Kamis, 02 November 2017

Aries - Chapter 1



Chapter 1 - Player

Erangan itu kian kuat, semakin kuat dan berakhir pada lolongan bak binatang yang telah mendapat kepuasan. Aries terduduk di lantai, tersengal dan berkeringat. Menakjubkan, ia selalu menyukai seks yang terburu-buru seolah dikejar waktu.

Gadis yang menjadi pasangannya segera membereskan pakaian yang telah kusut nan berantakan. Nina, Nani atau ... Naina? Aries bahkan telah lupa siapa namanya. Mana bisa ia mengingat nama gadis itu ketika yang terkumpul di dalam otaknya hanya tentang selangkangan?

“Agresif, seperti biasa.” Gadis itu mengerling pada Aries yang masih tidak peduli dengan keadaan celananya.

Aries menyeringai, “Tentu saja, Naina.”

“Nina.” Gadis itu meralat namanya dengan ekspresi cemberut.

Aries mengangkat alis seolah bertanya ‘benarkah?’ terhadap gadis itu. Nina menyipitkan mata, merasa kesal. Padahal, bukan hanya sekali dua kali mereka melakukan seks, namun Aries tidak juga mengingat namanya.

“Oh, maaf. Maksudku, ya, namamu Nina kan? Lidahku terlalu kelu untuk menyebutkan nama gadis sesempurna dirimu.” Lelaki itu mulai membual sambil mengancingkan celananya kembali.

Sambil tersipu gadis itu menjawab, “Aku tidak sesempurna itu.”

“Oh, kamu sangat sempurna. Kamu membuatku puas bukan kepalang, Nani.” Balas Aries sepenuh hati, tidak sadar bahwa nama yang disebutkannya salah sampai kepalanya tertoleh ke samping karena ditampar oleh tas yang saat itu Nina gunakan. Ia hanya menganga melihat gadis itu pergi sambil menyumpahinya.

“Ouh, Nina.” Aries mengerangkan nama itu dengan kesal sambil mengusap pipinya. Namun ia heran, mengapa para gadis itu mau-mau saja ditidurinya padahal mereka tahu bahwa ia penjahat kelamin? Sudahlah, setidaknya ia sudah puas hari ini.

Ponsel canggihnya bergetar. Nama ibunya tertera di sana. Aries menghela napas. Ia sangat malas untuk berbicara dengan sang ibu. Rumah adalah neraka baginya. Jika di kampus ada dosen killer, maka di rumahnya ada ibu killer—ibunya sendiri.

Mau bagaimana? Sama seperti ibunya, Aries juga tidak ingin bermain-main dengan banyak wanita lagi. Tapi ia tak bisa. Ia bersumpah bahwa wanita-wanita itu terlalu disayangkan bila hanya dilihat saja. Mereka layak untuk diapresiasi dengan diberi hadiah berupa kenikmatan seksual.

“Ya, Bu.” Aries mengangkat panggilan masuk itu. Ia berdiri lalu menepuk celananya yang mungkin kotor. Dengan mengapit ponselnya di antara pundak dan leher, ia mengenakan jaketnya. Lalu pergi dari atap salah satu gedung fakultas itu yang telah menjadi saksi bisu aksi mesumnya dengan Nani—oh, Nina.

“Kapan kamu akan pulang? Mau menunggu Ibu mati?” suara sarkastik itu segera menyahut.

Jika Aries menganggap rumah adalah neraka, maka tak mungkin kan bila ia mau tinggal di neraka? Ya, ia tak tinggal di rumahnya. Ia dan kedua temannya sepakat untuk menyewa kontrakan dan membayar sewanya bersama-sama.

Jika dihitung-hitung, maka sudah banyak hari yang berlalu tanpa Aries melihat wajah ibunya. Bila dipikir lagi, ia juga merindukan perempuan baya yang kantung matanya sudah berkerut itu. Tidak ada salahnya bila ia datang dan menginap selama semalam saja di rumahnya.

“Nanti sore aku akan pulang, Bu. Ibu mau kubelikan sesuatu?”

Meski sudah berusia lumayan tua, ibunya tetap saja matrealistis. Karena setelah Aries mengajukan pertanyaan itu, ibunya segera menjelaskan panjang lebar bahwa Aries harus membeli paket kosmetik jenis ini, baju ukuran ini bahkan juga sandal merk dan ukuran itu. Aries sampai pusing mendengarkannya.

“Baiklah, Bu. Sekarang aku harus masuk kelas. Sampai jumpa nanti sore di rumah.” Aries langsung menekan ikon berwarna merah untuk mengakhiri panggilan tanpa menunggu jawaban ibunya.

Aries berbohong ketika berkata bahwa ia ada kelas saat ini. Ujian akhir semester baru kemarin selesai.  Untuk beberapa waktu ke depan, ia tidak akan memiliki jadwal sampai  kuliah kembali efektif di semester selanjutnya.

Ia hanya sudah malas mendengar celoteh ibunya. Biarkan telinganya menjadi sehat hari ini supaya ketika nanti ia tiba di rumah, ia sudah siap untuk diberondongi banyak omongan lagi. Sejak kematian ayahnya, ibunya menjadi makin cerewet padanya.

Aries mengambil motornya, ia mengendarainya menuju kontrakan. Di sana ada Virgo yang sedang mengunci pintu kamarnya sendiri. Nampaknya lelaki itu akan segera pergi.

“Gue mau pulang.” beritahu Aries sembari mendudukkan diri di kursi.

Virgo mengangkat alis, bertanya ‘ke mana?’ melalui isyarat. Sebab, Aries tidak pernah mengenal kata pulang sebelumnya.

“Ke rumah Ibu.” Aries meringis di tengah jawabannya.

“Akhirnya lo sadar juga.” Virgo mengangguk-angguk, “Berapa lama?”

Kening Aries berkerut sebelum lelaki itu menjawab, “Sepertinya menginap semalam sudah cukup, kan?”

Virgo terkekeh, ia berjalan ke arah pintu. Heran juga mengapa Aries yang masih memiliki Ibu bisa begitu saja mengabaikan keberadaan ibunya. Tidak tahu saja lelaki itu betapa nelangsa hidup tanpa satu pun orang tua.

“Gue pergi dulu.” pamit Virgo kemudian.

Selepas pintu tertutup dari luar, Aries berdiri untuk membereskan barang-barang yang nanti akan ia pakai di rumah. Ia memasukkan laptop beserta charger-nya, juga alat mandi yang telah tersimpan di dalam tas plastik kecil. Ia menarik laci, dan mengambil bungkus foil yang ada di sana. Siapa tahu nanti ia butuh benda itu kan? Atas pikiran mesumnya, Aries terkekeh sendiri.

Kapan kiranya ia akan setia pada satu wanita layaknya Leo? Aries tidak mengerti. Namun kebiasaan menjadi player seolah tidak mau berubah. Entah ia yang memang tak mau berubah, atau memang kebiasaan itu yang tidak bisa berubah.

Perjalanan dari Denpasar ke Singaraja tidak memakan waktu sampai dua jam. Aries menempuh perjalanan menggunakan motornya. Padahal hanya kurang dari dua jam untuk pulang, tapi yang ada, butuh waktu berbulan-bulan sampai Aries memijakkan kaki di rumahnya lagi.

Aries mengetuk pintu. Ibunya yang langsung membuka pintu tersebut untuknya. Perempuan itu menyipitkan mata. Daster yang digunakannya terlihat lusuh.

“Cari siapa, Mas?”        

Aries menganga lebar, “Buu,” ia mendengus jengah.

“Ibu lupa bahwa Ibu masih punya anak.”

Tidak sampai dua puluh empat jam sejak ibunya menelepon tadi, dan sekarang sang ibu sudah lupa padanya? Betapa mengesankan hal itu!

Ibunya mengibaskan tangan tak peduli. Aries masuk ke rumahnya mengikuti langkah sang ibu. Rumahnya hanya rumah sederhana peninggalan ayahnya yang dulu seorang dokter. Ya, Aries menyebut rumah dua lantai dengan beberapa kamar itu sederhana.

“Kamu membelikan yang Ibu minta?” ibunya tiba-tiba membalikkan badan.

Aries meringis, “Aku lupa. Nanti kubelikan.”

“Ibu sudah tahu kamu hanya berbasa-basi.” ibunya menghela napas, “Ya sudahlah, yang penting kamu pulang.”

Aries tersenyum kecil sebagai jawaban.

“Jadi akan ada yang membantu Ibu untuk mengantar belanja.”

Aries menganga lagi. Ia sudah berpikir bahwa ibunya teramat bahagia karena ia pulang. Ternyata, ia hanya diperlukan sebagai pembantu.

“Kamu akan menolak?” ibunya mendelik penuh ancaman, “Seorang lelaki tidak boleh hanya bisa bermain wanita, mengurus rumah juga harus bisa. Kalau nanti genteng rumah bocor, kamu akan menyuruh istrimu untuk memperbaikinya, begitu?”

See? Inilah yang Aries maksud rumah adalah neraka. Astaga, tidakkah ibunya merasa untuk membiarkannya menengok kamarnya dahulu sebelum mengomelinya?

Aries bersegera kabur setelah mengiyakan. Tidak mau lagi ibunya mengomel. Ibunya sudah tua. Ia khawatir bila ibunya terus berbicara akan membuat perempuan itu sesak napas.

Kamarnya masih sama seperti biasa. Asisten rumah tangga melakukan pekerjaannya dengan baik. Aries tidak memiliki saudara. Ia anak tunggal, karena itu ibunya selalu cerewet setiap ia jarang sekali pulang. Meski perjalanan dari Singaraja ke Denpasar tak memakan banyak waktu, Aries tetap tidak akan tinggal dengan ibunya.

Tinggal di rumah sama seperti di penjara. Sedangkan Aries adalah pribadi yang bebas. Mana mau ia mengorbankan kebebasan yang dipujanya? Itu sama halnya dengan ia harus berhenti menggoda banyak wanita. Ia tidak akan sanggup melakukannya.

lll

Komen-komen wkwk
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan yaa :)

My Step Brother - 6 (Ending)

Chapter 6 ( Ending) Dua hari kemudian Bian membuka akun instagramnya. Gerahamnya segera saja bergemeletuk menahan geram ketika menda...