Selasa, 07 November 2017

My Step Brother - 6 (Ending)

Chapter 6 ( Ending)



Dua hari kemudian Bian membuka akun instagramnya. Gerahamnya segera saja bergemeletuk menahan geram ketika mendapati foto Hanna bersama seorang lelaki berambut coklat gelap. Lelaki itu tampan, dan sepertinya Hanna sangat senang di foto itu. Istrinya tersenyum lebar.

Sampai hari ini Hanna masih tidak bisa dihubungi. Bian membuang napas gusar. Perkataan Doni tentang laki-laki lain mengusik benaknya. Mungkinkah?

Tidak, Hanna-nya bukan gadis seperti itu. Hanna hanya bisa 'nakal' padanya. Tidak kepada yang lain. Ya, seharusnya begitu.

Bian meletakkan smartphone-nya. Ia mengambil handuk dan pergi mandi. Usai mandi dan berpakaian, ia melihat smartphone-nya lagi. Ada dua panggilan video tak terjawab pada whatsapp-nya dari Hanna, ia segera mem-video call balik.

Panggilan dijawab tidak sampai dua detik. Wajah segar Hanna terlihat di layar smartphone Bian.

“Kak—”

“Dari mana aja kamu?” Bian menyela, terlalu tajam hingga membuat Hanna tertegun lama.

“Hanna, cepatlah.” suara lain terdengar.

“Siapa itu? Kamu mengundang laki-laki lain ke tempatmu?”

Hanna menatap Bian lantas menghela napas, “Kakak kok marah sih? Aku—”

“Kakak serius, Hanna. Jangan main-main kali ini. Siapa laki-laki itu? Pacar kamu?”

“Kak!” Hanna menjerit tertahan, “kok nuduh aku gitu sih? Kakak tau aku gak mungkin selingkuh!”

Sorot mata Bian menajam, “Gimana Kakak bisa percaya kalau Kakak udah lihat foto kamu sama laki-laki lain, Hanna? Dan sekarang ada suara laki-laki di tempatmu. Laki-laki yang sama kan dengan yang di foto? Mau ke mana kalian? Hotel? Tidur bersama? Kenapa gak di situ aja?” cecarnya beruntun. Semua perkataan itu membuat Hanna tersakiti.

“Kakak lagi emosi, hubungin aku lagi nanti ya?” pinta gadis itu melirih.

“Jangan coba-coba matiin sambungan, Hanna. Atau Kakak gak akan hubungin kamu lagi.” ancam Bian dengan suara rendah.

“Aku tunggu telepon Kakak nanti. Dah,”

Bian menghempaskan smartphone-nya ke kasur. Dadanya panas sekali rasanya. Ia terbakar api cemburu.

Selepas panggilan video itu Hanna matikan, ia membuang napas berat. Kalimat Bian tersirat makna bahwa dirinya perempuan rendahan. Salahnya memang mengunggah foto itu hanya karena kesal kepada Bian. Ia akan meminta maaf, nanti ketika emosi Bian sudah stabil. Sekarang, ia bersama Jayden dan Jihan yang sudah menunggu di luar akan pergi mencari referensi untuk tugas membuat jurnal.

Tapi keegoisan mereka masing-masing membuat baik Bian atau pun Hanna tidak berinisiatif untuk menghubungi lebih dulu. Keduanya memilih menumpuk emosi dan rindunya masing-masing. Hari ini ujian semester Hanna berakhir, Hanna berpikir untuk langsung pulang ke flat-nya daripada pergi jalan-jalan seperti yang Jihan usulkan.

Oh, Hanna tidak mau menjadi nyamuk di antara dua sejoli yang baru saja meresmikan hubungan dengan bertunangan itu.

Di dalam kamar, Hanna menimang smartphone-nya. Seharusnya dalam beberapa hari ke depan Bian akan datang menemuinya. Tapi sampai sekarang, suaminya itu masih belum memberinya kabar juga.

Mendengar pintu flat-nya diketuk, Hanna berdiri dan membukanya. Ia membeku. Di depannya kini berdiri seseorang yang selalu dipikirkannya. Albian Mahesa.

Bian melangkah masuk lantas menutup pintu dengan kakinya. Tas punggungnya ia jatuhkan, untuk kemudian kedua lengannya memerangkap Hanna dan mencium gadis itu tanpa jeda. Menumpahkan semua emosinya dalam ciuman menggebunya.

Hanna tergeragap namun dengan cepat menguasai diri. Ia memegang rahang Bian untuk kemudian mengalungkan lengan di leher lelaki itu. Dilumatnya bibir atas Bian ketika lelaki itu sibuk dengan bibir bawahnya. Ciuman itu melembut untuk kemudian terhenti. Menyisakan panas membara di bibir Hanna. Gadis itu merengut melihat tatapan Bian masih saja tajam.

“Kangen,” ucapnya manja seraya merebahkan kepala di dada Bian. Ia memutar-mutar kancing kemeja Bian untuk kemudian melepasnya satu per satu.

“Kakak, kok diem?”

Bian menghela napas, ia menanggalkan kemejanya setelah semua kancingnya dilepas oleh Hanna.

“Jayden cuma temen. Dia udah tunangan malah, Kak. Kakak tuh yang selingkuh dari aku.”

“Kamu tau Kakak sayang banget sama kamu, Dek. Maafin Kakak ya?”

Hanna menggeleng, pelupuk matanya memproduksi air mata dengan cepat. Perkataan terakhir Bian yang menunjukkan kalau Hanna tidak lebih dari perempuan kotor sangat menyakiti gadis itu. Tapi ia tidak menangis. Ia baru berani menangis hari ini ketika ada Bian bersamanya.

“Maaf.” Bian menghalau air mata gadis itu, namun tetap saja air mata itu menganak sungai.

“Nggak dimaafin.”

Bian menghela gadis itu ke pelukannya, “Kok nggak? Perempuan itu juga temen, Sayang. Bukan Kakak juga yang ngunggah, tapi Doni.”

“Bohong.”

“Kakak nggak pernah bohong sama kamu. Maafin ya?”

Hanna tetap menggeleng, tidak mau memaafkan. Kesalahan Bian sudah mengoyak hatinya. Tapi, salahnya juga sih....

“Ya udah, kalau gak mau maafin. Kakak tau kamu kecewa banget. Tapi jangan nangis lagi dong.”

“Dimaafin kok.” Hanna berucap lirih. “maafin aku juga.”

“Selalu, Sayang.” Bian mendongakkan kepala Hanna. Dikecupnya jejak air mata di pipi gadis itu seraya disekanya lembut. Di atas bibir Hanna, ia menyarangkan kecupan ringan. Hal itu juga ia lakukan di leher Hanna.

“Kak, aku belum mandi.”

“Mandi bareng aja nanti.”

Bian mendorong Hanna terlentang di kasur dengan setengah menindih gadis itu. Ia membuka sepatu yang gadis itu kenakan, lantas melarikan jemari ke betisnya. Ia menatap Hanna, menyeringai. Jemarinya terus membelai ke paha Hanna, tanpa membuang waktu ia melepaskan celana dalam gadis itu. Hanna yang memakai rok memudahkannya melakukan hal itu.

Ketika tangannya menyentuh milik Hanna, gadis itu mendorongnya. Hanna menduduki bagian tubuhnya yang mengeras dengan cepat. Gadis itu menunduk dan menciumi dadanya. Hanna bahkan dengan berani menggigit putingnya. Membuatnya menahan erangan di tenggorokan.

Hanna beralih ke leher Bian. Ketika mendongak, ia tersenyum nakal. Ia menunduk lagi, mencium Bian tepat di bibir. Satu tangannya bergerak ke bawah. Melepas kancing jeans Bian dan menurunkan resletingnya.

“Dek,” Bian mengerang lambat. Ia menyusupkan tangan ke balik kaos Hanna, hendak mengangkatnya ke atas ketika bel pintu berbunyi. Hanna langsung melompat turun dari tempat tidur dan berlari ke pintu.

Bian menghela napas gusar. Ia memperbaiki posisi celananya kemudian menyusul Hanna ke pintu. Disergapnya tubuh gadis itu dari belakang. Ia menumpukan dagu di pundak Hanna, menatap tak suka pada lelaki yang ada di foto. Ia cemburu terlepas dari kenyataan bahwa lelaki itu telah bertunangan.

“Aku mengganggumu, ya?” Jayden mengerling kepada Hanna.

“Ya.” Bian menjawab dingin.

“Kak!”

Bian menghela napas, ia menghidu aroma khas Hanna melalui rambut gadis itu.

“Ya sudah, aku pulang dulu. Selamat bersenang-senang, Hanna.”

Ketika pintu ditutup, Bian langsung menyandarkan Hanna di sana. Ia melepas kaos Hanna berikut bra yang gadis itu pakai.

“Kakak gak sopan tadi.”

“Kakak gak peduli.” Bian mencium bibirnya. Kedua tangannya meremas buah dada Hanna. “Roknya ganggu, Sayang.” bisiknya di sela ciumannya.

“Lepasin dong.”

Bian mengerang, antara jengkel dan nikmat saat Hanna tiba-tiba berlutut di depannya. Ia tak mau berlama-lama, langsung menanggalkan celananya.

Hanna memegang milik Bian. Ia menatap benda hidup itu takjub. Tidak menyangka bahwa di dalam celananya, Bian menyembunyikan benda itu.

“Dek—hh,”

Hanna melakukan hal yang membuat Bian linglungsekaligus kebingungan.

“Dek, kamu, ahh.. belajar dari mana?” Bian mengepalkan tangan di rambut Hanna. Ia menahan kepala gadis itu dan membawanya berdiri. Bukan mulut gadis itu yang ia inginkan saat ini.

“Belajar dari mana?”

“Nonton.” jawab Hanna luar biasa santai.

Bian menghela napas, “Jangan nonton film itu lagi, oke?” ia hanya khawatir otak Hanna tercemar.

Bagaimana kalau saat ia tak ada, Hanna malah mencari lelaki lain hanya karena tak bisa menahan diri setelah menonton film itu? Dan, Bian cemburu mengetahui bahwa bukan dirinya lelaki telanjang pertama yang dilihat Hanna.

“Kak, roknya katanya ganggu?”

Bian menatap gadis itu lalu terkekeh. Ia menurunkan rok Hanna. Dengan cepat ia menggendong gadis itu dan meletakkannya di kasur. Ia melebarkan paha Hanna, menempatkan diri di antara keduanya.

“Kamu siap kan, Dek?”

Hanna mengecup bibir Bian, “Aku gak bisa nunggu lagi.” bisiknya nakal.

“Sayang, ingatkan Kakak buat ngasih bibir nakal kamu hukuman nanti.” Bian mengarahkan miliknya.

Hanna menggelinjang, “Kakk,” ia merengek.

Bian mengarahkan miliknya, ia menahan pinggul Hanna lantas menyatukan diri dalam satu hentakan.

“Kak!” tubuh Hanna menegang. “kok sakit? Di film nggak.” protesnya cemberut guna menetralkan diri.

“Beda, Sayang.” Bian mengecup sudut mata Hanna yang berair. Tentu saja sakit, ini yang pertama untuk Hanna. Berbeda dengan di film. Dan ini juga baru baginya. Tapi, di dalam Hanna terasa menyenangkan.

Bian menggerakkan pinggulnya. Keluar dan masuk dengan hentakan konstan. Membuat Hanna yang awalnya meringis menjadi melenguh.

Hanna memeluk leher Bian. Desahannya terus mengalun.

Mengiringi gerakannya, Bian menandai istrinya dengan gigi di lehernya. Kedua tungkai gadis itu memeluk pinggulnya. Dadanya membusung tinggi, membuat Bian mengulumnya tanpa ampun.

Hanna melenguh nikmat. Ia meremas rambut lebat Bian. Pinggulnya bergerak selaras dengan gerakan lelaki itu yang naik turun menghujamnya kuat. Detik itu pinggulnya terangkat, ia mendesah panjang menyerahkan diri pada gulungan klimaks yang keras.

Bian masih bergerak. Ia mengubur wajah hingga geramannya teredam di ceruk leher Hanna. Tubuhnya ambruk di atas tubuh hadis itu.

“Makasih, Sayang.” Bian mengecup permukaan leher Hanna dengan lembut.

“Hmm,” Hanna menggumam sebagai balasan. Ia merebahkan kepala dengan malas di dada Bian. Oh, itu tadi sungguh hebat. Pengalaman pertama yang akan selalu Hanna ingat.

Bian mengusap lengan Hanna, sesekali mengecup puncak kepala gadis itu. Kini tanggung jawabnya semakin berat. Bukan tidak mungkin Hanna akan hamil. Selain Hanna, akan ada beberapa bocah mungil di antara mereka yang menuntut perhatiannya. Ia tak sabar untuk menunggu saat itu tiba.

Bersama Hanna, Bian telah menemukan kebahagiaannya. Kepada dirinya ia berjanji, bahwa ia akan berusaha untuk menciptakan keluarga yang harmonis. Menjadi suami yang baik untuk Hanna dan ayah yang baik untuk anak-anak mereka.

—SELESAI—

Khusus ebook yang bisa dibeli di playstore >> playbook ada chapter bonusnya yaaa :) 
Download ebook My Step Brother di sini

My Melody (LGS#2) 

My Step Brother - 5



Chapter 5

***

Hanna Athalia: Aku udah nyampe. Baru selesai mandi. Kakak lagi apa?

Itu chat whatsapp yang dikirim Hanna setengah jam yang lalu. Dari tadi Bian menyibukkan diri dengan berkas-berkas untuk keperluan wisudanya di Bali. Besok juga ia akan segera kembali ke sana.

Albian Mahesa: Mikirin kamu, Dek.

Hanna Athalia: Gak lagi pacaran sama kertas dan pensil?

Bian terkekeh geli. Ia bisa membayangkan kalau saat ini Hanna sedang mendengus malas. Ah, baru beberapa jam saja ia sudah rindu. Apa kabar dengan enam bulan?

Bian melakukan panggilan video yang segera dijawab oleh Hanna. Pupilnya melebar melihat pakaian yang Hanna kenakan. Gaun tipis dengan belahan dada rendah dan Bian yakin panjangnya hanya setengah paha. Bian bisa melihat betis Hanna yang terangkat karena posisi gadis itu sedang tengkurap di atas kasur.

“Sayang, apa yang Kakak bilang soal baju?” Bian menahan geram.

“Apa?” Hanna mengedip polos. Berganti terlentang mengekspos leher jenjangnya.

Kalau Bian ada di sana, bisa dipastikan Hanna sudah ia gilas habis.

“Di sini cuma ada aku kok, Kak. Gak ada siapa-siapa lagi. Lagian di rumah aku biasa pakai kayak gini kalau mau tidur.”

“Beda, Dek. Di rumah ada Ayah, Ibu, ada Kakak. Gak akan ada yang nerkam kamu.”

“Oh ya?” Hanna mengangkat alisnya tinggi-tinggi, “Kakak nggak juga?”

Bian menyeringai, “Mau banget ya Kakak terkam?”

Hanna mengangguk cepat, “Mau!” serunya semangat, “Mau posisi apa? Misionaris katanya lebih mudah buat malam pertama. Kakak di atas, aku yang di bawah. Atau Kakak punya usul?”

Baiklah, ini akan jadi menyenangkan untuk Hanna dan menjadi nista untuk Bian. Ia harus mandi air dingin setelah panggilan itu berakhir. Ia masih ingin meladeni Hanna sekarang.

“Nggak, itu aja. Biar lebih mudah Kakak masukinnya. Tapi kalau kamu mau gaya lain, gak papa setelah gaya itu. Doggie misalnya? Kakak masukin kamu dari belakang.”

Dewa batin Bian menyeringai melihat pipi putih Hanna bersemu. Mungkin ia berakhir nista dengan sabun, tapi ia nista sebagai pemenang.

“Jangan dibayangin, Dek.”

“Si-siapa yang ngebayangin coba?! Kakak tuh mesum!” pipi gadis itu menggembung lucu.

Bian merasa dirinya jatuh cinta selama berkali-kali kepada Hanna.

“Udah beres-beres, Dek?” ia mengganti topik.

Hanna menggeleng, “Besok aja. Masih capek ini.”

“Istirahat gih. Tapi jangan dimatiin video call-nya.”

Di seberang, Hanna meletakkan smartphone-nya di atas nakas menghadap ke arahnya. Ia kemudian kembali ke kasur mengambil posisi senyaman mungkin.

“Kakak gak mau ngapa-ngapain? Besok berangkat ke Bali kan?”

“Kakak udah selesai beres-beres tadi. Sana tidur.”

Hanna menarik selimut. Ia berbaring menyamping menghadap ke arah layar smartphone-nya. Tidak ada percakapan berarti sampai matanya mengantuk dan terpejam.

“Sweet dream, Sugar.” Bian berucap lembut, seolah Hanna berada di dekatnya. Ia mematikan sambungan video call-nya setelah Hanna sangat lelap.

***

Hanna menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Ia memandang kesal pada layar smartphone-nya. Padahal, pada chat whatsapp-nya dengan Bian, sudah tertera dua centang berwarna biru. Artinya, Bian sudah membaca chat-nya kan? Tapi lelaki itu tak juga membalas.

Hal itu terjadi bukan hanya sekali, tapi berkali-kali dalam sebulan terakhir. Hanna sendiri tak terasa sudah lima bulan di Singapore.

Frekuensi komunikasi mereka semakin mengecil. Hanna sudah sebisa mungkin meluangkan waktu untuk memberi kabar kepada Bian. Lelaki itu memang membalas, tapi ketika Hanna sudah tidur. Panggilan suara dan panggilan video dari Hanna sering tidak diangkat oleh Bian.

Tentu saja semua itu memupuk perasaan curiga di hati Hanna. Belum lagi saat menengok instagram tadi, Bian mengunggah foto bersama teman perempuannya dengan background sunset di pantai. Mengunggah foto di instagram saja Bian punya waktu, kenapa menghubunginya tak sempat? Tak mau kalah, Hanna juga mengunggah fotonya di Merlion bersama teman laki-lakinya.

Hanna Athalia: Kak Bi...

Centang dua, namun tak berwarna biru. Hanya masuk dan belum dibaca. Padahal Bian terakhir membuka whatsapp-nya semenit yang lalu. Sesibuk itukah Bian?

Hanna berubah tengkurap, meletakkan smartphonya sembarangan. Benda itu tergeletak di kakinya. Saat Hanna bergerak, benda tipis itu terjatuh ke lantai. Hanna tak terlalu peduli. Ia memejamkan mata dan tertidur.

Saat pagi menjelang, Hanna menemukan smartphone-nya mati total. Di-charger pun tak masuk. Hanna menghela napas, ia mengambil tas-nya dan berangkat ke kampus. Sebulan lagi sudah UAS. Kalau Bian tak bohong, lelaki itu akan mendatanginya bulan depan.

“Hanna, aku menghubungimu tapi ponselmu tak aktif.”

Itu adalah Jihan, teman sekelas dan sejurusan dengannya yang berasal dari Turki. Jihan al-Faruq lengkapnya. Cantik, muda dan berprestasi. Jangan lupa bahwa gadis itu juga ramah.

Hanna menunjukkan ponselnya dan menggoyangkannya di udara, “Semalam terjatuh, dan sepertinya perlu diperbaiki.”

“Apa yang perlu diperbaiki?” suara bariton menyahut membuat Jihan terkejut, itu Jayden.

Jihan merengut dan menepis tangan Jayden yang merangkul pundaknya, “Sudah kubilang jangan menyela tiba-tiba. Kau membuatku kaget.”

“Maaf, Cantik. Aku lupa kalau kau mudah terkejut.” Jayden mengacak rambut Jihan.

Hanna menatap mereka kesal, “Kenapa kalian tidak jadian saja?” dalam hati ia merasa iri dengan kemesraan keduanya. Ia yang sudah bersuami saja tidak bisa bermesraan begitu. Belum lagi Bian kurang memperhatikannya akhir-akhir ini. Memikirkannya membuat Hanna makin kesal. Alhasil, sepanjang hari mood-nya hancur total.

Bian sendiri yang baru membuka whatsapp-nya langsung membalas chat Hanna. Centang satu. Panggilan internasional cukup mahal, tapi Bian tak peduli. Ia mencari nomor Hanna di menu kontak, lalu meneleponnya.

Tidak aktif.

Bian menghela napas, sedang sibuk 'kah Hanna?

Doni yang baru datang langsung merebut smartphone-nya.

“Wih, cantik banget. Punya lo?”

Bian merebut kembali benda pipih itu, “Adek gue.”

“Kebetulan banget. Gue lagi cari cewek nih buat gandengan pas foto wisuda. Adek lo single?”

“Punya suami.” Bian menatap Doni malas, “gue.” ia menunjukkan cincin di jari manisnya.

Doni meraih tangan Bian dengan segera, lantas membolak-baliknya dengan ekspresi tak percaya.

“Lo kawinin adek lo sendiri? Lo tahu, hubungan sedarah di Indonesia itu tabu, Man. Bukan tabu lagi malah--”

“Bukan adek kandung. Dan gue sama dia nikah, bukan kawin.” Bian menyela, tak mau Doni berpikir yang tidak-tidak.

“Kayak cewek aja lo pake permasalahin kata kawin sama nikah. Ntar belakangnya pasti kawin-kawin juga.”

Bian tidak terlalu menanggapi. Ia menelepon Hanna lagi. Hasilnya sama, tak aktif. Ke mana sih gadisnya? Beberapa hari belakangan ia sedang sibuk mengurus wisudanya bulan depan. Hari ini kebetulan ia memiliki waktu senggang hingga bisa mengajak Doni minum kopi bersama.

“Gak diangkat?”

Bian menggeleng, “Gak aktif.”

“Lagi sibuk sama yang lain kali.” ujar Doni santai. Ia mengaduh karena Bian mengetuk kepalanya dengan smartphone-nya. “Lagian kalian udah kawin malah LDR. Nista banget lo punya bini tapi tiap malem nyabun.”

Sialan!

***

Download ebook lengkap My Step Brother di sini

My Step Brother - 4


Chapter 4

Acara pernikahan sudah selesai. Keputusan Hendri tidak bisa ditawar. Hanna benar-benar harus berangkat hari itu juga.

Mereka ada di dalam mobil yang Bian kemudikan, sedang dalam perjalanan ke bandara. Bian melirik gadis di sebelahnya yang mendadak murung. Padahal saat acara tadi, Hanna tidak berhenti tersenyum lebar.

“Dek, udah sampai.”

“Hah?” gadis itu tergeragap, “oh, kalau gitu aku berangkat, Kak.”

Bian menangkap tangan Hanna, “Pesawat kamu berangkatnya masih sekitar dua puluh menit lagi, Dek.”

“Apa bedanya dua puluh menit sama semenit atau sedetik? Aku juga akan tetap pergi.” Hanna berkata ketus, namun nadanya lemah.

Bian menghela napas. Ia mengerti perasaan Hanna. Ia pun tidak ingin berpisah lama dengan gadis itu. Terlebih Hanna adalah istrinya sekarang.

Tapi baik Bian atau pun Hanna tak bisa menentang keputusan Hendri. Bian juga setuju dengan keputusan ayahnya itu untuk menjauhkan Hanna darinya selama beberapa waktu. Supaya study gadis itu tidak terganggu. Supaya Bian fokus pada masa depan untuk menghidupi Hanna dan anak-anak mereka kelak.

Bian mengangkat pinggang Hanna dan mendudukkan gadis itu di pangkuannya. Meski tempatnya sempit oleh kemudi, namun Hanna tak mencoba menjauh.

“Kakak janji akan nyusul ke sana secepatnya.”

“Kapan?”

“Nanti.” Bian memeluk pinggang ramping Hanna, “kasih ciuman dong, Dek. Kakak bakalan merana nanti kalau sekarang aja ciuman gak dapet.”

Hanna mendengus, “Kakak jangan macam-macam di sini. Jangan lirik-lirik perempuan lain. Jangan jajan di luar. Kalau mau kerja, ya kerja aja. Awas kalau Kakak ketahuan selingkuh. Aku bakalan minta cerai saat itu juga.” ujarnya panjang lebar.

“Adek, baru juga nikah masa udah ngomongin cerai sih? Biasanya tuh kita mesra-mesraan, ciuman kek, pelukan kek.”

“Tuh kan, Kakak tuh mesum banget. Kalau aku pergi, nanti Kakak main belakang lagi.” Hanna mencebikkan bibir.

“Kakak malah takut kamu yang kegoda lelaki lain di sana. Jangan ya, Sayang?” pinta Bian penuh harap, “pokoknya di sana kamu cuma kuliah dan belajar. Bajunya pakai yang tertutup, jangan keluar kalau bukan urusan penting. Ngerti?”

Hanna mengangguk-angguk saja.

“Kakak serius, Dek. Kalau kamu ngelanggar, Kakak susul kamu ke sana saat itu juga.”

“Beneran?” mata Hanna membulat penuh harap. Kalau memang begitu, ia akan melanggar pantangan dariBian.

“Jangan mikir macam-macam.”

Hanna kembali merengut.

“Mana ciumannya?”

Hanna memukul pundak Bian dengan kesal. Setelahnya, ia memeluk leher Bian dan memagut bibir lelaki itu. Semakin lama, Hanna semakin jelas merasakan tekanan di bawah pahanya. Dengan sengaja ia menggerakkan tubuh, membuat lilitan tengan Bian di tubuhnya menguat dan lelaki itu mengerang.

Hanna melepas ciumannya. Berganti ia mencium dagu hingga ke pangkal leher Bian. Jakun lelaki itu naik turun. Kedua tangannya meraba dada bidang Bian sebelum kembali memeluk lelaki itu dan menciumnya lagi. Di bawah sana, Bian semakin keras.

Merasa cukup, Hanna menyudahi aksinya. Bola mata Bian berkabut. Lelaki itu menyerangnya balik. Menghisap bibirnya dan meremas payudaranya. Tidak berlangsung lama karena Hanna segera menghentikannya. Ia menggenggam kedua tangan Bian dan memberi jarak.

“Dek, waktunya masih banyak. Gak bisa dituntasin dulu gitu?” Bian bertanya dengan wajah sengsaranya. Astaga, dia sudah sangat keras sekarang.

“Itu bekal selama aku nggak ada.” Hanna mengerling.

Bian menghela napas, lantas terkekeh meski suaranya masih serak.

“Awas kamu nanti. Kakak bikin kamu gak bisa jalan.”

“Nggak takut.” Hanna memeletkan lidah, meremas gundukan di bawah pahanya lalu buru-buru menyingkir dari pangkuan Bian.

“Adek!” Bian mendelik.

Hanna tertawa, “Nyabun aja. Awas kalau cari sarang lain. Yuk turun,”

Melihat Hanna turun dengan ekspresi cerahnya, membuat Bian mengusap wajah nelangsa. Lagipula, dari mana istrinya itu mengenal istilah 'nyabun' dan 'sarang'?

Bian menyimpan senyum. Ia membawakan koper milik Hanna dan menyusul gadis itu. Ketika tiba di sebelahnya, ia merangkul pinggangnya dan mengecup bibirnya.

“Kakak, malu!” Hanna menjerit tertahan.

“Kamu juga jangan cari burung lain, ya.”

“Kalau burung di sana lebih oke, kenapa nggak?”

Bian mendelik lagi, rahangnya mengetat. Kenapa Hanna jadi se'nakal' ini?

Pengumuman penerbangan terdengar. Hanna berhenti di depan pintu masuk. Ia memutar badan dan memeluk Bian.

“Bercanda, Kakak. Jangan marah.”

Bian membalas dekapan itu. Ia menghidu dalam-dalam aroma feminin Hanna. Jadi mereka benar-benar harus menjalani LDR begitu?

“Kak?”

“Hm?”

“Gak mau dilepas? Nanti aku ketinggalan pesawat.”

Bian mengurai pelukannya dengan tak rela. Masih sekitar enam bulan lagi ia akan menyusul Hanna. Haruskah ia nelangsa selama seratus delapan puluh malam ke depan?

Bian mengecup kening Hanna dengan lembut dan penuh perasaan. Ia tersenyum tipis.

“Gih masuk. Kakak gak akan cari sarang lain kok. Nunggu kamu aja.”

Hanna mengulum senyumnya, ia mengecup pipi Bian dan meraih kopernya di tangan lelakinya. Lantas menyeretnya masuk tanpa menoleh lagi. Kalau ia sampai menoleh, bisa-bisa bukan ke Singapore ia terbang, tapi ke pelukan Bian.

***

Download ebook My Step Brother lengkap di sini

My Step Brother - 6 (Ending)

Chapter 6 ( Ending) Dua hari kemudian Bian membuka akun instagramnya. Gerahamnya segera saja bergemeletuk menahan geram ketika menda...