dijatuhi beban berkilo-kilo beratnya. Dalam
hitungan detik tubuh Elsa oleng dan ambruk begitu saja.
Kejadian
itu membuat seorang laki-laki dua menghentikan langkah hanya
untuk melihat ke bawah, ke arah salah satu anak didik di sekolah itu
yang tengah membopong seorang gadis yang sedang pingsan. Gadis yang...
sangat cantik.