Selasa, 07 November 2017

My Step Brother - 3

Chapter 3

Selamat malam gaeesss 😁😁
Happy reading yee, ini ada plus-plus-nya. So, yg gak suka dan masih di bawah umur, silakan mundur!

***

Pintu rumah kontrakannya diketuk berulang kali. Bian yang tengah berkonsentrasi pada gambar pondasi bangunannya pun mendengus kesal. Orang gila mana yang bertamu ketika hujan deras? Jangan bilang itu Doni, kalau memang sahabatnya itu yang mengetuk pintu, Bian tidak akan segan memukulkan penggarisnya ke kepala lelaki itu.

“Kakak, lama banget sih. Dingin, tau!”

Bian tercengang di tempat. Buru-buru ia menyusul Hanna yang menerobos tubuhnya tepat setelah ia membuka pintu.

“Kakak, bajunya mana siih?” Hanna mengacak-acak isi lemari di kamar Bian. Kontrakan itu hanya sebuah rumah kecil dengan satu kamar, satu kamar mandi, dapur dan ruang tamu. Jadi, walau pun Hanna tidak pernah ke sana, ia bisa dengan mudah menemukan kamar Bian.
Bian mengambilkan kaos lengan panjang berbahan tebal nan hangat, juga celana olahraga pendek miliknya. Hanna langsung menyambar dua potong pakaian itu sebelum Bian memberikannya.

Hubungan mereka membaik, menjadi amat sangat baik setelah kehisterisan Hanna sebulan yang lalu di kamar gadis itu. Saat ini, Bian sudah kembali ke Bali. Sudah seminggu ia di sana. Dan hari ini, gadisnya menyusulnya.

Bian meletakkan segelas susu coklat hangat di atas meja. Ia membereskan peralatan menggambarnya dengan cepat. Hanna tidak akan suka kalau ia lebih perhatian terhadap gambar-gambar denah, rencana kusen atau pun rencana atap itu.
Hanna langsung meminum susu coklat itu begitu ia selesai membereskan diri. Ia menghempaskan tubuhnya di atas kursi.

“Kok dibolehin datang ke sini sendirian, Dek?”

“Maksa.” jawab Hanna cuek yang membuat Bian terkekeh. “lagian Ayah udah janji kok gak bakal ngelarang aku liburan ke mana pun kalau nilai ujian kelulusanku bagus-bagus.”

“Tadi sempat bingung gak nyari tempat ini?” Bian berpindah ke sebelah Hanna, ingin lebih dekat dengan gadisnya.

Gadisnya? Well, mereka backstreet. Sudah backstreet, LDR pula!

“Tadinya aku naik taksi, Kak. Pak supirnya nurunin aku di pinggir jalan gara-gara mobilnya mogok. Gak bayar sih, tapi kan kesel.” gadis itu meneguk susunya.

Bian yang memperhatikannya dari samping hanya tersenyum tipis. Sampai sekarang ia masih tak menyangka kalau bisa sedekat ini dengan Hanna. Bahkan gadis itu sekarang adalah kekasihnya.

“Diturunin gitu, jadi aku gak naik taksi lagi deh. Aku nyari ojek. Sama tukang ojeknya aku dibawa muter-muter masaaa.” gadis itu merengut, “mana kehujanan di jalan lagi, kan dingin. Untung aja abang ojeknya sempat nanya-nanyain alamat rumah ini ke orang-orang. Kalau nggak, gak bakalan aku ada di sini. Palingan juga masih muter-muter kayak anak hilang.”

Bian mengambil gelas di tangan Hanna dan meminum isinya yang tersisa sampai tandas. Ia menyingkirkan gelas itu. Merangkum wajah Hanna dan mengecup bibir gadis itu berkali-kali.

“Manis.” ujarnya di antara kecupannya, “kayak susu coklat. Bikin nagih.” ia mengedipkan sebelah matanya, menggoda.

Semburat merah muda menghiasi pipi hingga ke telinga gadis itu. Membuatnya nampak makin manis. Hanna tersenyum malu-malu, ia memegang tangan Bian yang menangkup kedua sisi kepalanya.

“Ayah curiga nggak sama hubungan kita?” Bian mengusap pipi Hanna dengan ibu jarinya.

“Nggak sih, kayaknya.” Hanna meringis.

“Nanti Kakak cari solusinya, ya.” jemari mereka Bian tautkan, “kamu dingin banget, Dek. Kakak ambilin selimut mau?”

Hanna tersenyum manis dan mengangguk. Gadis itu memerhatikan Bian yang segera berdiri. Niat usilnya muncul. Ia menyusul Bian ke dalam kamar. Lelaki itu berjongkok di depan lemari yang terbuka, sepertinya selimut yang dimaksud ada di tempat paling bawah.

Dengan langkah mengendap, Hanna bersiap menyergap Bian dari belakang. Namun gerakannya kalah cepat dengan Bian yang tiba-tiba berdiri dan memutar badan. Hanna terkejut dan terpekik kaget karena Bian mengangkat tubuhnya lantas melemparnya ke tempat tidur.

“Kak Biaan!” gadis itu cemberut total. Hendak bangkit dari posisi terlentangnya tapi Bian telah lebih dulu melingkupi tubuh mungilnya dengan tubuh besar lelaki itu.

Bian mengecup bibir Hanna, menjalar ke rahang hingga telinga gadisnya. Ia menatap Hanna lembut. Dibelainya pipi merona Hanna dengan jemarinya. Ia menyibak rambut di kening Hanna dan mengecup sayang di sana.

“Kak Bi,” Hanna menyentuh pundak Bian, dadanya berdebar kencang. Ia mendorong leher Bian padanya. Segera saja mereka berciuman.

Bian melumat bibir bawah Hanna, Hanna melumat bibir atasnya. Bergantian mereka saling menghisap. Bian menelusupkan lidahnya, bergelut dengan lidah Hanna, memberi jeda supaya Hanna mengambil napas dan menciumnya lagi.

Hanna meremas rambut Bian. Bibir lelaki itu di lehernya. Mengecup ringan dan menghembuskan napas hangatnya di sana. Menggigit kecil lantas menjilat bekas gigitannya.

“Ahh...”

Hanna mencengkram sejumput rambut Bian. Tubuhnya bergerak, lehernya menggeliat. Semakin gencar Bian menyerang area itu, membuat lenguhan tak tertahankan meluncur dari bibirnya.

“Kakak akan ikut pulang sama kamu.” Bian menatap gadis itu, menghentikan cumbuannya sebelum ia lepas kontrol, “Kakak mau ngelamar kamu sama Ayah.”

Pernyataan itu membuat Hanna terkejut. Ia menatap ke segala arah, kebingungan. Bian akan melamarnya?

“Kamu gak mau nikah sama Kakak?”

Bukan begitu. Hanna hanya takut ayahnya tidak memberi restu. Mereka memang bukan saudara kandung. Tetapi kemungkinan kedua orang tua mereka tidak setuju tetap ada.

Kalau ayah dan ibu tidak memberi restu, lantas apa?

“Aku gak mau pisah sama Kakak.” Hanna mengatakan ketakutannya, nyaris menangis. Ia mengubah posisinya menjadi setengah duduk dan bersandar.

Bian merebahkan kepalanya di dada Hanna. Ia memeluk Hanna erat. Kaki kanan gadis itu menyilang di atas pahanya. Hanna mengusap rambutnya, memberi kenyamanan padanya. Ia mengerti, mengerti akan kekhawatiran Hanna karena ia juga merasakannya.

“Gak tau kenapa, Kakak punya firasat baik sama hubungan kita.”

“Ayah berencana mempertemukan aku sama Jaya, Kak. Untung aku cepat kabur ke sini sebelum rencana itu berhasil.” ujar Hanna lirih, “kenapa saat itu Kakak setuju kalau aku jadi sama Jaya?”

Bian memejamkan mata, pelukannya makin erat di tubuh Hanna. “Kamu milik Kakak.”

Hanna tersenyum tipis. “Perempuan yang waktu itu, pacar Kakak ya?” tanyanya penasaran. Ia perlu berbicara untuk mendatangkan kantuk.

“Ya, setahun yang lalu. Sekarang udah nggak.” jawab Bian sekenanya.

“Kakak udah ngapain aja sama dia?”

Bian mendongak, ia menyeringai jahil, “Kalau kamu nanya apa Kakak pernah ML sama dia atau nggak, jawabannya nggak. Kakak maunya cuma sama kamu.”

Hanna mendengus. Bian kembali merebahkan kepalanya.

“Paling banter cuma ciuman, Dek. Enakan bibir kamu sih ketimbang—aw! Adek!” seru Bian lebay karena Hanna menarik daun telinganya dengan kuat.

“Gak usah lebay deh.” Hanna menggerutu. “salah sendiri punya otak kok mesum banget.”

“Salah kamu lah.”

Hanna mendeliki kepala Bian, lalu menghela napas kesal. “Kok aku?”

“Ya kamu. Kenapa kok cantik banget? Kenapa kok seksi gini? Kenapa kok bibir kamu manis? Kakak kan gak tahan jadinya pengen mesumin kamu terus.”

Tak perlu berpikir dua kali Hanna lagi-lagi menjewer telinga Bian. Lelaki itu mengaduh-aduh. Biarkan saja!

***

“Kenapa harus adik kamu sendiri, Bi?” Hendri menekankan kata harus pada ucapannya. Hari ini, tahu-tahu saja putrinya yang pamit liburan ke tempat Bian di Bali pulang bersama lelaki itu. Hendri curiga ada sesuatu di antara keduanya.

Pasalnya, Hanna tidaklah sedekat itu dengan Bian. Ia mulai curiga saat Hanna memaksa untuk menyusul Bian dengan dalih liburan. Baru sehari di Bali, sekarang Hanna sudah kembali bersama Bian.

Dan jawabannya adalah Bian melamar anak gadisnya.

“Kalian tidak tidur bersama kan?”

“Nggak, Yah.” Bian menatap mata Hendri tenang, “Bian mencintai Hanna. Kami saling mencintai, sejak dulu.”

“Ayah tidak percaya ini. Dari sekian banyak perempuan, kamu memilih adikmu? Dan kamu Hanna, dari sekian banyak laki-laki, kenapa harus kakakmu?”

Hanna menunduk, “Maaf, Yah.”

“Yang Bian mau cuma Hanna, Yah.” Bian meraih tangan Hanna yang duduk di sebelahnya dan menautkan tangan mereka, “Bian gak berniat menyembunyikan hubungan kami terlalu lama, Bian gak mau Hanna diambil laki-laki lain. Karena itu, Bian mohon restui kami, Yah.”

“Ayah sudah mengatur pertunangan Hanna dengan Jaya.” tandas Hendri datar.

“Ayah, Hanna gak mau sama Jaya.” pelupuk mata Hanna mulai berkaca-kaca. “kalau Ayah gak ngerestuin kami, Hanna bakalan ikut Kak Bian kabur dari rumah. Kami tetap akan nik—"

“Nggak.” Bian menyela. Hanna menatap lelaki itu tak percaya. Kenapa Bian keluar dari rencana yang telah mereka susun?

“Yah, bisa aja Bian ngehamilin Hanna. Bisa juga kami kawin lari seperti yang Hanna katakan. Tapi Bian gak mau jadi laki-laki brengsek yang memisahkan seorang anak dengan orang tuanya. Bian udah lebih dulu tau rasanya gak punya orang tua. Bian gak mau Hanna ngerasain hal yang sama. Bian menghormati Ayah dan Ibu. Kalau pun tindakan Bian kali ini salah, Bian mohon maafin Bian.”

Hendri menatap Bian. Sedikit banyak ia kagum dengan ketegasan suara dan kedewasaan Bian dalam berpikir. Namun ia juga kecewa dengan Bian. Ia tak masalah dengan perasaan Bian kepada putrinya. Yang ia masalahkan adalah waktu yang Bian pilih untuk jujur. Apa yang harus dikatakannya kepada Jaya dan Papanya?

"Besok kalian menikah. Usai acara, kamu Hanna, harus langsung berangkat ke Singapura. Selesaikan pendidikan kamu di sana sementara Bian memantapkan diri untuk menafkahi Hanna."

Hanna langsung menatap sang ayah, air mata mengalir membasahi pipinya, "Ayah...."

Bian tersenyum tipis, "Makasih, Yah."

Ayah mana yang tega mematahkan hati anaknya? Kalau pun ada, Hendri tidak termasuk di dalamnya.

***

Download ebook My Step Brother lengkap di sini

Fiiy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan yaa :)

My Step Brother - 6 (Ending)

Chapter 6 ( Ending) Dua hari kemudian Bian membuka akun instagramnya. Gerahamnya segera saja bergemeletuk menahan geram ketika menda...