Chapter 3
Download ebook My Step Brother lengkap di sini
Selamat malam gaeesss 😁😁
Happy reading yee, ini ada plus-plus-nya. So, yg gak suka dan masih di bawah umur, silakan mundur!
Happy reading yee, ini ada plus-plus-nya. So, yg gak suka dan masih di bawah umur, silakan mundur!
***
Pintu rumah kontrakannya
diketuk berulang kali. Bian yang tengah berkonsentrasi pada gambar
pondasi bangunannya pun mendengus kesal. Orang gila mana yang bertamu
ketika hujan deras? Jangan bilang itu Doni, kalau memang sahabatnya itu
yang mengetuk pintu, Bian tidak akan segan memukulkan penggarisnya ke
kepala lelaki itu.
“Kakak, lama banget sih. Dingin, tau!”
Bian tercengang di tempat. Buru-buru ia menyusul Hanna yang menerobos tubuhnya tepat setelah ia membuka pintu.
“Kakak, bajunya mana
siih?” Hanna mengacak-acak isi lemari di kamar Bian. Kontrakan itu hanya
sebuah rumah kecil dengan satu kamar, satu kamar mandi, dapur dan ruang
tamu. Jadi, walau pun Hanna tidak pernah ke sana, ia bisa dengan mudah
menemukan kamar Bian.
Bian mengambilkan kaos lengan panjang berbahan
tebal nan hangat, juga celana olahraga pendek miliknya. Hanna langsung
menyambar dua potong pakaian itu sebelum Bian memberikannya.
Hubungan mereka membaik,
menjadi amat sangat baik setelah kehisterisan Hanna sebulan yang lalu
di kamar gadis itu. Saat ini, Bian sudah kembali ke Bali. Sudah seminggu
ia di sana. Dan hari ini, gadisnya menyusulnya.
Bian meletakkan segelas
susu coklat hangat di atas meja. Ia membereskan peralatan menggambarnya
dengan cepat. Hanna tidak akan suka kalau ia lebih perhatian terhadap
gambar-gambar denah, rencana kusen atau pun rencana atap itu.
Hanna langsung meminum susu coklat itu begitu ia selesai membereskan diri. Ia menghempaskan tubuhnya di atas kursi.
“Kok dibolehin datang ke sini sendirian, Dek?”
“Maksa.” jawab Hanna
cuek yang membuat Bian terkekeh. “lagian Ayah udah janji kok gak bakal
ngelarang aku liburan ke mana pun kalau nilai ujian kelulusanku
bagus-bagus.”
“Tadi sempat bingung gak nyari tempat ini?” Bian berpindah ke sebelah Hanna, ingin lebih dekat dengan gadisnya.
Gadisnya? Well, mereka backstreet. Sudah backstreet, LDR pula!
“Tadinya aku naik taksi,
Kak. Pak supirnya nurunin aku di pinggir jalan gara-gara mobilnya
mogok. Gak bayar sih, tapi kan kesel.” gadis itu meneguk susunya.
Bian yang
memperhatikannya dari samping hanya tersenyum tipis. Sampai sekarang ia
masih tak menyangka kalau bisa sedekat ini dengan Hanna. Bahkan gadis
itu sekarang adalah kekasihnya.
“Diturunin gitu, jadi
aku gak naik taksi lagi deh. Aku nyari ojek. Sama tukang ojeknya aku
dibawa muter-muter masaaa.” gadis itu merengut, “mana kehujanan di jalan
lagi, kan dingin. Untung aja abang ojeknya sempat nanya-nanyain alamat
rumah ini ke orang-orang. Kalau nggak, gak bakalan aku ada di sini.
Palingan juga masih muter-muter kayak anak hilang.”
Bian mengambil gelas di
tangan Hanna dan meminum isinya yang tersisa sampai tandas. Ia
menyingkirkan gelas itu. Merangkum wajah Hanna dan mengecup bibir gadis
itu berkali-kali.
“Manis.” ujarnya di antara kecupannya, “kayak susu coklat. Bikin nagih.” ia mengedipkan sebelah matanya, menggoda.
Semburat merah muda
menghiasi pipi hingga ke telinga gadis itu. Membuatnya nampak makin
manis. Hanna tersenyum malu-malu, ia memegang tangan Bian yang menangkup
kedua sisi kepalanya.
“Ayah curiga nggak sama hubungan kita?” Bian mengusap pipi Hanna dengan ibu jarinya.
“Nggak sih, kayaknya.” Hanna meringis.
“Nanti Kakak cari solusinya, ya.” jemari mereka Bian tautkan, “kamu dingin banget, Dek. Kakak ambilin selimut mau?”
Hanna tersenyum manis
dan mengangguk. Gadis itu memerhatikan Bian yang segera berdiri. Niat
usilnya muncul. Ia menyusul Bian ke dalam kamar. Lelaki itu berjongkok
di depan lemari yang terbuka, sepertinya selimut yang dimaksud ada di
tempat paling bawah.
Dengan langkah
mengendap, Hanna bersiap menyergap Bian dari belakang. Namun gerakannya
kalah cepat dengan Bian yang tiba-tiba berdiri dan memutar badan. Hanna
terkejut dan terpekik kaget karena Bian mengangkat tubuhnya lantas
melemparnya ke tempat tidur.
“Kak Biaan!” gadis itu
cemberut total. Hendak bangkit dari posisi terlentangnya tapi Bian telah
lebih dulu melingkupi tubuh mungilnya dengan tubuh besar lelaki itu.
Bian mengecup bibir
Hanna, menjalar ke rahang hingga telinga gadisnya. Ia menatap Hanna
lembut. Dibelainya pipi merona Hanna dengan jemarinya. Ia menyibak
rambut di kening Hanna dan mengecup sayang di sana.
“Kak Bi,” Hanna menyentuh pundak Bian, dadanya berdebar kencang. Ia mendorong leher Bian padanya. Segera saja mereka berciuman.
Bian melumat bibir bawah
Hanna, Hanna melumat bibir atasnya. Bergantian mereka saling menghisap.
Bian menelusupkan lidahnya, bergelut dengan lidah Hanna, memberi jeda
supaya Hanna mengambil napas dan menciumnya lagi.
Hanna meremas rambut
Bian. Bibir lelaki itu di lehernya. Mengecup ringan dan menghembuskan
napas hangatnya di sana. Menggigit kecil lantas menjilat bekas
gigitannya.
“Ahh...”
Hanna mencengkram
sejumput rambut Bian. Tubuhnya bergerak, lehernya menggeliat. Semakin
gencar Bian menyerang area itu, membuat lenguhan tak tertahankan
meluncur dari bibirnya.
“Kakak akan ikut pulang
sama kamu.” Bian menatap gadis itu, menghentikan cumbuannya sebelum ia
lepas kontrol, “Kakak mau ngelamar kamu sama Ayah.”
Pernyataan itu membuat Hanna terkejut. Ia menatap ke segala arah, kebingungan. Bian akan melamarnya?
“Kamu gak mau nikah sama Kakak?”
Bukan begitu. Hanna
hanya takut ayahnya tidak memberi restu. Mereka memang bukan saudara
kandung. Tetapi kemungkinan kedua orang tua mereka tidak setuju tetap
ada.
Kalau ayah dan ibu tidak memberi restu, lantas apa?
“Aku gak mau pisah sama
Kakak.” Hanna mengatakan ketakutannya, nyaris menangis. Ia mengubah
posisinya menjadi setengah duduk dan bersandar.
Bian merebahkan
kepalanya di dada Hanna. Ia memeluk Hanna erat. Kaki kanan gadis itu
menyilang di atas pahanya. Hanna mengusap rambutnya, memberi kenyamanan
padanya. Ia mengerti, mengerti akan kekhawatiran Hanna karena ia juga
merasakannya.
“Gak tau kenapa, Kakak punya firasat baik sama hubungan kita.”
“Ayah berencana
mempertemukan aku sama Jaya, Kak. Untung aku cepat kabur ke sini sebelum
rencana itu berhasil.” ujar Hanna lirih, “kenapa saat itu Kakak setuju
kalau aku jadi sama Jaya?”
Bian memejamkan mata, pelukannya makin erat di tubuh Hanna. “Kamu milik Kakak.”
Hanna tersenyum tipis.
“Perempuan yang waktu itu, pacar Kakak ya?” tanyanya penasaran. Ia perlu
berbicara untuk mendatangkan kantuk.
“Ya, setahun yang lalu. Sekarang udah nggak.” jawab Bian sekenanya.
“Kakak udah ngapain aja sama dia?”
Bian mendongak, ia
menyeringai jahil, “Kalau kamu nanya apa Kakak pernah ML sama dia atau
nggak, jawabannya nggak. Kakak maunya cuma sama kamu.”
Hanna mendengus. Bian kembali merebahkan kepalanya.
“Paling banter cuma
ciuman, Dek. Enakan bibir kamu sih ketimbang—aw! Adek!” seru Bian lebay
karena Hanna menarik daun telinganya dengan kuat.
“Gak usah lebay deh.” Hanna menggerutu. “salah sendiri punya otak kok mesum banget.”
“Salah kamu lah.”
Hanna mendeliki kepala Bian, lalu menghela napas kesal. “Kok aku?”
“Ya kamu. Kenapa kok
cantik banget? Kenapa kok seksi gini? Kenapa kok bibir kamu manis? Kakak
kan gak tahan jadinya pengen mesumin kamu terus.”
Tak perlu berpikir dua kali Hanna lagi-lagi menjewer telinga Bian. Lelaki itu mengaduh-aduh. Biarkan saja!
***
“Kenapa harus adik kamu
sendiri, Bi?” Hendri menekankan kata harus pada ucapannya. Hari ini,
tahu-tahu saja putrinya yang pamit liburan ke tempat Bian di Bali pulang
bersama lelaki itu. Hendri curiga ada sesuatu di antara keduanya.
Pasalnya, Hanna tidaklah
sedekat itu dengan Bian. Ia mulai curiga saat Hanna memaksa untuk
menyusul Bian dengan dalih liburan. Baru sehari di Bali, sekarang Hanna
sudah kembali bersama Bian.
Dan jawabannya adalah Bian melamar anak gadisnya.
“Kalian tidak tidur bersama kan?”
“Nggak, Yah.” Bian menatap mata Hendri tenang, “Bian mencintai Hanna. Kami saling mencintai, sejak dulu.”
“Ayah tidak percaya ini.
Dari sekian banyak perempuan, kamu memilih adikmu? Dan kamu Hanna, dari
sekian banyak laki-laki, kenapa harus kakakmu?”
Hanna menunduk, “Maaf, Yah.”
“Yang Bian mau cuma
Hanna, Yah.” Bian meraih tangan Hanna yang duduk di sebelahnya dan
menautkan tangan mereka, “Bian gak berniat menyembunyikan hubungan kami
terlalu lama, Bian gak mau Hanna diambil laki-laki lain. Karena itu,
Bian mohon restui kami, Yah.”
“Ayah sudah mengatur pertunangan Hanna dengan Jaya.” tandas Hendri datar.
“Ayah, Hanna gak mau
sama Jaya.” pelupuk mata Hanna mulai berkaca-kaca. “kalau Ayah gak
ngerestuin kami, Hanna bakalan ikut Kak Bian kabur dari rumah. Kami
tetap akan nik—"
“Nggak.” Bian menyela. Hanna menatap lelaki itu tak percaya. Kenapa Bian keluar dari rencana yang telah mereka susun?
“Yah, bisa aja Bian
ngehamilin Hanna. Bisa juga kami kawin lari seperti yang Hanna katakan.
Tapi Bian gak mau jadi laki-laki brengsek yang memisahkan seorang anak
dengan orang tuanya. Bian udah lebih dulu tau rasanya gak punya orang
tua. Bian gak mau Hanna ngerasain hal yang sama. Bian menghormati Ayah
dan Ibu. Kalau pun tindakan Bian kali ini salah, Bian mohon maafin
Bian.”
Hendri menatap Bian.
Sedikit banyak ia kagum dengan ketegasan suara dan kedewasaan Bian dalam
berpikir. Namun ia juga kecewa dengan Bian. Ia tak masalah dengan
perasaan Bian kepada putrinya. Yang ia masalahkan adalah waktu yang Bian
pilih untuk jujur. Apa yang harus dikatakannya kepada Jaya dan Papanya?
"Besok kalian menikah.
Usai acara, kamu Hanna, harus langsung berangkat ke Singapura.
Selesaikan pendidikan kamu di sana sementara Bian memantapkan diri untuk
menafkahi Hanna."
Hanna langsung menatap sang ayah, air mata mengalir membasahi pipinya, "Ayah...."
Bian tersenyum tipis, "Makasih, Yah."
Ayah mana yang tega mematahkan hati anaknya? Kalau pun ada, Hendri tidak termasuk di dalamnya.
***
Download ebook My Step Brother lengkap di sini
Fiiy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan yaa :)