Chapter 1
Kalau ada typo atau kalimat tidak efektif, please, tandai dan komen ya. Happy reading.. 📖📖..
Kalau ada typo atau kalimat tidak efektif, please, tandai dan komen ya. Happy reading.. 📖📖..
***
“Han, kakak kamu udah berangkat dari Bali. Kamu ya, yang jemput di bandara? Ibu sama ayah mau ke resepsian.”
“Han, kakak kamu udah berangkat dari Bali. Kamu ya, yang jemput di bandara? Ibu sama ayah mau ke resepsian.”
Hanna yang tengah berkutat dengan laptop yang kini dipangkunya menghela napas, “Iya, Bu.” jawabnya pasrah.
“Yang ikhlas lho, Han,
nolongin orang tua. Ini juga gara-gara jam pesawat yang ditumpangi
kakakmu molor sampai dua jam. Kalau gak gitu, pasti ayahmu jemput
kakakmu sendiri.”
Duh, gini nih nasibnya
seorang anak. Pokoknya, ibu negara selalu benar, deh! Hanna memutar bola
mata jengkel. Bibir merah mudanya berkomat-kamit menggerutu tanpa
suara.
“Adudududuh, Bu!” Hanna mengaduh tiba-tiba karena daun telinganya dijewer tanpa ampun oleh sang ibu.
Melanie melepas
jewerannya dan mengomel lagi, “Yang ikhlas, Han, yang ikhlas. Anak siapa
sih kamu kok ya kerjaannya menggerutu terus.”
Hanna berdiri, sambil
membawa laptopnya ia berjalan menuju kamar, “Anak Ibu sama Ayah, lah.
Kan Ibu sama Ayah yang bikin. Masa Ibu lupa sih?”
“Hanna!” Ibu mendelik, lalu menggeleng-geleng tak percaya melihat Hanna tertawa di balik pintu kamar gadis itu.
Makin ke sini kelakuan
anak gadisnya kok ya makin amburadul. Kalau Hanna masih saja begitu,
Melanie akan berbicara dengan Hendri untuk menikahkan saja anak gadisnya
itu setelah lulus SMA sebulan lagi. Siapa tahu dengan menikah Hanna
akan jadi lebih teratur.
***
Hanna menunggu dengan
wajah ditekuk total karena kakaknya tak juga menampakkan batang
hidungnya. Mana mataharinya panas banget lagi. Hanna menyesal ia hanya
menggunakan hot pants dan kaos lengan panjang dengan tinggi
setengah paha dari rumah tadi. Ia juga menyesal tidak mengikat
rambutnya. Yaa, mana tahu kalau si raja siang sedang bersemangat hari
ini, kan?
Sepuluh menit kemudian
Albian Mahesa muncul dengan tas punggung besar yang disanggulnya di
lengan kiri dengan mudah. Penantian Hanna yang terasa berjam-jam lamanya
akhirnya terbayar. Hanna ingin segera pulang dan berendam di bak mandi.
“Nih, kakak yang
nyetir.” tanpa tedeng aling-aling Hanna melemparkan kunci mobil kepada
Bian. Gadis itu langsung masuk ke dalam mobil duduk dengan lengan
bersidekap.
Bian mengerutkan alis,
ia memperbaiki letak tasnya lantas menunduk di sebelah Hanna. Terasa
olehnya tubuh sang adik menegang ketika ia mencondongkan tubuh untuk
memasangkan sabuk pengaman gadis itu.
“Masih aja ya? Mau sampai kapan dipasangin terus seatbelt-nya?” godanya lalu mengacak puncak kepala Hanna dengan gemas.
Hanna mendengus,
bibirnya mengerucut sebal. Sejenak, perhatian Bian terfokus ke arah
bibir itu. Lekas ia memundurkan tubuh dan menutup pintu mobil. Ia
mengambil tempat di bangku kemudi setelah meletakkan tasnya di jok
belakang.
“Sekolah kamu gimana, Dek?” tanya Bian sambil lalu.
“Ngapain nanya-nanya?” gadis itu membalas dengan tanya jutek.
“Gak boleh nanya memangnya?”
“Gak boleh!”
“Hm. Kenapa?”
“Ya gak boleh aja. Udah
deh, nyetir aja yang bener!” ketus Hanna, tidak mau berbicara apapun
lagi dengan Bian. Ia memilih menyetel radio keras-keras di dalam mobil
itu.
“Dek, kecilin lah volume-nya. Bisa bikin orang keganggu, kan.”
Hanna pura-pura tidak mendengar. Ia membuang pandangannya ke luar jendela. Bian tersinggung? Ia tak peduli.
***
Namanya Hanna Athalia.
Kalau Bian tak salah menghitung, kini Hanna sudah berusia delapan belas
tahun. Selisih tiga tahun dengannya. Adiknya itu cantik, kulitnya putih
dan tingginya semampai. Bian tidak akan merasa heran kalau Hanna
dikejar-kejar kaum lelaki. Gadis itu, terlepas dari parasnya yang cantik
juga memiliki feromon yang menarik perhatian makhluk Adam.
Bian juga tidak akan
heran kalau Hanna punya banyak teman laki-laki—jauh lebih banyak dari
teman perempuan. Satu, dua, tiga... Ada lima suara berbeda dari
teman-teman Hanna yang kini bertandang ke rumah. Mereka ramai, Bian yang
berada di kamarnya tersenyum tipis mendengar tawa renyah Hanna.
Penasaran dengan apa
yang Hanna lakukan dengan teman-temannya, Bian pun keluar dari kamar. Sejurus kemudian ia menyesali keputusannya. Hanna, dengan hanya
menggunakan blouse lengan pendek tipis dan hot pants duduk
di antara teman-teman laki-lakinya yang berjumlah tiga orang.
Mereka
duduk melingkar di atas karpet, ada dua orang gadis lain di sana. Kenapa
Hanna tidak duduk di antara dua teman perempuannya?
Bian menghela napas dalam-dalam. Ia melangkah tenang mengekori Hanna, gadis itu pergi ke dapur, entah untuk mengambil apa.
“Dek, pakai baju yang lebih sopan lah. Apalagi di depan laki-laki.” tegur Bian di muka dapur.
“Terserah aku, lah. Baju, baju aku. Badan juga, badan aku. Kenapa kakak yang repot? Gak usah sok peduli.”
Bian mengepalkan tangan.
Tanpa bisa ia cegah, kakinya telah melangkah dan kedua tangannya
merangkum wajah Hanna. Sejurus kemudian, bibirnya telah membungkam bibir
gadis itu.
Hanna tentu saja
terkejut. Setelah kesadarannya pulih, ia meronta. Tetapi Bian menahan
tangannya dan memeluk tubuhnya dengan erat.
“K-Kak—lep-pas!”
Bian terhenyak. Ia melangkah mundur dengan tatapan nanar kepada Hanna yang berlinang air mata,
“Dek, maaf. Kakak nggak—”
Plak!
Bian memegang pipinya
yang terasa perih. Ia terpaku, tak bisa berkata-kata ketika Hanna
melangkah cepat setelah mendorong tubuhnya.
Sebenarnya ia kenapa?
Bian memukul dinding dapur dengan amarah besar. Setelah sekian tahun,
kenapa sekarang ia bisa lepas kendali? Demi Tuhan, demi Ayah dan Ibu
yang dihormatinya, Hanna itu adiknya!
Napasnya memburu, Bian melangkah lebar kembali ke kamarnya dan menutup pintu dengan sekali bantingan.
“Astaga! Dia kakak lo, ‘kan, Han? Kok kayak yang marah?”
Menjawab pertanyaan Shelly, Hanna mengangguk. “Dia emang aneh.”
“Tapi kece badai, mau dong gue dikenalin sama dia.” Kiandra menangkup pipinya yang terasa panas, “hot banget kakak lo, Han.”
Dan perkataannya itu membuat semua teman-temannya menyorakinya. Hanna memutar bola mata jengah.
***
“Han, kamu jadi mau kuliah atau gimana?” Hendri memulai percakapan setelah makan malam usai.
“Hanna mau ngambil jurusan manajemen di Singapura, Yah. Jadi, ya, Hanna mau lanjut kuliah.”
“Dinikahkan aja dulu, Yah, Hanna-nya. Biar gak macam-macam di sana, jauh dari pengawasan orang tua.” Melanie menimpali.
Segera saja Hanna merengut, “Ibu apaan sih.”
“Kamu ingat Jaya, nggak,
Bi? Teman kamu di SMA.” Hendri tiba-tiba bertanya, mengajak Bian masuk
dalam pembicaraan. Ketika Bian mengangguk, barulah Hendri menjelaskan,
“Kemarin Ayah ketemu dia dan Papanya. Menurut kamu, kalau Jaya jadi sama
adik kamu gimana, Bi?”
Bian menatap Hanna, lalu tersenyum tipis kepada ayahnya, “Jaya laki-laki baik, Yah. Dia pasti bisa jagain Hanna.”
Srekk
Hanna berdiri hingga
kursi yang didudukinya bergeser, “Hanna ke kamar dulu, Yah, Bu.” tukas
gadis itu lantas meninggalkan meja makan.
“Kalau kamu, kapan mau bawa perempuan ke sini, Bi? Kuliah udah hampir kelar, kamu juga udah punya kerjaan, ‘kan, di Bali?”
“Nanti, Bu.” jawab Bian, “masih ada sesuatu yang harus Bian selesaikan.”
Itu tentang hatinya.
Bian tidak pernah merasa tertarik begitu dalam kepada seorang perempuan.
Di universitas tempatnya menuntut ilmu di Bali, perempuan cantik dan
berpendidikan yang menaruh perhatian padanya tidak sedikit jumlahnya.
Hanya saja, hatinya tak bisa berkompromi. Ia tetap terpaut pada satu
nama.
Hanna Athalia. Adiknya sendiri.
Hanna bukanlah adik
kandungnya. Bian adalah anak dari sahabat Hendri yang telah tiada,
Hendri dan Melani sepakat untuk mengadopsi Bian. Saat itu, usia Bian
masih tiga tahun. Hanna sendiri masih berusia seminggu.
Dulunya, Bian dekat
sekali Hanna. Bian menyayangi Hanna, Hanna pun manjanya bukan main
kepada Bian yang dianggapnya superhero karena selalu meniup lukanya
ketika Hanna jatuh. Hubungan mereka dulunya baik-baik saja, sampai
permainan hati merusak segalanya.
Hanna, yang saat itu
sudah masuk SMA, menyatakan bahwa ia memiliki perasaan kepada Bian. Bian
tidak menganggapnya serius saat itu. Tetapi Hana keukeuh, sebulan penuh
Bian berada di rumah untuk menghabiskan liburan pasca UAS, nyaris
setiap ada kesempatan Hanna selalu berkata bahwa gadis itu mencintainya.
Suatu pagi sebelum
keberangkatan Bian ke Bali, Hanna lagi-lagi menyatakan cintanya. Gadis
muda itu bahkan menangis ketika dengan tegas Bian menolaknya. Mereka
adalah saudara, lagipula, Hanna masih kecil. Itulah jawaban Bian.
Dan penolakan itu,
mematahkan hati Hanna. Ia tak bisa bersikap biasa kepada Bian. Ia
menutupi perasaannya dengan sikap kasarnya, tidak ingin Bian tahu kalau
sampai saat ini ia masih menyimpan rasa. Selalu untuk Bian.
Sayup-sayup Hanna mendengar ada suara perempuan di luar. Sepertinya sedang berbicara dengan Bian.
Hanna keluar dari
kamarnya. Di ruang keluarga yang menyatu dengan ruang tamu hanya ada
Ayah dan Ibu. Pintu utama terbuka, tidak seperti biasanya. Hanna
berjalan ke arah pintu itu, hendak menutupnya.
“Bi, kasih aku kesempatan. Aku cinta sama kamu, Bi.”
Rupanya, suara perempuan
yang tengah berbicara dengan Bian itu berasal dari teras. Tidak ada
sahutan dari Bian setelah pernyataan perempuan itu. Hanna tidak tahu
kenapa dirinya sebegitu penasaran. Ia melanjutkan langkah, dan membeku
bahkan sebelum mencapai ambang pintu.
Bian dan perempuan asing itu berciuman.
Fiiy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan yaa :)