Selasa, 07 November 2017

My Step Brother - 1

Chapter 1


Kalau ada typo atau kalimat tidak efektif, please, tandai dan komen ya. Happy reading.. 📖📖..

***

“Han, kakak kamu udah berangkat dari Bali. Kamu ya, yang jemput di bandara? Ibu sama ayah mau ke resepsian.”

Hanna yang tengah berkutat dengan laptop yang kini dipangkunya menghela napas, “Iya, Bu.” jawabnya pasrah.

“Yang ikhlas lho, Han, nolongin orang tua. Ini juga gara-gara jam pesawat yang ditumpangi kakakmu molor sampai dua jam. Kalau gak gitu, pasti ayahmu jemput kakakmu sendiri.”

Duh, gini nih nasibnya seorang anak. Pokoknya, ibu negara selalu benar, deh! Hanna memutar bola mata jengkel. Bibir merah mudanya berkomat-kamit menggerutu tanpa suara.

“Adudududuh, Bu!” Hanna mengaduh tiba-tiba karena daun telinganya dijewer tanpa ampun oleh sang ibu.

Melanie melepas jewerannya dan mengomel lagi, “Yang ikhlas, Han, yang ikhlas. Anak siapa sih kamu kok ya kerjaannya menggerutu terus.”

Hanna berdiri, sambil membawa laptopnya ia berjalan menuju kamar, “Anak Ibu sama Ayah, lah. Kan Ibu sama Ayah yang bikin. Masa Ibu lupa sih?”

“Hanna!” Ibu mendelik, lalu menggeleng-geleng tak percaya melihat Hanna tertawa di balik pintu kamar gadis itu.

Makin ke sini kelakuan anak gadisnya kok ya makin amburadul. Kalau Hanna masih saja begitu, Melanie akan berbicara dengan Hendri untuk menikahkan saja anak gadisnya itu setelah lulus SMA sebulan lagi. Siapa tahu dengan menikah Hanna akan jadi lebih teratur.

***

Hanna menunggu dengan wajah ditekuk total karena kakaknya tak juga menampakkan batang hidungnya. Mana mataharinya panas banget lagi. Hanna menyesal ia hanya menggunakan hot pants dan kaos lengan panjang dengan tinggi setengah paha dari rumah tadi. Ia juga menyesal tidak mengikat rambutnya. Yaa, mana tahu kalau si raja siang sedang bersemangat hari ini, kan?

Sepuluh menit kemudian Albian Mahesa muncul dengan tas punggung besar yang disanggulnya di lengan kiri dengan mudah. Penantian Hanna yang terasa berjam-jam lamanya akhirnya terbayar. Hanna ingin segera pulang dan berendam di bak mandi.

“Nih, kakak yang nyetir.” tanpa tedeng aling-aling Hanna melemparkan kunci mobil kepada Bian. Gadis itu langsung masuk ke dalam mobil duduk dengan lengan bersidekap.

Bian mengerutkan alis, ia memperbaiki letak tasnya lantas menunduk di sebelah Hanna. Terasa olehnya tubuh sang adik menegang ketika ia mencondongkan tubuh untuk memasangkan sabuk pengaman gadis itu.

“Masih aja ya? Mau sampai kapan dipasangin terus seatbelt-nya?” godanya lalu mengacak puncak kepala Hanna dengan gemas.

Hanna mendengus, bibirnya mengerucut sebal. Sejenak, perhatian Bian terfokus ke arah bibir itu. Lekas ia memundurkan tubuh dan menutup pintu mobil. Ia mengambil tempat di bangku kemudi setelah meletakkan tasnya di jok belakang.

“Sekolah kamu gimana, Dek?” tanya Bian sambil lalu.

“Ngapain nanya-nanya?” gadis itu membalas dengan tanya jutek.

“Gak boleh nanya memangnya?”

“Gak boleh!”

“Hm. Kenapa?”

“Ya gak boleh aja. Udah deh, nyetir aja yang bener!” ketus Hanna, tidak mau berbicara apapun lagi dengan Bian. Ia memilih menyetel radio keras-keras di dalam mobil itu.

“Dek, kecilin lah volume-nya. Bisa bikin orang keganggu, kan.”

Hanna pura-pura tidak mendengar. Ia membuang pandangannya ke luar jendela. Bian tersinggung? Ia tak peduli.

***

Namanya Hanna Athalia. Kalau Bian tak salah menghitung, kini Hanna sudah berusia delapan belas tahun. Selisih tiga tahun dengannya. Adiknya itu cantik, kulitnya putih dan tingginya semampai. Bian tidak akan merasa heran kalau Hanna dikejar-kejar kaum lelaki. Gadis itu, terlepas dari parasnya yang cantik juga memiliki feromon yang menarik perhatian makhluk Adam.

Bian juga tidak akan heran kalau Hanna punya banyak teman laki-laki—jauh lebih banyak dari teman perempuan. Satu, dua, tiga... Ada lima suara berbeda dari teman-teman Hanna yang kini bertandang ke rumah. Mereka ramai, Bian yang berada di kamarnya tersenyum tipis mendengar tawa renyah Hanna.

Penasaran dengan apa yang Hanna lakukan dengan teman-temannya, Bian pun keluar dari kamar. Sejurus kemudian ia menyesali keputusannya. Hanna, dengan hanya menggunakan blouse lengan pendek tipis dan hot pants duduk di antara teman-teman laki-lakinya yang berjumlah tiga orang. 

Mereka duduk melingkar di atas karpet, ada dua orang gadis lain di sana. Kenapa Hanna tidak duduk di antara dua teman perempuannya?

Bian menghela napas dalam-dalam. Ia melangkah tenang mengekori Hanna, gadis itu pergi ke dapur, entah untuk mengambil apa.

“Dek, pakai baju yang lebih sopan lah. Apalagi di depan laki-laki.” tegur Bian di muka dapur.

“Terserah aku, lah. Baju, baju aku. Badan juga, badan aku. Kenapa kakak yang repot? Gak usah sok peduli.”

Bian mengepalkan tangan. Tanpa bisa ia cegah, kakinya telah melangkah dan kedua tangannya merangkum wajah Hanna. Sejurus kemudian, bibirnya telah membungkam bibir gadis itu.
Hanna tentu saja terkejut. Setelah kesadarannya pulih, ia meronta. Tetapi Bian menahan tangannya dan memeluk tubuhnya dengan erat.

“K-Kak—lep-pas!”

Bian terhenyak. Ia melangkah mundur dengan tatapan nanar kepada Hanna yang berlinang air mata, 

“Dek, maaf. Kakak nggak—”

Plak!

Bian memegang pipinya yang terasa perih. Ia terpaku, tak bisa berkata-kata ketika Hanna melangkah cepat setelah mendorong tubuhnya.

Sebenarnya ia kenapa? Bian memukul dinding dapur dengan amarah besar. Setelah sekian tahun, kenapa sekarang ia bisa lepas kendali? Demi Tuhan, demi Ayah dan Ibu yang dihormatinya, Hanna itu adiknya!

Napasnya memburu, Bian melangkah lebar kembali ke kamarnya dan menutup pintu dengan sekali bantingan.

“Astaga! Dia kakak lo, ‘kan, Han? Kok kayak yang marah?”

Menjawab pertanyaan Shelly, Hanna mengangguk. “Dia emang aneh.”

“Tapi kece badai, mau dong gue dikenalin sama dia.” Kiandra menangkup pipinya yang terasa panas, “hot banget kakak lo, Han.”

Dan perkataannya itu membuat semua teman-temannya menyorakinya. Hanna memutar bola mata jengah.

***

“Han, kamu jadi mau kuliah atau gimana?” Hendri memulai percakapan setelah makan malam usai.

“Hanna mau ngambil jurusan manajemen di Singapura, Yah. Jadi, ya, Hanna mau lanjut kuliah.”

“Dinikahkan aja dulu, Yah, Hanna-nya. Biar gak macam-macam di sana, jauh dari pengawasan orang tua.” Melanie menimpali.

Segera saja Hanna merengut, “Ibu apaan sih.”

“Kamu ingat Jaya, nggak, Bi? Teman kamu di SMA.” Hendri tiba-tiba bertanya, mengajak Bian masuk dalam pembicaraan. Ketika Bian mengangguk, barulah Hendri menjelaskan, “Kemarin Ayah ketemu dia dan Papanya. Menurut kamu, kalau Jaya jadi sama adik kamu gimana, Bi?”

Bian menatap Hanna, lalu tersenyum tipis kepada ayahnya, “Jaya laki-laki baik, Yah. Dia pasti bisa jagain Hanna.”

Srekk

Hanna berdiri hingga kursi yang didudukinya bergeser, “Hanna ke kamar dulu, Yah, Bu.” tukas gadis itu lantas meninggalkan meja makan.

“Kalau kamu, kapan mau bawa perempuan ke sini, Bi? Kuliah udah hampir kelar, kamu juga udah punya kerjaan, ‘kan, di Bali?”

“Nanti, Bu.” jawab Bian, “masih ada sesuatu yang harus Bian selesaikan.”

Itu tentang hatinya. Bian tidak pernah merasa tertarik begitu dalam kepada seorang perempuan. Di universitas tempatnya menuntut ilmu di Bali, perempuan cantik dan berpendidikan yang menaruh perhatian padanya tidak sedikit jumlahnya. Hanya saja, hatinya tak bisa berkompromi. Ia tetap terpaut pada satu nama.

Hanna Athalia. Adiknya sendiri.

Hanna bukanlah adik kandungnya. Bian adalah anak dari sahabat Hendri yang telah tiada, Hendri dan Melani sepakat untuk mengadopsi Bian. Saat itu, usia Bian masih tiga tahun. Hanna sendiri masih berusia seminggu.

Dulunya, Bian dekat sekali Hanna. Bian menyayangi Hanna, Hanna pun manjanya bukan main kepada Bian yang dianggapnya superhero karena selalu meniup lukanya ketika Hanna jatuh. Hubungan mereka dulunya baik-baik saja, sampai permainan hati merusak segalanya.

Hanna, yang saat itu sudah masuk SMA, menyatakan bahwa ia memiliki perasaan kepada Bian. Bian tidak menganggapnya serius saat itu. Tetapi Hana keukeuh, sebulan penuh Bian berada di rumah untuk menghabiskan liburan pasca UAS, nyaris setiap ada kesempatan Hanna selalu berkata bahwa gadis itu mencintainya.

Suatu pagi sebelum keberangkatan Bian ke Bali, Hanna lagi-lagi menyatakan cintanya. Gadis muda itu bahkan menangis ketika dengan tegas Bian menolaknya. Mereka adalah saudara, lagipula, Hanna masih kecil. Itulah jawaban Bian.

Dan penolakan itu, mematahkan hati Hanna. Ia tak bisa bersikap biasa kepada Bian. Ia menutupi perasaannya dengan sikap kasarnya, tidak ingin Bian tahu kalau sampai saat ini ia masih menyimpan rasa. Selalu untuk Bian.

Sayup-sayup Hanna mendengar ada suara perempuan di luar. Sepertinya sedang berbicara dengan Bian.

Hanna keluar dari kamarnya. Di ruang keluarga yang menyatu dengan ruang tamu hanya ada Ayah dan Ibu. Pintu utama terbuka, tidak seperti biasanya. Hanna berjalan ke arah pintu itu, hendak menutupnya.

“Bi, kasih aku kesempatan. Aku cinta sama kamu, Bi.”

Rupanya, suara perempuan yang tengah berbicara dengan Bian itu berasal dari teras. Tidak ada sahutan dari Bian setelah pernyataan perempuan itu. Hanna tidak tahu kenapa dirinya sebegitu penasaran. Ia melanjutkan langkah, dan membeku bahkan sebelum mencapai ambang pintu.
Bian dan perempuan asing itu berciuman.

***

Mau novelet My Step Brother full story? Klik di sini

Fiiy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan yaa :)

My Step Brother - 6 (Ending)

Chapter 6 ( Ending) Dua hari kemudian Bian membuka akun instagramnya. Gerahamnya segera saja bergemeletuk menahan geram ketika menda...