Chapter 4
Acara pernikahan sudah selesai. Keputusan Hendri tidak
bisa ditawar. Hanna benar-benar harus berangkat hari itu juga.
Mereka ada di dalam mobil yang Bian kemudikan, sedang
dalam perjalanan ke bandara. Bian melirik gadis di sebelahnya yang mendadak
murung. Padahal saat acara tadi, Hanna tidak berhenti tersenyum lebar.
“Dek, udah sampai.”
“Hah?” gadis itu tergeragap, “oh, kalau gitu aku
berangkat, Kak.”
Bian menangkap tangan Hanna, “Pesawat kamu berangkatnya
masih sekitar dua puluh menit lagi, Dek.”
“Apa bedanya dua puluh menit sama semenit atau sedetik?
Aku juga akan tetap pergi.” Hanna berkata ketus, namun nadanya lemah.
Bian menghela napas. Ia mengerti perasaan Hanna. Ia pun
tidak ingin berpisah lama dengan gadis itu. Terlebih Hanna adalah istrinya
sekarang.
Tapi baik Bian atau pun Hanna tak bisa menentang
keputusan Hendri. Bian juga setuju dengan keputusan ayahnya itu untuk
menjauhkan Hanna darinya selama beberapa waktu. Supaya study gadis itu tidak
terganggu. Supaya Bian fokus pada masa depan untuk menghidupi Hanna dan
anak-anak mereka kelak.
Bian mengangkat pinggang Hanna dan mendudukkan gadis itu
di pangkuannya. Meski tempatnya sempit oleh kemudi, namun Hanna tak mencoba
menjauh.
“Kakak janji akan nyusul ke sana secepatnya.”
“Kapan?”
“Nanti.” Bian memeluk pinggang ramping Hanna, “kasih
ciuman dong, Dek. Kakak bakalan merana nanti kalau sekarang aja ciuman gak
dapet.”
Hanna mendengus, “Kakak jangan macam-macam di sini.
Jangan lirik-lirik perempuan lain. Jangan jajan di luar. Kalau mau kerja, ya
kerja aja. Awas kalau Kakak ketahuan selingkuh. Aku bakalan minta cerai saat
itu juga.” ujarnya panjang lebar.
“Adek, baru juga nikah masa udah ngomongin cerai sih?
Biasanya tuh kita mesra-mesraan, ciuman kek, pelukan kek.”
“Tuh kan, Kakak tuh mesum banget. Kalau aku pergi, nanti
Kakak main belakang lagi.” Hanna mencebikkan bibir.
“Kakak malah takut kamu yang kegoda lelaki lain di sana.
Jangan ya, Sayang?” pinta Bian penuh harap, “pokoknya di sana kamu cuma kuliah
dan belajar. Bajunya pakai yang tertutup, jangan keluar kalau bukan urusan
penting. Ngerti?”
Hanna mengangguk-angguk saja.
“Kakak serius, Dek. Kalau kamu ngelanggar, Kakak susul
kamu ke sana saat itu juga.”
“Beneran?” mata Hanna membulat penuh harap. Kalau memang
begitu, ia akan melanggar pantangan dariBian.
“Jangan mikir macam-macam.”
Hanna kembali merengut.
“Mana ciumannya?”
Hanna memukul pundak Bian dengan kesal. Setelahnya, ia
memeluk leher Bian dan memagut bibir lelaki itu. Semakin lama, Hanna semakin
jelas merasakan tekanan di bawah pahanya. Dengan sengaja ia menggerakkan tubuh,
membuat lilitan tengan Bian di tubuhnya menguat dan lelaki itu mengerang.
Hanna melepas ciumannya. Berganti ia mencium dagu hingga
ke pangkal leher Bian. Jakun lelaki itu naik turun. Kedua tangannya meraba dada
bidang Bian sebelum kembali memeluk lelaki itu dan menciumnya lagi. Di bawah
sana, Bian semakin keras.
Merasa cukup, Hanna menyudahi aksinya. Bola mata Bian
berkabut. Lelaki itu menyerangnya balik. Menghisap bibirnya dan meremas
payudaranya. Tidak berlangsung lama karena Hanna segera menghentikannya. Ia
menggenggam kedua tangan Bian dan memberi jarak.
“Dek, waktunya masih banyak. Gak bisa dituntasin dulu
gitu?” Bian bertanya dengan wajah sengsaranya. Astaga, dia sudah sangat keras
sekarang.
“Itu bekal selama aku nggak ada.” Hanna mengerling.
Bian menghela napas, lantas terkekeh meski suaranya masih
serak.
“Awas kamu nanti. Kakak bikin kamu gak bisa jalan.”
“Nggak takut.” Hanna memeletkan lidah, meremas gundukan
di bawah pahanya lalu buru-buru menyingkir dari pangkuan Bian.
“Adek!” Bian mendelik.
Hanna tertawa, “Nyabun aja. Awas kalau cari sarang lain.
Yuk turun,”
Melihat Hanna turun dengan ekspresi cerahnya, membuat
Bian mengusap wajah nelangsa. Lagipula, dari mana istrinya itu mengenal istilah
'nyabun' dan 'sarang'?
Bian menyimpan senyum. Ia membawakan koper milik Hanna
dan menyusul gadis itu. Ketika tiba di sebelahnya, ia merangkul pinggangnya dan
mengecup bibirnya.
“Kakak, malu!” Hanna menjerit tertahan.
“Kamu juga jangan cari burung lain, ya.”
“Kalau burung di sana lebih oke, kenapa nggak?”
Bian mendelik lagi, rahangnya mengetat. Kenapa Hanna jadi
se'nakal' ini?
Pengumuman penerbangan terdengar. Hanna berhenti di depan
pintu masuk. Ia memutar badan dan memeluk Bian.
“Bercanda, Kakak. Jangan marah.”
Bian membalas dekapan itu. Ia menghidu dalam-dalam aroma
feminin Hanna. Jadi mereka benar-benar harus menjalani LDR begitu?
“Kak?”
“Hm?”
“Gak mau dilepas? Nanti aku ketinggalan pesawat.”
Bian mengurai pelukannya dengan tak rela. Masih sekitar
enam bulan lagi ia akan menyusul Hanna. Haruskah ia nelangsa selama seratus
delapan puluh malam ke depan?
Bian mengecup kening Hanna dengan lembut dan penuh
perasaan. Ia tersenyum tipis.
“Gih masuk. Kakak gak akan cari sarang lain kok. Nunggu
kamu aja.”
Hanna mengulum senyumnya, ia mengecup pipi Bian dan
meraih kopernya di tangan lelakinya. Lantas menyeretnya masuk tanpa menoleh
lagi. Kalau ia sampai menoleh, bisa-bisa bukan ke Singapore ia terbang, tapi ke
pelukan Bian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan yaa :)