Chapter 2 - Ivanka Ristya
Ibunya
menyimpan harta karun di salah satu kamar rumah itu. Kalau Aries tidak bangun
pagi, ia tidak akan pernah melihat harta karun itu. Aries terpaku seperti orang
bodoh. Harta karun itu menatapnya balik, hanya sekilas sebelum berbalik dan menyembunyikan
diri di balik pintu.
Harta
karun—maksud Aries, gadis itu sangat cantik. Ia adalah tipe yang menilai
seorang gadis dari segi fisik dulu. Jadi jangan heran bila ada gadis cantik,
radar player-nya langsung menyala.
Tidak,
Aries bukannya tidak mengenal siapa gadis itu. Ia sangat mengenalnya. Ivanka
Ristya. Gadis itu adalah gadis yang dulu sering diakuinya sebagai pacar. Gadis
pertama yang ia cium tepat di bibir dan gadis yang menolak untuk dijodohkan
dengannya.
Lalu,
apa yang telah terjadi sampai gadis itu sekarang ada di sini? Di rumahnya?
Baru
saja Aries hendak mengetuk pintu, pundaknya telah lebih dulu ditepuk dari
belakang oleh ibunya.
“Tolong
pergi ke pasar. Ibu sedang banyak pekerjaan.” ibunya menyodorkan tas yang
berasal dari anyaman plastik, selembar kecil catatan dan sejumlah uang.
“Bu,
aku ini laki-laki. Suruh Marni saja.” tolak Aries, tetapi ibunya bersikukuh.
Mau tak mau ia menerima semua yang ibunya sodorkan dan pergi ke pasar tingkat.
Ah,
bisa turun pamornya sebagai player sekarang. Mana ada player yang berkeliaran
di pasar dengan tas belanja yang penuh dengan sayur? Sepertinya, Aries
satu-satunya.
Di
depan ibunya, entah karena apa sisi buruknya selalu tenggelam. Mungkin karena
ia sadar bahwa ibu adalah sosok berharga yang harus dipatuhi. Jika begitu,
mengapa ia masih saja bermain-main dengan banyak calon ibu di luar?
Ivanka
Ristya. Aries hampir lupa akan gadis itu. Ia mempercepat acara belanjanya dan
segera pulang. Ia bahkan tidak peduli jika ada satu atau dua barang yang belum
dibeli. Ia terburu-buru karena ingin segera bertemu gadis itu.
“Bu,
apa yang Ivy lakukan di sini?” tanyanya langsung begitu tiba di rumah.
Sang
ibu yang sedang membongkar barang belanjaan berhenti dari kegiatannya. “Orang
tuanya meninggal. Di waktu sebelum menutup usia, Mamanya menitipkannya pada
Ibu. Kamu ingat kan, dulu kalian pernah dijodohkan tapi gagal? Itu tidak
membuat mamanya tidak percaya lagi pada Ibu.”
“Om
dan Tante meninggal? Kenapa tidak ada yang memberitahuku?”
“Apa
itu pantas ditanyakan oleh seorang anak yang enggan mengangkat telepon dari
ibunya?”
“Tapi
setidaknya aku harus diberitahu, Bu!” tutur Aries keras kepala, “Jadi aku orang
terakhir yang tahu bahwa orang tua Ivy sudah tiada?”
“Mhm,”
ibunya kembali sibuk dengan sayur-mayur dan sejenisnya yang berada di dalam
tas.
“Aku
tidak mau tahu, apapun yang berhubungan dengan Ivy, aku ingin Ibu
memberitahuku!” tukas Aries otoriter. Bagaimana bisa ia ketinggalan berita
tentang gadis itu?
“Ibu
memang tidak pernah menyembunyikan apapun darimu. Kamu saja yang terlalu tidak
mau tahu.”
Aries
menghela napas, “Dia akan tinggal di sini kan?” karena ibunya mengangguk, Aries
langsung memutuskan, “Aku juga.”
“Kalau
tidak ada Ivy, kamu tidak akan tinggal di sini begitu?”
“Bu!
Sudahlah, aku tidak mau berdebat dengan Ibu.” Lelaki itu pergi dari dapur. Di
mana Ivy sekarang? Kasihan sekali gadis itu kini telah sebatangkara.
Aries
melihat Ivy berada di teras, jadi ia menghampirinya. Gadis itu sedang berbicara
di telepon dengan seseorang. Aries menunggunya dengan duduk di kursi.
“Di
Singaraja ... kamu mau ke sini? Ngapain? ... oh, kuliah ... mm, nggak tahu,
mungkin aku akan kerja ... Iya, nanti aku kirim alamatnya. Dah,” gadis itu
menutup panggilan, memutar badan dan terkejut.
“Mas
Aries,”
“Nelepon
siapa?” adalah pertanyaan pertama yang Aries ajukan dengan mata menyipit.
“Teman,”
gadis itu menjawab tanpa ingin menjelaskan. “Mas Aries kapan pulang?”
“Kemarin.”
Aries menatap gadis itu dari ujung kepala ke ujung kaki. Gadis itu sudah
beranjak dewasa sekarang. Lebih tinggi dan lebih berisi dari terakhir kali
Aries melihatnya. Tahu bahwa Ivy tak nyaman diperhatikannya demikian jelas, ia
menyuarakan tanya, “Semalam kamu ke mana?”
“Di
kamar.” Ivy menggumam. Sebenarnya ia tahu bahwa Aries datang kemari. Ia
bertanya hanya untuk berbasa-basi saja. Rasa tak nyaman tiap kali dekat dengan
Aries masih saja menggeluti dirinya meski sekian tahun tak berjumpa dengan
lelaki itu.
“Kenapa
nggak keluar?”
“Keasyikan
main hape.” Jawabnya seadanya. Memang benar bila Ivy sudah berselancar di dunia
maya, ia akan segera lupa terhadap apapun yang dirasanya tidak penting. “Aku
mau bantu tante dulu, Mas.” Ia berpamitan.
Aries
mengangguk saja. Ia sampai menoleh untuk melihat Ivy yang masuk ke dalam rumah
dan berjalan menuju dapur. Gadis itu kembali. Maka Aries tidak akan pernah
melepaskannya lagi meski ia tahu bahwa Ivy kembali bukan untuk dirinya.
***
“Kamu
sudah lulus SMA kan, Vy?” pertanyaan Aries memecah keheningan di antara mereka.
Setelah
makan malam tadi, Aries mengekori langkah Ivy. Gadis itu berjalan ke teras, dan
duduk di undakan di sebelah pilar rumah. Aries ikut mendudukkan diri di sebelah
gadis itu. Ivy masih menyukai hal yang sama seperti dulu. Gadis itu senang
sekali melihat bintang.
“Iya.”
“Mau
kuliah?”
“Nggak
tahu.”
Aries
menatap gadis itu dari samping. Ivy tetap setia mendongak, tak mau melepas
perhatian dari bintang-bintang di angkasa. Aries ikut mendongak, dan tak merasa
mendapatkan ketertarikan untuk menatap ribuan bintang tak terhitung di sana.
“Kenapa
nggak tahu?”
Ivy
menunduk, melirik lelaki di sebelahnya melalui ekor matanya. Saat Aries
menoleh, ia segera melepas kontak mata mereka.
“Oh
iya, aku harus kuliah dan mendapatkan pekerjaan untuk hidupku ke depannya kan?”
“Kamu
tahu bukan itu yang kumaksud.”
“Aku
tahu.” Ivy menunduk lagi, “Aku Cuma nggak mau merepotkan Tante lagi.”
“Tidak
ada yang akan direpotkan oleh kamu, Vy.”
“Tapi
aku merasa seperti itu.”
Sampai
beberapa menit selanjutnya, tidak ada di antara mereka yang bebicara lagi. Ivy
kembali menatap bintang. Dan Aries masih tidak bosan menatap wajah ayu gadis
itu. Apapun yang mungkin dulu telah ialakukan hingga membuat Ivy menolak
perjodohan mereka, Aries kini menyesalinya.
Dering
ponsel membuat Aries mencari dari arah mana suara itu berasal. Ternyata dari
ponsel milik Ivy.
“Halo,
Mif. Udah berangkat? ... besok ya? Iya, aku tunggu. Ya udah,”
“Siapa?”
“Teman.”
Jawab Ivy tanpa mengalihkan perhatian dari ponselnya.
Dahi
Aries berkerut menahan kesal karena diabaikan. Tangannya terulur, merebut
ponsel Ivy dari tangan gadis itu.
“Mas!
Apaan sih?” gadis itu berseru, menadahkan tangan meminta ponselnya
dikembalikan, “Balikin.”
“Sebentar.”
Aries mengotak atik ponsel itu. Ia melihat menu panggilan masuk. Nama Miftah
ada di sana. Segera ia membuka aplikasi sosial media Ivy. Ada password yang melindungi keamanan
aplikasi-aplikasi itu.
“Apa password-nya?”
“Mau
apa?”
Aries
menatap gadis itu tajam, “Password-nya,
Ivy.”
“Nggak.”
gadis itu menggeleng, “Itu hape aku. Balikin.”
Mereka
sama keras kepala dan itu tidak baik untuk memecahkan masalah. Jadi Aries
mengambil ponselnya sendiri dan melemparkannya ke arah Ivy. Gadis itu
tergeragap menangkapnya, takut ponsel itu terjatuh membentur lantai.
“Pakai
itu.”
“Ini
kan....” Ivy mengangkat ponsel Aries ke udara, “Aku mau itu. Bukan yang ini.”
“Pakai
atau jangan sama sekali.” lelaki itu berkata otoriter, lantas berdiri dan
meninggalkan Ivy di sana.
Ivy
menahan napas di dada, “Mas Ariesss!” jeritnya tertahan.
Aries
yang baru tiba di pintu mengangkat kedua sudut bibirnya, tersenyum geli.
***
Ivy
menganga melihat chat di semua
aplikasi sosial media Aries. Pada akhirnya ia tak bisa menahan diri untuk tidak
mengotak-atik ponsel lelaki itu. Jika Aries bisa memonopoli ponselnya, mengapa
ia tidak?
Bola
mata Ivy bergerak mengikuti gulir layar ponsel Aries. Aries masih Aries yang
dulu. Bedanya, kini lelaki itu semakin parah. Semua chatting-nya tidak ada yang sehat.
Tidak
hanya dengan satu wanita, tapi dengan banyak wanita sekaligus. Nama-nama para
wanita itu nyaris identik. Ada nama Sindy 1 sampai 7, Lila 1 sampai 4, Mawar 1
sampai 12, dan masih banyak lagi. Ivy yakin bahwa Aries menamai kontak para
wanita itu dengan sembarangan. Mana ada satu wanita yang mempunyai dua belas
nomor telepon sekaligus?
Jeritan
ngeri bersamaan dengan ponsel Aries yang terlempar refleks dari tangan Ivy
adalah karena gadis itu baru saja memutar video yang Aries kirim ke salah satu
wanitanya. Foto yang berisi hal-hal mesum hingga membuat wajah Ivy merah padam.
Astaga,
Ivy memijit pelipisnya yang mendadak sakit. Dengan hati-hati ia mengambil
ponsel Aries kemudian mengembalikan layarnya ke menu beranda.
Ivy
akan mengembalikan ponsel itu dan meminta ponselnya kembali. Ini sudah dua hari
sejak malam itu. Ivy sampai tak bisa menghubungi Miftah lagi. Karenanya, Aries
harus dihentikan.
Ivy
mengetuk pintu kamar Aries. Gadis itu menunggu sebelum kemudian mengetuk lagi.
Tak lama berselang Aries pun membuka pintu kamarnya.
Ivy
mendelik dan menjerit kecil. Tangannya terangkat menutup wajahnya sendiri.
Aries berdiri bingung. Namun kemudian menyadari apa yang membuat Ivy menutup
wajahnya.
Tubuhnya
hanya dililit handuk dari pinggang ke lutut. Aries baru selesai mandi. Salahkan
Ivy yang datang di saat yang ... tepat.
Aries
menyeringai licik. Ia menarik tangan Ivy supaya gadis itu masuk ke kamarnya dan
mengunci pintu.
“Kenapa
merem?”
“Mas
nggak pakai baju! Cepat pakai!”
“Sudah.”
Tentu
saja Aries berbohong. Tetapi toh Ivy percaya. Gadis itu membuka matanya.
Bersamaan dengan itu Aries menarik pinggang gadis itu merapat pada tubuhnya.
“Tetap
buka mata. Kalau nggak aku cium kamu.”
Wajah
Ivy merah padam menyadari betapa tak ada jarak yang memisahkan mereka.
Jantungnya bertalu kuat. Ia berkedip gelisah.
“Aku
mau balikin hape.”
“Hape
apa?”
Ivy
mengangkat tangannya yang memegang ponsel Aries. Aries yang semakin mendekapnya
membuatnya terkejut. Reaksi keterkejutan tubuhnya membuat ponsel Aries terjatuh
dari tangannya. Namun Ivy tidak lagi memikirkan hal itu. Karena sekarang ia
sudah risau sebab Aries mendekatkan kepala padanya.
“M-Mas....”
Ivy mencicit, bola matanya bergerak gelisah.
Aries
terpaku pada bibir itu. Ia menelan ludah melalui tenggorokannya. Ivy yang
mencoba untuk menciptakan jarak ia gagalkan. Bukan gadis itu yang mendorongnya.
Tapi ia yang berhasil mendorong gadis itu ke tempat tidur.
Aries
menyusurkan hidungnya di leher Ivy. Dapat dirasakannya tubuh gadis itu
menegang.
“Mas....”
Aries
mengangkat kepala. Ia menatap mata Ivy, kemudian turun ke bibir gadis itu. Ia
mulai menipiskan jarak di antara mereka.
Ivy
menahan napas. Kepalanya menggeleng-geleng kuat menepis semua bayangan itu. Ia
menatap langit-langit kamar. Menarik napas dan mengembuskannya berulang kali.
Ya ampun, bisa-bisanya ia membayangkan semua itu.
Tapi,
bukan tidak mungkin bila Aries melakukan hal itu jika Ivy nekad mendatanginya
ke kamarnya bukan? Jadi, lebih baik Ivy menunggu Aries di ruang tamu saja untuk
mencegah setiap kemungkinan buruk yang mungkin terjadi.
Ivy
keluar dari kamarnya. Dengan membawa ponsel Aries ia duduk di ruang tamu.
Kebetulan Tante Mira ada di sana.
“Gimana
rencana kuliah kamu, Vy?”
“Jadi,
Tan. Ini masih nunggu informasi dari teman.”
“Kenapa
nggak minta bantuan Aries saja?”
Minta
bantuan Aries? Oh, tidak. Terimakasih. Ivy terlalu berhati-hati untuk meminta
bantuan buaya darat itu.
“Ivy
nggak mau ngerepotin Mas Aries, Tan.”
“Merepotkan
apa?” suara Aries menimpali diikuti tubuh lelaki itu yang duduk di sebelah Ivy.
Lengan kanan Aries melintang di atas sandaran sofa, di belakang tubuh gadis
itu. Sekarang Ivy menyesal karena duduk di sofa panjang.
“Ivy
mau mendaftar di perguruan tinggi, tapi masih menunggu temannya.”
“Kamu
bisa memintaku untuk mengantarmu. Di perguruan tinggi mana?”
“Nggak
usah, Mas. Oh iya, aku mau bilikin ini.” Ivy menyodorkan ponsel Aries.
“Kita
sepakat untuk bertukar, kan?”
“Kapan?”
Ivy mengingat-ingat kapan kiranya ia setuju untuk bertukar ponsel.
“Malam
itu. “
“Mas
yang ambil paksa hapeku. Sekarang kembalikan. Mana?”
“Kamu
pakai itu saja.”
Ivy
menggeleng ngeri, “Aku nggak cocok pakai hape ini.”
“Kenapa?”
Aries dan ibunya bertanya bersamaan.
Ivy
menghela napas. Tidak mungkin ia katakan di depan Mira bahwa anak perempuan itu
sering berkirim video porno dengan banyak wanita kan?
“Mm
... Soalnya di hape ini banyak kontak teman-temannya Mas Aries, Tan. Kan Ivy nggak kenal. Jadi yaa....”
“Ooh,”
Mira mengangguk paham. “Ya sudah, Aries. Sebaiknya kamu kembalikan hape Ivy.”
Mira lantas berdiri kemudian meninggalkan ruangan itu.
“Jadi
kamu sudah melihatnya?” Aries mengerling.
Ivy
mendengus. Ia hendak pindah namun Aries merangkul pundaknya.
“Aku
nggak mau debat sama Mas. Jadi tolong kembalikan hapeku.”
“Boleh.
Tapi ada syaratnya.”
Ivy
memandang Aries jengkel, “Itu kan hapeku. Memang milikku. Kenapa ada syarat?”
“Karena
di sini aku yang berkuasa.” Aries tersenyum pongah, “Jadi kamu harus menuruti
semua perkataanku.”
“Nggak
sudi!”
Gadis
itu lucu saat cemberut. Aries tidak akan bosan untuk terus memerhatikan
perubahan ekspresinya.
“Ya
sudah, jangan harap hape kamu kukembalikan.”
“Aku
harus apa?” gadis itu bertanya setelah melepas napas pasrah.
“Cium
aku.”
“Mas
gila! Aku nggak mau!” serta-merta Ivy menolak.
“Terserah
kamu. Biar kuberitahu kamu satu hal. Sepertinya, lelaki bernama Miftah itu
sudah marah karena pesannya tidak pernah dibalas.”
“Oke!”
Ivy merengut, “Mas tutup mata.”
Aries
tersenyum kecil sambil menggeleng, “Aku harus memastikan kalau kamu tidak akan
menipuku. Dan, ciumnya di bibir. Kurang dari satu menit tidak dihitung.”
“A-apa?”
Ivy nampak paranoid, wajahnya memucat saat Aries memberinya pandangan menuntut.
“Mas jahat!”
Namun
Aries tak berniat memberi pilihan lain. Dengan air muka seperti menahan tangis,
Ivy mendekatkan wajahnya. Supaya memudahkan gadis itu, Aries menunduk. Bibir
lembut itu menempel di bibirnya.
Tidak
perlu berpikir lagi bagi Aries untuk segera mencecap bibir itu. Ia memegang
pinggang Ivy dan mengangkat gadis itu ke pangkuannya. Dengan menahan tengkuk
gadis itu, ia mengambil alih kendali ciuman mereka.
Ivy
menegang, tentu saja pikirannya tak sampai di sana. Aries melumat bibir atas
dan bawahnya bergantian. Dan itu membuat perutnya seolah diterbangi banyak
kupu-kupu. Decapan bibir mereka bahkan sampai ke telinganya. Membuatnya sadar
bahwa ia telah membalas ciuman itu.
“Buka
mulut, Vy.” Aries berbisik di sela lumatannya. Gadis itu menuruti perintahnya,
dengan mudah ia membelitkan lidahnya ke lidah gadis itu.
Aries
membelai pinggangnya. Lelaki itu mengeksplorasi rongga mulutnya. Membuatnya
lemas bukan main. Ia merasakan tonjolan yang makin mengeras tengah didudukinya.
Hal itu membuat segenap pikiran warasnya kembali terkumpul. Ia segera menyudahi
ciuman panas itu.
Aries
tersengal, pun dengan Ivy. Gadis itu menatapnya putus asa, seolah ciuman yang
baru mereka lakukan adalah sebuah kesalahan.
“Vy,”
“Maaf,
Mas.” Ivy menggeleng, gadis itu turun dari pangkuannya, “Hapenya?”
Aries
mengembalikan ponsel gadis itu. Setelah mengambilnya, Ivy berlalu dari sana
dengan dada tercekik. Yang ia khawatirkan telah terjadi. Tidak ada cara lain,
ia harus menjaga jarak dengan Aries. Ya, sebelum semuanya terlambat.
lll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan yaa :)