Chapter 1 - Player
Erangan
itu kian kuat, semakin kuat dan berakhir pada lolongan bak binatang yang telah
mendapat kepuasan. Aries terduduk di lantai, tersengal dan berkeringat.
Menakjubkan, ia selalu menyukai seks yang terburu-buru seolah dikejar waktu.
Gadis
yang menjadi pasangannya segera membereskan pakaian yang telah kusut nan
berantakan. Nina, Nani atau ... Naina? Aries bahkan telah lupa siapa namanya.
Mana bisa ia mengingat nama gadis itu ketika yang terkumpul di dalam otaknya
hanya tentang selangkangan?
“Agresif,
seperti biasa.” Gadis itu mengerling pada Aries yang masih tidak peduli dengan
keadaan celananya.
Aries
menyeringai, “Tentu saja, Naina.”
“Nina.”
Gadis itu meralat namanya dengan ekspresi cemberut.
Aries
mengangkat alis seolah bertanya ‘benarkah?’ terhadap gadis itu. Nina menyipitkan
mata, merasa kesal. Padahal, bukan hanya sekali dua kali mereka melakukan seks,
namun Aries tidak juga mengingat namanya.
“Oh,
maaf. Maksudku, ya, namamu Nina kan? Lidahku terlalu kelu untuk menyebutkan
nama gadis sesempurna dirimu.” Lelaki itu mulai membual sambil mengancingkan
celananya kembali.
Sambil
tersipu gadis itu menjawab, “Aku tidak sesempurna itu.”
“Oh,
kamu sangat sempurna. Kamu membuatku puas bukan kepalang, Nani.” Balas Aries
sepenuh hati, tidak sadar bahwa nama yang disebutkannya salah sampai kepalanya
tertoleh ke samping karena ditampar oleh tas yang saat itu Nina gunakan. Ia
hanya menganga melihat gadis itu pergi sambil menyumpahinya.
“Ouh,
Nina.” Aries mengerangkan nama itu dengan kesal sambil mengusap pipinya. Namun
ia heran, mengapa para gadis itu mau-mau saja ditidurinya padahal mereka tahu
bahwa ia penjahat kelamin? Sudahlah, setidaknya ia sudah puas hari ini.
Ponsel
canggihnya bergetar. Nama ibunya tertera di sana. Aries menghela napas. Ia
sangat malas untuk berbicara dengan sang ibu. Rumah adalah neraka baginya. Jika
di kampus ada dosen killer, maka di rumahnya ada ibu killer—ibunya sendiri.
Mau
bagaimana? Sama seperti ibunya, Aries juga tidak ingin bermain-main dengan
banyak wanita lagi. Tapi ia tak bisa. Ia bersumpah bahwa wanita-wanita itu
terlalu disayangkan bila hanya dilihat saja. Mereka layak untuk diapresiasi
dengan diberi hadiah berupa kenikmatan seksual.
“Ya,
Bu.” Aries mengangkat panggilan masuk itu. Ia berdiri lalu menepuk celananya
yang mungkin kotor. Dengan mengapit ponselnya di antara pundak dan leher, ia
mengenakan jaketnya. Lalu pergi dari atap salah satu gedung fakultas itu yang
telah menjadi saksi bisu aksi mesumnya dengan Nani—oh, Nina.
“Kapan
kamu akan pulang? Mau menunggu Ibu mati?” suara sarkastik itu segera menyahut.
Jika
Aries menganggap rumah adalah neraka, maka tak mungkin kan bila ia mau tinggal
di neraka? Ya, ia tak tinggal di rumahnya. Ia dan kedua temannya sepakat untuk
menyewa kontrakan dan membayar sewanya bersama-sama.
Jika
dihitung-hitung, maka sudah banyak hari yang berlalu tanpa Aries melihat wajah
ibunya. Bila dipikir lagi, ia juga merindukan perempuan baya yang kantung
matanya sudah berkerut itu. Tidak ada salahnya bila ia datang dan menginap
selama semalam saja di rumahnya.
“Nanti
sore aku akan pulang, Bu. Ibu mau kubelikan sesuatu?”
Meski
sudah berusia lumayan tua, ibunya tetap saja matrealistis. Karena setelah Aries
mengajukan pertanyaan itu, ibunya segera menjelaskan panjang lebar bahwa Aries
harus membeli paket kosmetik jenis ini, baju ukuran ini bahkan juga sandal merk
dan ukuran itu. Aries sampai pusing mendengarkannya.
“Baiklah,
Bu. Sekarang aku harus masuk kelas. Sampai jumpa nanti sore di rumah.” Aries
langsung menekan ikon berwarna merah untuk mengakhiri panggilan tanpa menunggu
jawaban ibunya.
Aries
berbohong ketika berkata bahwa ia ada kelas saat ini. Ujian akhir semester baru
kemarin selesai. Untuk beberapa waktu ke
depan, ia tidak akan memiliki jadwal sampai
kuliah kembali efektif di semester selanjutnya.
Ia
hanya sudah malas mendengar celoteh ibunya. Biarkan telinganya menjadi sehat
hari ini supaya ketika nanti ia tiba di rumah, ia sudah siap untuk diberondongi
banyak omongan lagi. Sejak kematian ayahnya, ibunya menjadi makin cerewet
padanya.
Aries
mengambil motornya, ia mengendarainya menuju kontrakan. Di sana ada Virgo yang
sedang mengunci pintu kamarnya sendiri. Nampaknya lelaki itu akan segera pergi.
“Gue
mau pulang.” beritahu Aries sembari mendudukkan diri di kursi.
Virgo
mengangkat alis, bertanya ‘ke mana?’ melalui isyarat. Sebab, Aries tidak pernah
mengenal kata pulang sebelumnya.
“Ke
rumah Ibu.” Aries meringis di tengah jawabannya.
“Akhirnya
lo sadar juga.” Virgo mengangguk-angguk, “Berapa lama?”
Kening
Aries berkerut sebelum lelaki itu menjawab, “Sepertinya menginap semalam sudah
cukup, kan?”
Virgo
terkekeh, ia berjalan ke arah pintu. Heran juga mengapa Aries yang masih
memiliki Ibu bisa begitu saja mengabaikan keberadaan ibunya. Tidak tahu saja
lelaki itu betapa nelangsa hidup tanpa satu pun orang tua.
“Gue
pergi dulu.” pamit Virgo kemudian.
Selepas
pintu tertutup dari luar, Aries berdiri untuk membereskan barang-barang yang
nanti akan ia pakai di rumah. Ia memasukkan laptop beserta charger-nya, juga
alat mandi yang telah tersimpan di dalam tas plastik kecil. Ia menarik laci,
dan mengambil bungkus foil yang ada di sana. Siapa tahu nanti ia butuh benda
itu kan? Atas pikiran mesumnya, Aries terkekeh sendiri.
Kapan
kiranya ia akan setia pada satu wanita layaknya Leo? Aries tidak mengerti.
Namun kebiasaan menjadi player seolah tidak mau berubah. Entah ia yang memang
tak mau berubah, atau memang kebiasaan itu yang tidak bisa berubah.
Perjalanan
dari Denpasar ke Singaraja tidak memakan waktu sampai dua jam. Aries menempuh
perjalanan menggunakan motornya. Padahal hanya kurang dari dua jam untuk
pulang, tapi yang ada, butuh waktu berbulan-bulan sampai Aries memijakkan kaki
di rumahnya lagi.
Aries
mengetuk pintu. Ibunya yang langsung membuka pintu tersebut untuknya. Perempuan
itu menyipitkan mata. Daster yang digunakannya terlihat lusuh.
“Cari
siapa, Mas?”
Aries menganga
lebar, “Buu,” ia mendengus jengah.
“Ibu
lupa bahwa Ibu masih punya anak.”
Tidak
sampai dua puluh empat jam sejak ibunya menelepon tadi, dan sekarang sang ibu
sudah lupa padanya? Betapa mengesankan hal itu!
Ibunya
mengibaskan tangan tak peduli. Aries masuk ke rumahnya mengikuti langkah sang
ibu. Rumahnya hanya rumah sederhana peninggalan ayahnya yang dulu seorang
dokter. Ya, Aries menyebut rumah dua lantai dengan beberapa kamar itu
sederhana.
“Kamu
membelikan yang Ibu minta?” ibunya tiba-tiba membalikkan badan.
Aries
meringis, “Aku lupa. Nanti kubelikan.”
“Ibu
sudah tahu kamu hanya berbasa-basi.” ibunya menghela napas, “Ya sudahlah, yang
penting kamu pulang.”
Aries
tersenyum kecil sebagai jawaban.
“Jadi
akan ada yang membantu Ibu untuk mengantar belanja.”
Aries
menganga lagi. Ia sudah berpikir bahwa ibunya teramat bahagia karena ia pulang.
Ternyata, ia hanya diperlukan sebagai pembantu.
“Kamu
akan menolak?” ibunya mendelik penuh ancaman, “Seorang lelaki tidak boleh hanya
bisa bermain wanita, mengurus rumah juga harus bisa. Kalau nanti genteng rumah
bocor, kamu akan menyuruh istrimu untuk memperbaikinya, begitu?”
See? Inilah yang Aries maksud
rumah adalah neraka. Astaga, tidakkah ibunya merasa untuk membiarkannya
menengok kamarnya dahulu sebelum mengomelinya?
Aries
bersegera kabur setelah mengiyakan. Tidak mau lagi ibunya mengomel. Ibunya
sudah tua. Ia khawatir bila ibunya terus berbicara akan membuat perempuan itu
sesak napas.
Kamarnya
masih sama seperti biasa. Asisten rumah tangga melakukan pekerjaannya dengan
baik. Aries tidak memiliki saudara. Ia anak tunggal, karena itu ibunya selalu
cerewet setiap ia jarang sekali pulang. Meski perjalanan dari Singaraja ke
Denpasar tak memakan banyak waktu, Aries tetap tidak akan tinggal dengan
ibunya.
Tinggal
di rumah sama seperti di penjara. Sedangkan Aries adalah pribadi yang bebas.
Mana mau ia mengorbankan kebebasan yang dipujanya? Itu sama halnya dengan ia
harus berhenti menggoda banyak wanita. Ia tidak akan sanggup melakukannya.
lll
Komen-komen wkwk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan yaa :)