Kamis, 02 November 2017

Aries - Chapter 2



Chapter 2 - Ivanka Ristya

Ibunya menyimpan harta karun di salah satu kamar rumah itu. Kalau Aries tidak bangun pagi, ia tidak akan pernah melihat harta karun itu. Aries terpaku seperti orang bodoh. Harta karun itu menatapnya balik, hanya sekilas sebelum berbalik dan menyembunyikan diri di balik pintu.
Harta karun—maksud Aries, gadis itu sangat cantik. Ia adalah tipe yang menilai seorang gadis dari segi fisik dulu. Jadi jangan heran bila ada gadis cantik, radar player-nya langsung menyala.
Tidak, Aries bukannya tidak mengenal siapa gadis itu. Ia sangat mengenalnya. Ivanka Ristya. Gadis itu adalah gadis yang dulu sering diakuinya sebagai pacar. Gadis pertama yang ia cium tepat di bibir dan gadis yang menolak untuk dijodohkan dengannya.
Lalu, apa yang telah terjadi sampai gadis itu sekarang ada di sini? Di rumahnya?
Baru saja Aries hendak mengetuk pintu, pundaknya telah lebih dulu ditepuk dari belakang oleh ibunya.
“Tolong pergi ke pasar. Ibu sedang banyak pekerjaan.” ibunya menyodorkan tas yang berasal dari anyaman plastik, selembar kecil catatan dan sejumlah uang.
“Bu, aku ini laki-laki. Suruh Marni saja.” tolak Aries, tetapi ibunya bersikukuh. Mau tak mau ia menerima semua yang ibunya sodorkan dan pergi ke pasar tingkat.
Ah, bisa turun pamornya sebagai player sekarang. Mana ada player yang berkeliaran di pasar dengan tas belanja yang penuh dengan sayur? Sepertinya, Aries satu-satunya.
Di depan ibunya, entah karena apa sisi buruknya selalu tenggelam. Mungkin karena ia sadar bahwa ibu adalah sosok berharga yang harus dipatuhi. Jika begitu, mengapa ia masih saja bermain-main dengan banyak calon ibu di luar?
Ivanka Ristya. Aries hampir lupa akan gadis itu. Ia mempercepat acara belanjanya dan segera pulang. Ia bahkan tidak peduli jika ada satu atau dua barang yang belum dibeli. Ia terburu-buru karena ingin segera bertemu gadis itu.
“Bu, apa yang Ivy lakukan di sini?” tanyanya langsung begitu tiba di rumah.
Sang ibu yang sedang membongkar barang belanjaan berhenti dari kegiatannya. “Orang tuanya meninggal. Di waktu sebelum menutup usia, Mamanya menitipkannya pada Ibu. Kamu ingat kan, dulu kalian pernah dijodohkan tapi gagal? Itu tidak membuat mamanya tidak percaya lagi pada Ibu.”
“Om dan Tante meninggal? Kenapa tidak ada yang memberitahuku?”
“Apa itu pantas ditanyakan oleh seorang anak yang enggan mengangkat telepon dari ibunya?”
“Tapi setidaknya aku harus diberitahu, Bu!” tutur Aries keras kepala, “Jadi aku orang terakhir yang tahu bahwa orang tua Ivy sudah tiada?”
“Mhm,” ibunya kembali sibuk dengan sayur-mayur dan sejenisnya yang berada di dalam tas.
“Aku tidak mau tahu, apapun yang berhubungan dengan Ivy, aku ingin Ibu memberitahuku!” tukas Aries otoriter. Bagaimana bisa ia ketinggalan berita tentang gadis itu?
“Ibu memang tidak pernah menyembunyikan apapun darimu. Kamu saja yang terlalu tidak mau tahu.”
Aries menghela napas, “Dia akan tinggal di sini kan?” karena ibunya mengangguk, Aries langsung memutuskan, “Aku juga.”
“Kalau tidak ada Ivy, kamu tidak akan tinggal di sini begitu?”
“Bu! Sudahlah, aku tidak mau berdebat dengan Ibu.” Lelaki itu pergi dari dapur. Di mana Ivy sekarang? Kasihan sekali gadis itu kini telah sebatangkara.
Aries melihat Ivy berada di teras, jadi ia menghampirinya. Gadis itu sedang berbicara di telepon dengan seseorang. Aries menunggunya dengan duduk di kursi.
“Di Singaraja ... kamu mau ke sini? Ngapain? ... oh, kuliah ... mm, nggak tahu, mungkin aku akan kerja ... Iya, nanti aku kirim alamatnya. Dah,” gadis itu menutup panggilan, memutar badan dan terkejut.
“Mas Aries,”
“Nelepon siapa?” adalah pertanyaan pertama yang Aries ajukan dengan mata menyipit.
“Teman,” gadis itu menjawab tanpa ingin menjelaskan. “Mas Aries kapan pulang?”
“Kemarin.” Aries menatap gadis itu dari ujung kepala ke ujung kaki. Gadis itu sudah beranjak dewasa sekarang. Lebih tinggi dan lebih berisi dari terakhir kali Aries melihatnya. Tahu bahwa Ivy tak nyaman diperhatikannya demikian jelas, ia menyuarakan tanya, “Semalam kamu ke mana?”
“Di kamar.” Ivy menggumam. Sebenarnya ia tahu bahwa Aries datang kemari. Ia bertanya hanya untuk berbasa-basi saja. Rasa tak nyaman tiap kali dekat dengan Aries masih saja menggeluti dirinya meski sekian tahun tak berjumpa dengan lelaki itu.
“Kenapa nggak keluar?”
“Keasyikan main hape.” Jawabnya seadanya. Memang benar bila Ivy sudah berselancar di dunia maya, ia akan segera lupa terhadap apapun yang dirasanya tidak penting. “Aku mau bantu tante dulu, Mas.” Ia berpamitan.
Aries mengangguk saja. Ia sampai menoleh untuk melihat Ivy yang masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju dapur. Gadis itu kembali. Maka Aries tidak akan pernah melepaskannya lagi meski ia tahu bahwa Ivy kembali bukan untuk dirinya.
***
“Kamu sudah lulus SMA kan, Vy?” pertanyaan Aries memecah keheningan di antara mereka.
Setelah makan malam tadi, Aries mengekori langkah Ivy. Gadis itu berjalan ke teras, dan duduk di undakan di sebelah pilar rumah. Aries ikut mendudukkan diri di sebelah gadis itu. Ivy masih menyukai hal yang sama seperti dulu. Gadis itu senang sekali melihat bintang.
“Iya.”
“Mau kuliah?”
“Nggak tahu.”
Aries menatap gadis itu dari samping. Ivy tetap setia mendongak, tak mau melepas perhatian dari bintang-bintang di angkasa. Aries ikut mendongak, dan tak merasa mendapatkan ketertarikan untuk menatap ribuan bintang tak terhitung di sana.
“Kenapa nggak tahu?”
Ivy menunduk, melirik lelaki di sebelahnya melalui ekor matanya. Saat Aries menoleh, ia segera melepas kontak mata mereka.
“Oh iya, aku harus kuliah dan mendapatkan pekerjaan untuk hidupku ke depannya kan?”
“Kamu tahu bukan itu yang kumaksud.”
“Aku tahu.” Ivy menunduk lagi, “Aku Cuma nggak mau merepotkan Tante lagi.”
“Tidak ada yang akan direpotkan oleh kamu, Vy.”
“Tapi aku merasa seperti itu.”
Sampai beberapa menit selanjutnya, tidak ada di antara mereka yang bebicara lagi. Ivy kembali menatap bintang. Dan Aries masih tidak bosan menatap wajah ayu gadis itu. Apapun yang mungkin dulu telah ialakukan hingga membuat Ivy menolak perjodohan mereka, Aries kini menyesalinya.
Dering ponsel membuat Aries mencari dari arah mana suara itu berasal. Ternyata dari ponsel milik Ivy.
“Halo, Mif. Udah berangkat? ... besok ya? Iya, aku tunggu. Ya udah,”
“Siapa?”
“Teman.” Jawab Ivy tanpa mengalihkan perhatian dari ponselnya.
Dahi Aries berkerut menahan kesal karena diabaikan. Tangannya terulur, merebut ponsel Ivy dari tangan gadis itu.
“Mas! Apaan sih?” gadis itu berseru, menadahkan tangan meminta ponselnya dikembalikan, “Balikin.”
“Sebentar.” Aries mengotak atik ponsel itu. Ia melihat menu panggilan masuk. Nama Miftah ada di sana. Segera ia membuka aplikasi sosial media Ivy. Ada password yang melindungi keamanan aplikasi-aplikasi itu.
“Apa password-nya?”
“Mau apa?”
Aries menatap gadis itu tajam, “Password-nya, Ivy.”
“Nggak.” gadis itu menggeleng, “Itu hape aku. Balikin.”
Mereka sama keras kepala dan itu tidak baik untuk memecahkan masalah. Jadi Aries mengambil ponselnya sendiri dan melemparkannya ke arah Ivy. Gadis itu tergeragap menangkapnya, takut ponsel itu terjatuh membentur lantai.
“Pakai itu.”
“Ini kan....” Ivy mengangkat ponsel Aries ke udara, “Aku mau itu. Bukan yang ini.”
“Pakai atau jangan sama sekali.” lelaki itu berkata otoriter, lantas berdiri dan meninggalkan Ivy di sana.
Ivy menahan napas di dada, “Mas Ariesss!” jeritnya tertahan.
Aries yang baru tiba di pintu mengangkat kedua sudut bibirnya, tersenyum geli.
***
Ivy menganga melihat chat di semua aplikasi sosial media Aries. Pada akhirnya ia tak bisa menahan diri untuk tidak mengotak-atik ponsel lelaki itu. Jika Aries bisa memonopoli ponselnya, mengapa ia tidak?
Bola mata Ivy bergerak mengikuti gulir layar ponsel Aries. Aries masih Aries yang dulu. Bedanya, kini lelaki itu semakin parah. Semua chatting-nya tidak ada yang sehat.
Tidak hanya dengan satu wanita, tapi dengan banyak wanita sekaligus. Nama-nama para wanita itu nyaris identik. Ada nama Sindy 1 sampai 7, Lila 1 sampai 4, Mawar 1 sampai 12, dan masih banyak lagi. Ivy yakin bahwa Aries menamai kontak para wanita itu dengan sembarangan. Mana ada satu wanita yang mempunyai dua belas nomor telepon sekaligus?
Jeritan ngeri bersamaan dengan ponsel Aries yang terlempar refleks dari tangan Ivy adalah karena gadis itu baru saja memutar video yang Aries kirim ke salah satu wanitanya. Foto yang berisi hal-hal mesum hingga membuat wajah Ivy merah padam.
Astaga, Ivy memijit pelipisnya yang mendadak sakit. Dengan hati-hati ia mengambil ponsel Aries kemudian mengembalikan layarnya ke menu beranda.
Ivy akan mengembalikan ponsel itu dan meminta ponselnya kembali. Ini sudah dua hari sejak malam itu. Ivy sampai tak bisa menghubungi Miftah lagi. Karenanya, Aries harus dihentikan.
Ivy mengetuk pintu kamar Aries. Gadis itu menunggu sebelum kemudian mengetuk lagi. Tak lama berselang Aries pun membuka pintu kamarnya.
Ivy mendelik dan menjerit kecil. Tangannya terangkat menutup wajahnya sendiri. Aries berdiri bingung. Namun kemudian menyadari apa yang membuat Ivy menutup wajahnya.
Tubuhnya hanya dililit handuk dari pinggang ke lutut. Aries baru selesai mandi. Salahkan Ivy yang datang di saat yang ... tepat.
Aries menyeringai licik. Ia menarik tangan Ivy supaya gadis itu masuk ke kamarnya dan mengunci pintu.
“Kenapa merem?”
“Mas nggak pakai baju! Cepat pakai!”
“Sudah.”
Tentu saja Aries berbohong. Tetapi toh Ivy percaya. Gadis itu membuka matanya. Bersamaan dengan itu Aries menarik pinggang gadis itu merapat pada tubuhnya.
“Tetap buka mata. Kalau nggak aku cium kamu.”
Wajah Ivy merah padam menyadari betapa tak ada jarak yang memisahkan mereka. Jantungnya bertalu kuat. Ia berkedip gelisah.
“Aku mau balikin hape.”
“Hape apa?”
Ivy mengangkat tangannya yang memegang ponsel Aries. Aries yang semakin mendekapnya membuatnya terkejut. Reaksi keterkejutan tubuhnya membuat ponsel Aries terjatuh dari tangannya. Namun Ivy tidak lagi memikirkan hal itu. Karena sekarang ia sudah risau sebab Aries mendekatkan kepala padanya.
“M-Mas....” Ivy mencicit, bola matanya bergerak gelisah.
Aries terpaku pada bibir itu. Ia menelan ludah melalui tenggorokannya. Ivy yang mencoba untuk menciptakan jarak ia gagalkan. Bukan gadis itu yang mendorongnya. Tapi ia yang berhasil mendorong gadis itu ke tempat tidur.
Aries menyusurkan hidungnya di leher Ivy. Dapat dirasakannya tubuh gadis itu menegang.
“Mas....”
Aries mengangkat kepala. Ia menatap mata Ivy, kemudian turun ke bibir gadis itu. Ia mulai menipiskan jarak di antara mereka.
Ivy menahan napas. Kepalanya menggeleng-geleng kuat menepis semua bayangan itu. Ia menatap langit-langit kamar. Menarik napas dan mengembuskannya berulang kali. Ya ampun, bisa-bisanya ia membayangkan semua itu.
Tapi, bukan tidak mungkin bila Aries melakukan hal itu jika Ivy nekad mendatanginya ke kamarnya bukan? Jadi, lebih baik Ivy menunggu Aries di ruang tamu saja untuk mencegah setiap kemungkinan buruk yang mungkin terjadi.
Ivy keluar dari kamarnya. Dengan membawa ponsel Aries ia duduk di ruang tamu. Kebetulan Tante Mira ada di sana.
“Gimana rencana kuliah kamu, Vy?”
“Jadi, Tan. Ini masih nunggu informasi dari teman.”
“Kenapa nggak minta bantuan Aries saja?”
Minta bantuan Aries? Oh, tidak. Terimakasih. Ivy terlalu berhati-hati untuk meminta bantuan buaya darat itu.
“Ivy nggak mau ngerepotin Mas Aries, Tan.”
“Merepotkan apa?” suara Aries menimpali diikuti tubuh lelaki itu yang duduk di sebelah Ivy. Lengan kanan Aries melintang di atas sandaran sofa, di belakang tubuh gadis itu. Sekarang Ivy menyesal karena duduk di sofa panjang.
“Ivy mau mendaftar di perguruan tinggi, tapi masih menunggu temannya.”
“Kamu bisa memintaku untuk mengantarmu. Di perguruan tinggi mana?”
“Nggak usah, Mas. Oh iya, aku mau bilikin ini.” Ivy menyodorkan ponsel Aries.
“Kita sepakat untuk bertukar, kan?”
“Kapan?” Ivy mengingat-ingat kapan kiranya ia setuju untuk bertukar ponsel.
“Malam itu. “
“Mas yang ambil paksa hapeku. Sekarang kembalikan. Mana?”
“Kamu pakai itu saja.”
Ivy menggeleng ngeri, “Aku nggak cocok pakai hape ini.”
“Kenapa?” Aries dan ibunya bertanya bersamaan.
Ivy menghela napas. Tidak mungkin ia katakan di depan Mira bahwa anak perempuan itu sering berkirim video porno dengan banyak wanita kan?
“Mm ... Soalnya di hape ini banyak kontak teman-temannya Mas Aries, Tan.  Kan Ivy nggak kenal. Jadi yaa....”
“Ooh,” Mira mengangguk paham. “Ya sudah, Aries. Sebaiknya kamu kembalikan hape Ivy.” Mira lantas berdiri kemudian meninggalkan ruangan itu.
“Jadi kamu sudah melihatnya?” Aries mengerling.
Ivy mendengus. Ia hendak pindah namun Aries merangkul pundaknya.
“Aku nggak mau debat sama Mas. Jadi tolong kembalikan hapeku.”
“Boleh. Tapi ada syaratnya.”
Ivy memandang Aries jengkel, “Itu kan hapeku. Memang milikku. Kenapa ada syarat?”
“Karena di sini aku yang berkuasa.” Aries tersenyum pongah, “Jadi kamu harus menuruti semua perkataanku.”
“Nggak sudi!”
Gadis itu lucu saat cemberut. Aries tidak akan bosan untuk terus memerhatikan perubahan ekspresinya.
“Ya sudah, jangan harap hape kamu kukembalikan.”
“Aku harus apa?” gadis itu bertanya setelah melepas napas pasrah.
“Cium aku.”
“Mas gila! Aku nggak mau!” serta-merta Ivy menolak.
“Terserah kamu. Biar kuberitahu kamu satu hal. Sepertinya, lelaki bernama Miftah itu sudah marah karena pesannya tidak pernah dibalas.”
“Oke!” Ivy merengut, “Mas tutup mata.”
Aries tersenyum kecil sambil menggeleng, “Aku harus memastikan kalau kamu tidak akan menipuku. Dan, ciumnya di bibir. Kurang dari satu menit tidak dihitung.”
“A-apa?” Ivy nampak paranoid, wajahnya memucat saat Aries memberinya pandangan menuntut. “Mas jahat!”
Namun Aries tak berniat memberi pilihan lain. Dengan air muka seperti menahan tangis, Ivy mendekatkan wajahnya. Supaya memudahkan gadis itu, Aries menunduk. Bibir lembut itu menempel di bibirnya.
Tidak perlu berpikir lagi bagi Aries untuk segera mencecap bibir itu. Ia memegang pinggang Ivy dan mengangkat gadis itu ke pangkuannya. Dengan menahan tengkuk gadis itu, ia mengambil alih kendali ciuman mereka.
Ivy menegang, tentu saja pikirannya tak sampai di sana. Aries melumat bibir atas dan bawahnya bergantian. Dan itu membuat perutnya seolah diterbangi banyak kupu-kupu. Decapan bibir mereka bahkan sampai ke telinganya. Membuatnya sadar bahwa ia telah membalas ciuman itu.
“Buka mulut, Vy.” Aries berbisik di sela lumatannya. Gadis itu menuruti perintahnya, dengan mudah ia membelitkan lidahnya ke lidah gadis itu.
Aries membelai pinggangnya. Lelaki itu mengeksplorasi rongga mulutnya. Membuatnya lemas bukan main. Ia merasakan tonjolan yang makin mengeras tengah didudukinya. Hal itu membuat segenap pikiran warasnya kembali terkumpul. Ia segera menyudahi ciuman panas itu.
Aries tersengal, pun dengan Ivy. Gadis itu menatapnya putus asa, seolah ciuman yang baru mereka lakukan adalah sebuah kesalahan.
“Vy,”
“Maaf, Mas.” Ivy menggeleng, gadis itu turun dari pangkuannya, “Hapenya?”
Aries mengembalikan ponsel gadis itu. Setelah mengambilnya, Ivy berlalu dari sana dengan dada tercekik. Yang ia khawatirkan telah terjadi. Tidak ada cara lain, ia harus menjaga jarak dengan Aries. Ya, sebelum semuanya terlambat.

lll


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan yaa :)

My Step Brother - 6 (Ending)

Chapter 6 ( Ending) Dua hari kemudian Bian membuka akun instagramnya. Gerahamnya segera saja bergemeletuk menahan geram ketika menda...