Selasa, 07 November 2017

My Step Brother - 4


Chapter 4

Acara pernikahan sudah selesai. Keputusan Hendri tidak bisa ditawar. Hanna benar-benar harus berangkat hari itu juga.

Mereka ada di dalam mobil yang Bian kemudikan, sedang dalam perjalanan ke bandara. Bian melirik gadis di sebelahnya yang mendadak murung. Padahal saat acara tadi, Hanna tidak berhenti tersenyum lebar.

“Dek, udah sampai.”

“Hah?” gadis itu tergeragap, “oh, kalau gitu aku berangkat, Kak.”

Bian menangkap tangan Hanna, “Pesawat kamu berangkatnya masih sekitar dua puluh menit lagi, Dek.”

“Apa bedanya dua puluh menit sama semenit atau sedetik? Aku juga akan tetap pergi.” Hanna berkata ketus, namun nadanya lemah.

Bian menghela napas. Ia mengerti perasaan Hanna. Ia pun tidak ingin berpisah lama dengan gadis itu. Terlebih Hanna adalah istrinya sekarang.

Tapi baik Bian atau pun Hanna tak bisa menentang keputusan Hendri. Bian juga setuju dengan keputusan ayahnya itu untuk menjauhkan Hanna darinya selama beberapa waktu. Supaya study gadis itu tidak terganggu. Supaya Bian fokus pada masa depan untuk menghidupi Hanna dan anak-anak mereka kelak.

Bian mengangkat pinggang Hanna dan mendudukkan gadis itu di pangkuannya. Meski tempatnya sempit oleh kemudi, namun Hanna tak mencoba menjauh.

“Kakak janji akan nyusul ke sana secepatnya.”

“Kapan?”

“Nanti.” Bian memeluk pinggang ramping Hanna, “kasih ciuman dong, Dek. Kakak bakalan merana nanti kalau sekarang aja ciuman gak dapet.”

Hanna mendengus, “Kakak jangan macam-macam di sini. Jangan lirik-lirik perempuan lain. Jangan jajan di luar. Kalau mau kerja, ya kerja aja. Awas kalau Kakak ketahuan selingkuh. Aku bakalan minta cerai saat itu juga.” ujarnya panjang lebar.

“Adek, baru juga nikah masa udah ngomongin cerai sih? Biasanya tuh kita mesra-mesraan, ciuman kek, pelukan kek.”

“Tuh kan, Kakak tuh mesum banget. Kalau aku pergi, nanti Kakak main belakang lagi.” Hanna mencebikkan bibir.

“Kakak malah takut kamu yang kegoda lelaki lain di sana. Jangan ya, Sayang?” pinta Bian penuh harap, “pokoknya di sana kamu cuma kuliah dan belajar. Bajunya pakai yang tertutup, jangan keluar kalau bukan urusan penting. Ngerti?”

Hanna mengangguk-angguk saja.

“Kakak serius, Dek. Kalau kamu ngelanggar, Kakak susul kamu ke sana saat itu juga.”

“Beneran?” mata Hanna membulat penuh harap. Kalau memang begitu, ia akan melanggar pantangan dariBian.

“Jangan mikir macam-macam.”

Hanna kembali merengut.

“Mana ciumannya?”

Hanna memukul pundak Bian dengan kesal. Setelahnya, ia memeluk leher Bian dan memagut bibir lelaki itu. Semakin lama, Hanna semakin jelas merasakan tekanan di bawah pahanya. Dengan sengaja ia menggerakkan tubuh, membuat lilitan tengan Bian di tubuhnya menguat dan lelaki itu mengerang.

Hanna melepas ciumannya. Berganti ia mencium dagu hingga ke pangkal leher Bian. Jakun lelaki itu naik turun. Kedua tangannya meraba dada bidang Bian sebelum kembali memeluk lelaki itu dan menciumnya lagi. Di bawah sana, Bian semakin keras.

Merasa cukup, Hanna menyudahi aksinya. Bola mata Bian berkabut. Lelaki itu menyerangnya balik. Menghisap bibirnya dan meremas payudaranya. Tidak berlangsung lama karena Hanna segera menghentikannya. Ia menggenggam kedua tangan Bian dan memberi jarak.

“Dek, waktunya masih banyak. Gak bisa dituntasin dulu gitu?” Bian bertanya dengan wajah sengsaranya. Astaga, dia sudah sangat keras sekarang.

“Itu bekal selama aku nggak ada.” Hanna mengerling.

Bian menghela napas, lantas terkekeh meski suaranya masih serak.

“Awas kamu nanti. Kakak bikin kamu gak bisa jalan.”

“Nggak takut.” Hanna memeletkan lidah, meremas gundukan di bawah pahanya lalu buru-buru menyingkir dari pangkuan Bian.

“Adek!” Bian mendelik.

Hanna tertawa, “Nyabun aja. Awas kalau cari sarang lain. Yuk turun,”

Melihat Hanna turun dengan ekspresi cerahnya, membuat Bian mengusap wajah nelangsa. Lagipula, dari mana istrinya itu mengenal istilah 'nyabun' dan 'sarang'?

Bian menyimpan senyum. Ia membawakan koper milik Hanna dan menyusul gadis itu. Ketika tiba di sebelahnya, ia merangkul pinggangnya dan mengecup bibirnya.

“Kakak, malu!” Hanna menjerit tertahan.

“Kamu juga jangan cari burung lain, ya.”

“Kalau burung di sana lebih oke, kenapa nggak?”

Bian mendelik lagi, rahangnya mengetat. Kenapa Hanna jadi se'nakal' ini?

Pengumuman penerbangan terdengar. Hanna berhenti di depan pintu masuk. Ia memutar badan dan memeluk Bian.

“Bercanda, Kakak. Jangan marah.”

Bian membalas dekapan itu. Ia menghidu dalam-dalam aroma feminin Hanna. Jadi mereka benar-benar harus menjalani LDR begitu?

“Kak?”

“Hm?”

“Gak mau dilepas? Nanti aku ketinggalan pesawat.”

Bian mengurai pelukannya dengan tak rela. Masih sekitar enam bulan lagi ia akan menyusul Hanna. Haruskah ia nelangsa selama seratus delapan puluh malam ke depan?

Bian mengecup kening Hanna dengan lembut dan penuh perasaan. Ia tersenyum tipis.

“Gih masuk. Kakak gak akan cari sarang lain kok. Nunggu kamu aja.”

Hanna mengulum senyumnya, ia mengecup pipi Bian dan meraih kopernya di tangan lelakinya. Lantas menyeretnya masuk tanpa menoleh lagi. Kalau ia sampai menoleh, bisa-bisa bukan ke Singapore ia terbang, tapi ke pelukan Bian.

***

Download ebook My Step Brother lengkap di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan yaa :)

My Step Brother - 6 (Ending)

Chapter 6 ( Ending) Dua hari kemudian Bian membuka akun instagramnya. Gerahamnya segera saja bergemeletuk menahan geram ketika menda...