Chapter 5
***
Hanna Athalia:
Aku udah nyampe. Baru selesai mandi. Kakak lagi apa?
Itu chat
whatsapp yang dikirim Hanna setengah jam yang lalu. Dari tadi Bian menyibukkan
diri dengan berkas-berkas untuk keperluan wisudanya di Bali. Besok juga ia akan
segera kembali ke sana.
Albian Mahesa:
Mikirin kamu, Dek.
Hanna Athalia:
Gak lagi pacaran sama kertas dan pensil?
Bian terkekeh geli. Ia bisa membayangkan kalau saat ini
Hanna sedang mendengus malas. Ah, baru beberapa jam saja ia sudah rindu. Apa
kabar dengan enam bulan?
Bian melakukan panggilan video yang segera dijawab oleh
Hanna. Pupilnya melebar melihat pakaian yang Hanna kenakan. Gaun tipis dengan
belahan dada rendah dan Bian yakin panjangnya hanya setengah paha. Bian bisa
melihat betis Hanna yang terangkat karena posisi gadis itu sedang tengkurap di
atas kasur.
“Sayang, apa yang Kakak bilang soal baju?” Bian menahan
geram.
“Apa?” Hanna mengedip polos. Berganti terlentang
mengekspos leher jenjangnya.
Kalau Bian ada di sana, bisa dipastikan Hanna sudah ia
gilas habis.
“Di sini cuma ada aku kok, Kak. Gak ada siapa-siapa lagi.
Lagian di rumah aku biasa pakai kayak gini kalau mau tidur.”
“Beda, Dek. Di rumah ada Ayah, Ibu, ada Kakak. Gak akan
ada yang nerkam kamu.”
“Oh ya?” Hanna mengangkat alisnya tinggi-tinggi, “Kakak
nggak juga?”
Bian menyeringai, “Mau banget ya Kakak terkam?”
Hanna mengangguk cepat, “Mau!” serunya semangat, “Mau
posisi apa? Misionaris katanya lebih mudah buat malam pertama. Kakak di atas,
aku yang di bawah. Atau Kakak punya usul?”
Baiklah, ini akan jadi menyenangkan untuk Hanna dan
menjadi nista untuk Bian. Ia harus mandi air dingin setelah panggilan itu
berakhir. Ia masih ingin meladeni Hanna sekarang.
“Nggak, itu aja. Biar lebih mudah Kakak masukinnya. Tapi
kalau kamu mau gaya lain, gak papa setelah gaya itu. Doggie misalnya? Kakak
masukin kamu dari belakang.”
Dewa batin Bian menyeringai melihat pipi putih Hanna
bersemu. Mungkin ia berakhir nista dengan sabun, tapi ia nista sebagai
pemenang.
“Jangan dibayangin, Dek.”
“Si-siapa yang ngebayangin coba?! Kakak tuh mesum!” pipi
gadis itu menggembung lucu.
Bian merasa dirinya jatuh cinta selama berkali-kali
kepada Hanna.
“Udah beres-beres, Dek?” ia mengganti topik.
Hanna menggeleng, “Besok aja. Masih capek ini.”
“Istirahat gih. Tapi jangan dimatiin video call-nya.”
Di seberang, Hanna meletakkan smartphone-nya di atas
nakas menghadap ke arahnya. Ia kemudian kembali ke kasur mengambil posisi
senyaman mungkin.
“Kakak gak mau ngapa-ngapain? Besok berangkat ke Bali
kan?”
“Kakak udah selesai beres-beres tadi. Sana tidur.”
Hanna menarik selimut. Ia berbaring menyamping menghadap
ke arah layar smartphone-nya. Tidak ada percakapan berarti sampai matanya
mengantuk dan terpejam.
“Sweet dream,
Sugar.” Bian berucap lembut, seolah
Hanna berada di dekatnya. Ia mematikan sambungan video call-nya setelah Hanna
sangat lelap.
***
Hanna menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Ia
memandang kesal pada layar smartphone-nya. Padahal, pada chat whatsapp-nya
dengan Bian, sudah tertera dua centang berwarna biru. Artinya, Bian sudah
membaca chat-nya kan? Tapi lelaki itu tak juga membalas.
Hal itu terjadi bukan hanya sekali, tapi berkali-kali
dalam sebulan terakhir. Hanna sendiri tak terasa sudah lima bulan di Singapore.
Frekuensi komunikasi mereka semakin mengecil. Hanna sudah
sebisa mungkin meluangkan waktu untuk memberi kabar kepada Bian. Lelaki itu
memang membalas, tapi ketika Hanna sudah tidur. Panggilan suara dan panggilan
video dari Hanna sering tidak diangkat oleh Bian.
Tentu saja semua itu memupuk perasaan curiga di hati
Hanna. Belum lagi saat menengok instagram tadi, Bian mengunggah foto bersama
teman perempuannya dengan background sunset di pantai. Mengunggah foto di
instagram saja Bian punya waktu, kenapa menghubunginya tak sempat? Tak mau
kalah, Hanna juga mengunggah fotonya di Merlion bersama teman laki-lakinya.
Hanna Athalia: Kak
Bi...
Centang dua, namun tak berwarna biru. Hanya masuk dan
belum dibaca. Padahal Bian terakhir membuka whatsapp-nya semenit yang lalu.
Sesibuk itukah Bian?
Hanna berubah tengkurap, meletakkan smartphonya
sembarangan. Benda itu tergeletak di kakinya. Saat Hanna bergerak, benda tipis
itu terjatuh ke lantai. Hanna tak terlalu peduli. Ia memejamkan mata dan
tertidur.
Saat pagi menjelang, Hanna menemukan smartphone-nya mati
total. Di-charger pun tak masuk. Hanna menghela napas, ia mengambil tas-nya dan
berangkat ke kampus. Sebulan lagi sudah UAS. Kalau Bian tak bohong, lelaki itu
akan mendatanginya bulan depan.
“Hanna, aku menghubungimu tapi ponselmu tak aktif.”
Itu adalah Jihan, teman sekelas dan sejurusan dengannya
yang berasal dari Turki. Jihan al-Faruq lengkapnya. Cantik, muda dan
berprestasi. Jangan lupa bahwa gadis itu juga ramah.
Hanna menunjukkan ponselnya dan menggoyangkannya di
udara, “Semalam terjatuh, dan sepertinya perlu diperbaiki.”
“Apa yang perlu diperbaiki?” suara bariton menyahut
membuat Jihan terkejut, itu Jayden.
Jihan merengut dan menepis tangan Jayden yang merangkul
pundaknya, “Sudah kubilang jangan menyela tiba-tiba. Kau membuatku kaget.”
“Maaf, Cantik. Aku lupa kalau kau mudah terkejut.” Jayden
mengacak rambut Jihan.
Hanna menatap mereka kesal, “Kenapa kalian tidak jadian
saja?” dalam hati ia merasa iri dengan kemesraan keduanya. Ia yang sudah
bersuami saja tidak bisa bermesraan begitu. Belum lagi Bian kurang
memperhatikannya akhir-akhir ini. Memikirkannya membuat Hanna makin kesal.
Alhasil, sepanjang hari mood-nya hancur total.
Bian sendiri yang baru membuka whatsapp-nya langsung
membalas chat Hanna. Centang satu. Panggilan internasional cukup mahal, tapi
Bian tak peduli. Ia mencari nomor Hanna di menu kontak, lalu meneleponnya.
Tidak aktif.
Bian menghela napas, sedang sibuk 'kah Hanna?
Doni yang baru datang langsung merebut smartphone-nya.
“Wih, cantik banget. Punya lo?”
Bian merebut kembali benda pipih itu, “Adek gue.”
“Kebetulan banget. Gue lagi cari cewek nih buat gandengan
pas foto wisuda. Adek lo single?”
“Punya suami.” Bian menatap Doni malas, “gue.” ia
menunjukkan cincin di jari manisnya.
Doni meraih tangan Bian dengan segera, lantas
membolak-baliknya dengan ekspresi tak percaya.
“Lo kawinin adek lo sendiri? Lo tahu, hubungan sedarah di
Indonesia itu tabu, Man. Bukan tabu lagi malah--”
“Bukan adek kandung. Dan gue sama dia nikah, bukan
kawin.” Bian menyela, tak mau Doni berpikir yang tidak-tidak.
“Kayak cewek aja lo pake permasalahin kata kawin sama
nikah. Ntar belakangnya pasti kawin-kawin juga.”
Bian tidak terlalu menanggapi. Ia menelepon Hanna lagi.
Hasilnya sama, tak aktif. Ke mana sih gadisnya? Beberapa hari belakangan ia
sedang sibuk mengurus wisudanya bulan depan. Hari ini kebetulan ia memiliki
waktu senggang hingga bisa mengajak Doni minum kopi bersama.
“Gak diangkat?”
Bian menggeleng, “Gak aktif.”
“Lagi sibuk sama yang lain kali.” ujar Doni santai. Ia
mengaduh karena Bian mengetuk kepalanya dengan smartphone-nya. “Lagian kalian
udah kawin malah LDR. Nista banget lo punya bini tapi tiap malem nyabun.”
Sialan!
Download ebook lengkap My Step Brother di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan yaa :)