Chapter 2
Fiiy
Ada typo? Kasih tau aku ya! Happy reading đź“–đź“–
***
Sekarang, setiap kali
melihat Bian, Hanna merasa selalu ingin mencakar-cakar wajah tampan
lelaki itu. Ia semakin membenci Bian. Kenapa Bian mempermainkannya?
Kenapa Bian mencium perempuan lain setelah menciumnya? Padahal, itu
ciuman pertama Hanna. Hanna akan menyerahkannya kepada lelaki yang
dicintainya.
Tapi lelaki yang ia
cintai adalah Bian kan? Tetap saja hatinya kesal karena Bian juga
mencium perempuan lain. Jangan-jangan, Bian sering melakukan hal itu di
Bali? Seks juga kah? Jangan-jangan, Bian menganggap Hanna perempuan
murahan ketika lelaki itu menciumnya.
Hanna menendang kerikil
di depannya dengan kesal. Ia sakit hati, sangat. Ia juga kecewa, amat
sangat. Ia ingin marah kepada Bian. Tapi apa haknya? Ia hanyalah adik
lelaki itu. Tolong digarisbawahi dan ditulis dengan huruf balok,
ditebalkan dengan font size 80 juga sekalian kata ADIK. Hanna hanyalah seorang ADIK bagi Bian.
Tapi tidak ada seorang kakak yang mencium ADIKnya sendiri tepat di bibir!
Dengan kekesalan di
ubun-ubun, Hanna membuka pintu rumah dengan kasar. Dan lagi-lagi, ia
membeku. Kakaknya dan perempuan asing malam itu kini tengah bertindihan
di atas sofa. Bibir mereka menyatu.
Mengeraskan hatinya,
Hanna melangkah menuju kamar. Ia tidak menghiraukan ekspresi terkejut
Bian. Ia menutup pintu kamar dengan kakinya dan meluruh di kaki tempat
tidur. Hanna menangis.
Kenapa Bian sejahat itu kepadanya?
Hanna mengusap bibirnya dengan kasar, merasa jijik mengingat bahwa bibir Bian pernah ada di sana.
Tok tok
Pintu kamarnya diketuk.
Hanna berdiri, melesat cepat ke arah meja rias. Ia menyeka habis air
matanya dan menempel bedak tipis dengan cepat di wajahnya.
Ketukan itu tak berhenti. Hanna membuka pintu kamarnya dan memasang wajah juteknya.
“Dek, Kakak—”
“Aku gak bakal bilang Ayah sama Ibu kok. Tenang aja.” sela Hanna malas.
Bian tidak merasa hal
itu amat sangatlah penting. Niatnya mengetuk pintu adalah untuk
menjelaskan kepada Hanna tentang apa yang baru saja gadis itu lihat.
Tapi setelah dipikir lagi, kenapa ia harus menjelaskan?
Supaya Hanna tidak salah paham.
Supaya Hanna tidak semakin membencinya.
Supaya Hanna tidak menganggapnya brengsek.
Supaya Hanna...
Baiklah, itu tidak lagi
penting sekarang. Pelupuk mata Hanna memerah. Bian yakin sekali adiknya
itu habis menangis. Itu lebih penting dari perasaannya.
“Kamu... gak papa? Ada masalah di sekolah ya?”
Hah!
Hanna mendengus kasar, “Satu-satunya yang bermasalah di sini itu Kakak!” ia membanting pintu di depan wajah Bian.
Bian menutup mata
mendengar debuman pintu itu. Apa maksud Hanna? Dirinya yang bermasalah?
Jelas-jelas gadis itu yang menangis. Bian berjanji akan membuat siapapun
yang menjadi penyebab Hanna menangis mendapat ganjarannya.
Pintu itu tidak dikunci.
Bian kembali menutupnya dari dalam setelah dirinya masuk. Yang menjadi
kejutan adalah, Hanna sedang terisak di kaki dipan dengan wajah
tenggelam di tepi kasur. Kenapa tangisan Hanna menyakiti hati Bian?
“Dek, kamu bisa bagi
semua masalahmu sama Kakak.” perlahan Bian berjongkok, menyentuhpundak
Hanna dengan lembut hanya untuk ditepis gadis itu secara kasar.
“Aku udah bilang, jangan sok peduli!”
“Dek—”
“Pergi.” isakannya
semakin kuat, punggungnya bergetar hebat. Hanna tidak bisa menahan
luapan emosinya lagi. Kenapa ia jatuh cinta? Terlebih kepada Bian
brengsek itu.
“Kakak peduli sama kamu, Dek. Selalu.” Bian menatap punggung gadis itu nanar, “selalu. Selamanya.”
Kalau saja Hanna
bersedia, ia tak keberatan meminjamkan dadanya supaya gadis itu bisa
bersandar. Sebesar itukah masalah Hanna hingga adiknya itu menangis
sebegini hebat?
Dada Bian terasa nyeri mendengar gadis yang dicintainya itu menangis.
Sial! Cinta? Munafik
kalau Bian tidak mengakui adanya perasaan itu di hatinya. Tapi, Demi
Tuhan, mereka bersaudara! Hendri tidak akan senang dengan pernyataan
bahwa Bian mencintai Hanna.
“Dek—”
Cukup sudah! Hanna muak!
Bian tercengang melihat kebencian yang menyala-nyala di mata berair Hanna. Benci itu tertuju kepadanya.
“Pergi.” Hanna mendorong Bian hingga Bian terjengkang, “aku gak mau lihat Kakak di sini. Pergi.”
Bian tidak menyerah. Ia
ingin menuntaskan semuanya saat ini juga. Masalah Hanna, kemarahan dan
juga kebencian gadis itu kepadanya. Ia ingin meluruskan benang yang
selama ini tersimpul berantakan.
“Dek, kita bicara baik-baik ya?” bujuknya selembut mungkin.
Reaksi Hanna di luar dugaannya. Gadis itu berdiri, menjangkau benda apapun dan melemparkannya ke arahnya.
“Dek!”
“Pergi! Pergi!!” gadis itu histeris.
Beranjak
ke meja rias dan melempar satu per satu benda di sana ke arah Bian.
Satu waktu Bian tak bisa menghindar, kepalanya terkena lemparan botol
parfum Hanna yang terbuat dari kaca. Ujungnya yang sedikit lancip
merobek pelipis Bian namun lelaki itu tak begitu memedulikannya.
“Dek,” Bian mendekati
gadis itu. Adiknya sedang kacau. Mungkin patah hati, Bian tak tahu. Ia
hanya merasa perlu untuk menenangkan Hanna.
“Jangan mendekat!” Hanna terengah, “jangan mendekat, Bian!!”
Dalam sekali sentak,
Bian membawa Hanna ke dalam dekapannya. Dipeluknya erat tubuh yang kini
meronta dan menangis histeris itu. Bian hanya berharap semoga Ayah dan
Ibu tidak pulang dalam waktu dekat.
“Aku benci Kakak. Mau
Kakak apa sih, Kak? Bikin aku menderita? Setelah nolak aku, kakak masih
sanggup bikin hati aku sakit dengan bawa pacar Kakak ke rumah?”
Bian membiarkan kedua tangan terkepal Hanna memukulinya.
“Aku bukan perempuan
munafik yang setelah dikecewain dan disakitin masih bisa bilang aku
baik-baik aja. Aku gak bisa, Kak.” pukulan gadis itu melemah, lengannya
lunglai di sisi tubuhnya.
Jadi, jelas sudah.
Sumber masalahnya adalah dirinya sendiri. Hanna jelas tersakiti olehnya.
Karena itulah gadis itu menunjukkan sikap permusuhan kepadanya.
Kesalahannya sudah sangat fatal. Bian bodoh bila masih diam tak
bergerak. Sudah basah, mandi saja sekalian.
“Maafin Kakak, Dek. Kakak cinta sama kamu.”
Hanna tertawa, tawa
miris nan sumbang, “Kakak seneng banget sih mainin perasaan aku?” ia
melepaskan diri dari pelukan Bian dengan kasar.
Bian kembali mendekat.
Di detik ketika Hanna akan mendorongnya, ia menjatuhkan lututnya sambil
meraih tangan Hanna. Hanna yang tak siap pun terduduk di tempat tidur.
Gadis itu membeku ketika Bian memeluk tubuhnya.
“Kakak gak pernah sekali
pun berniat mainin perasaan kamu, Dek. Kalau pun dulu Kakak nolak kamu,
Kakak sama sekali gak bermaksud nyakitin kamu. Kamu masih kecil saat
itu, bisa aja kamu salah mengartikan perasaan kamu. Dan juga, kamu
adeknya Kakak. Ayah gak akan setuju sama kita, Dek.” Bian menjeda
ucapannya, nada suaranya bergetar ketika melanjutkan,
“Maafin Kakak, Dek.
Kakak mohon banget sama kamu. Kakak gak bisa terus-menerus kamu benci. Kakak mau kamu yang dulu. Kakak kangen kamu yang dulu. Kakak cinta sama
kamu. Kakak gak mau kamu berubah. Kakak takut, perubahan kamu ini bikin
kamu makin jauh dari Kakak. Kakak takut kehilangan kamu, Dek.”
Lelaki itu menangis.
Hanna menutup wajah dengan telapak tangannya. Menangis tanpa suara.
Tidak ada yang lebih membahagiakan baginya saat ini selain cintanya yang
terbalas.
Fiiy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan yaa :)