Ebook lengkap:
Aries
My Melody (LGS#2)
Chapter 5 - Pergi
Aries
My Melody (LGS#2)
Chapter 5 - Pergi
“Kenapa?
Kamu nggak nyaman di sini, Vy?” adalah pertanyaan pertama Mira ketika tahu-tahu
saja Ivy berpamitan untuk pergi.
“Bukan
begitu, Tan. Ivy cuma mau tinggal di tempat yang lebih dekat dengan kampus.
Agar setelah masuk nanti, Ivy nggak perlu naik kendaraan lebih jauh.”
Mira
menatap gadis itu tak setuju, “Mama kamu akan marah kalau Tante membiarkan kamu
pergi.”
Mamanya
menitipkannya kepada Mira. Tentu Mira merasa bertanggungjawab untuk menjaganya.
Ivy tersenyum kecut. Ia ingin tinggal namun tidak bisa.
“Nanti
Ivy yang tanggung jawab kalau Mama marah.” ujarnya bercanda.
“Kamu
serius, Vy? Tapi kamu mau berjanji kan, untuk memberi Tante kabar?”
“Iya,
Tante.” Ivy tersenyum kecil. Ia bersyukur karena Aries saat itu tidak ada. Jadi
setelah mendapat izin, ia langsung menyeret kopernya menuju taksi online yang sudah ia pesan.
Ivy
duduk di dalam taksi itu. Ia menoleh ke arah rumah yang sudah menaunginya
sebulan belakangan. Tante Mira masih berdiri di depan rumah. Dari belakang
tubuh perempuan itu, Aries berlari. Sebelum ia menangis lagi, segera disuruhnya
si supir untuk melajukan taksinya. Di dalam hati membisikkan kata selamat
tinggal kepada Aries. Kepada lelaki yang menginginkan kepergiannya.
“Mau
ke mana dia, Bu?”
Mira
masih melongok melihat taksi yang membawa Ivy pergi, kemudian perempuan itu
menyahut ringan, “Pindah.”
Aries
mengekori sang ibu, “Pindah? Kenapa?”
“Supaya
lebih dekat dengan kampus katanya.”
Tidak,
bukan itu alasannya. Gadis itu pasti pergi karena menuruti perkataan Aries.
Yang berarti bahwa memang benar Ivy adalah gadis ber-attitude buruk yang bersembunyi di balik kepolosan ekspresi di
wajah cantiknya.
“Dia
pindah ke mana, Bu?”
Mira
memberitahukan alamat baru Ivy kepada putranya. Selepas itu, ia berbalik untuk
bertanya mengapa Aries nampak gusar ketika berbicara. Tetapi putranya sudah
pergi, menaiki tangga dan terburu-buru turun lagi dengan kunci motor di tangan.
“Mau
ke mana kamu, Ries?”
“Ada
urusan sebentar, Bu.” Lelaki itu menjawabnya tanpa menghentikan langkah. Tidak
lama setelahnya ia sudah berada di jalan raya. Dengan kecepatan motornya, ia
bisa menyusul taksi yang membawa Ivy. Taksi itu berhenti di lampu merah. Aries
berhenti di sebelahnya, ia mengetuk kaca jenIvy taksi itu.
Ivy
hanya menoleh, gadis itu tidak menghiraukan karena selanjutnya ia kembali
menatap ke depan. Aries melepas napas gusar. Sebelum ia mengetuk kaca jenIvy
taksi itu lagi, lampu lalu lintas sudah menyala hijau.
Aries
terus mengikuti ke mana taksi itu pergi. Taksi itu berhenti di depan wilayah
gedung penginapan. Aries memelankan laju motornya, melihat Ivy yang turun dari
taksi dan disambut oleh Miftah. Jadi gadis itu berencana untuk tinggal dengan
Miftah? Oh, harusnya Aries tahu. Harusnya ia tidak perlu mencemaskan gadis itu.
Cemas?
Sial!
Mengapa ia harus cemas? Toh, Ivy sudah memilih jalannya sendiri. Daripada
cemas, alangkah lebih baiknya bila ia kembali hidup seperti dulu.
Bersenang-senang dan memuaskan diri dengan banyak wanita seperti Ivy.
Aries
mulai membenci gadis itu. Mengapa Ivy berubah menjadi gadis berperilaku buruk?
Mengapa gadis itu dengan mudah membenarkan tuduhannya? Mengapa gadis itu
memperjelas tuduhannya dengan tinggal seatap bersama Miftah?
Siapa
pun tahu apa saja yang bisa dilakukan oleh dua orang manusia dewasa berbeda
jenis jika berada di satu ruangan yang sama.
Sialan
Ivy!
Gadis
itu berhasil membuat Aries marah-marah tak jelas sepanjang hari. Aries meninju
cermin di kamarnya sebagai pelampiasan amarah yang sulit tersalurkan. Ia tak
terima. Dulu Ivy menggagalkan perjodohan mereka dengan alasan yang sampai saat
ini tidak Aries ketahui. Lalu sekarang, gadis itu kembali hanya untuk
memberinya harapan lalu pergi lagi.
“Arrrggggh!!”
Aries
berteriak nyalang. Mira yang mendengarnya dari lantai bawah segera menyusul ke
atas dan mengetuk kamar sang putra. Aries terlihat emosional tadi, ia khawatir
sesuatu yang buruk telah terjadi kepada putranya itu.
“Ries,
ada apa? Buka pintunya.” Mira mengetuk pintu itu beberapa kali. Hal yang sama
ia lakukan tetapi Aries tak kunjung menjawab.
Aries
menetralkan deru napasnya yang berkejaran. Cermin yang retak menampilkan
dirinya dengan mata merah dan berair, rahang terkatup rapat juga tatapan
menghunus tajam.
“Ries,
ada apa?”
“Tidak
ada apa-apa, Bu.” Jawabnya berusaha terkendali, “Aku hanya tak sengaja
memecahkan vas bunga.”
Suara
ibunya tidak terdengar lagi. Aries memejamkan mata, meresapi perih yang berasal
dari pecahan kaca yang tertancap pada luka di buku-buku jarinya. Sekarang ia
punya alasan untuk tidak percaya akan cinta lagi.
***
“Harga
sewanya tidak terlalu mahal.” Beritahu Miftah kepada gadis yang sedang mengedarkan
pandangan ke sepenjuru rumah kontrakan yang dicarikannya.
Miftah
sudah menawarkan supaya Ivy tinggal bersamanya di apartemen. Namun gadis itu
menolak, dan meminta tolong untuk dicarikan rumah kontrakan sederhana yang
dekat dengan kawasan kampus di mana mereka akan segera memulai kuliah.
Sebenarnya,
Ivy lebih dari mampu untuk menyewa atau bahkan membeli satu unit apartemen
untuk ditinggalinya. Orang tua gadis itu bukanlah berasal dari kalangan
menengah ke bawah. Tetapi Ivy adalah Ivy. Ivanka Ristya tidak pernah
mengedepankan soal harta. Gadis itu terlalu sederhana.
“Ini
cukup, terimakasih. Nindy akan cemburu kalau tahu kamu sebegini perhatian
padaku.” Gadis itu mengerling jahil.
Miftah
mendengus malas. Nindy adalah kekasihnya sejak dua tahun yang lalu. Gadis itu
sungguh baik dan bisa mengerti bagaimana Miftah. Mereka bertiga akan kuliah di
kampus yang sama, hanya saja Nindy belum berangkat dari Jakarta.
Persahabatan
sejati antara lelaki dan perempuan terealisasi oleh Ivy dan Miftah. Nindy yang
statusnya sebagai kekasih Miftah saja kagumdengan keduanya. Tentu saja tak
jarang gadis itu merasa cemburu akan perhatian Miftah yang seolah terbagi.
Lucunya, ketika cemburu Nindy akan mengutarakannya secara langsung, baik kepada
Miftah ataupun Ivy.
Ah,
Miftah tidak akan pernah melepaskan gadis itu dari sisinya. Selesai sarjana
nanti, ia akan segera membawa gadis itu ke pelaminan.
“Kangen
ya?” Ivy mencolek lengan Miftah yang segera tersenyum tipis.
“Kamu
baik-baik saja kan, Vy?” tanyanya memastikan.
Ivy
menghela napas berat, gadis itu duduk di tepi tempat tidur kecil di sana, “Nggak.
Pokoknya, kamu gak boleh biarin Mas Aries menemuiku lagi.”
Miftah
memegang lehernya dan meringis. Ia ingat kemarahan Aries tempo hari yang sampai
mencekik lehernya ketika ia mendustai lelaki itu tetang hubungannya dengan Ivy.
Hei, jangan salahkan dirinya. Ia hanya ingin tahu seberapa dalam perasaan
lelaki itu kepada sahabatnya.
“Aku
pikir kamu mencintainya.”
“Dulu.”
“Kamu
tahu, kamu hanya perlu menjelaskan, Vy. Aku lihat dia juga mencintai kamu.”
“Apa
yang bisa aku jelaskan pada orang yang gak mau percaya lagi padaku? Dia sudah
terlanjur menganggapku buruk. Jadi, biarkan saja. Mungkin ini memang cara Tuhan
untuk menunjukkan padaku bahwa dia bukan untukku.” Ivy mengatakannya dengan
nada pasrah diikuti senyum tipisnya yang mengambang.
“Aku
akan membantumu menjelaskannya. Ini juga salahku.”
“Nggak.”
Ivy menggeleng, “Biarkan saja semuanya seperti ini. Aku sudah malas menghadapi
Mas Aries yang egois.”
Ivy
bertekat untuk membiarkan segalanya berlalu begitu saja. Jika nanti Aries sadar
bahwa lelaki itu telah membuatnya terluka, ia ingin melihat bagaimana cara
Aries untuk bertanggungjawab. Jika Aries ingin menjelaskan tentang perbuatannya
di masa lalu, maka Ivy akan mendengarkan. Ia tidak seperti Aries yang gegabah
dan bersikap serampangan dalam menilai sesuatu. Walau pun realitanya hatinya
sudah sakit, asal tidak disakiti lagi, Ivy masih bisa untuk sekedar memaafkan.
lll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan yaa :)