Chapter 4 - Sesak
“Gue butuh saran dari kalian.” ujar Aries serius kepada dua sahabatnya.
“Apa?”
Leo yang menyahut lebih dulu. Virgo berhenti mengetik sesuatu di laptopnya.
“Begini.
Gue pernah hampir bertunangan dulu, tapi gagal karena gadis itu menolak.
Padahal hubungan kami baik-baik saja.”
Virgo nampak tertarik, “Lalu?”
“Lalu
sekarang gadis itu kembali, ada di rumah Ibu. Gue nggak mau dia pergi lagi.”
Leo
membaca bahwa gadis itulah yang menjadi sumber keanehan Aries akhir-akhir ini.
Yang dimaksud aneh adalah, Aries yang tak bisa melewatkan waktu tanpa perempuan
kini tak lagi terlihat bersama dengan perempuan manapun.
“Ada
hubungan apa kalian sebelumnya?” Leo bertanya.
Aries
tercenung, lalu menggeleng, “Tidak ada.”
Virgo
melirik Leo sebelum menjelaskan, “Begini, Ries. Kalian gagal bertunangan itu
ada dua kemungkinan. Yang pertama, karena gadis itu tidak punya perasaan apapun
sama lo. Dan yang kedua adalah adanya sesuatu yang membuat gadis itu menolak.”
“Dan
jika yang terpakai adalah alasan yang pertama, maka untuk mendapatkan gadis
itu, lo harus mendapatkan hatinya. Sebelum itu, lo pastikan dulu perasaan lo
padanya.” Leo menyambung penjelasan.
“Gue
yakin dia sayang sama gue dulu. Dan mungkin sampai sekarang.”
“Kalau
memang begitu, kenapa nggak dari dulu lo perjuangin dia?” pertanyaan itu Leo
suarakan seperti Aries adalah lelaki aneh.
“Karena
dia terus menghindar. Ditambah lagi keluarganya pindah ke Jakarta. Gue nggak
punya kesempatan lebih jauh lagi.”
“Dan
apa alasan yang membuat dia menghindar?” kejar Virgo menuntut jawaban. Oh, dia
akan bersemangat bila itu untuk kebaikan sahabatnya.
“Karena
kami gagal bertunangan?” Aries balik bertanya ragu, “Gue nggak tahu pasti.”
“Begini
saja. Lo kan player. Jadi kenapa lo nggak manfaatkan hal itu untuk
mendapatkannya?”
Atas
saran Leo tersebut, Aries termenung. Ia memang player. Tapi kelebihan itu hanya
untuk meniduri perempuan. Sementara Ivy, gadis itu jauh lebih berharga hanya
untuk dijadikan teman tidur.
“Kalau
lo butuh waktu, gunakan liburan ini. Lo pulang, urusan distro biar kami yang
menanganinya.” Virgo menambahkan sekaligus menutup pembicaraan malam itu.
***
Aries
benar-benar pulang. Niat awalnya memang ingin menetap saja di rumah ibunya.
Namun ia juga memiliki tanggung jawab untuk mengelola distro.
“Mas
Aries pulang lagi?” Ivy yang membuka pintu tidak dapat menyembunyikan
keheranannya.
Aries
yang sekilas melihat Miftah di ruang tamu langsung merasa marah. “Kenapa? Ini
rumahku.” ia berkata dingin.
Ivy
menghela napas, “Aku tahu. Maaf kalau salah tanya.”
Gadis
itu meninggalkan Aries di ambang pintu. Aries mengepalkan tangan. Sedekat apa
sebenarnya hubungan gadis itu dengan Miftah? Aries semakin emosi mengetahui
bahwa ibunya sedang pergi. Artinya, sebelum ia datang tadi, Ivy dan Miftah
hanya berdua kan? Apapun bisa saja sudah terjadi antara mereka! Sial!
Aries
berderap menuju kamarnya di lantai dua. Suara berdebam pintu yang dibantingnya
membuat Ivy terlonjak.
“Aneh.”
gadis itu menggumam.
Miftah
tersenyum miring, tahu bahwa dirinya penyebab kemarahan Aries. Umur saja
bertambah, mana kedewasaan lelaki itu? Batinnya mulai mencibir.
Sementara
itu Aries mondar-mandir di dalam kamar. Apa yang harus ia lakukan untuk
menjauhkan Ivy dari lelaki itu? Ia mengacak rambut gusar. Ivy dan Miftah tidak
boleh dibiarkan berdua saja. Cepat-cepat Aries turun dari kamarnya ke lantai
satu. Matanya menajam melihat Miftah yang mengecup pipi Ivy di ambang pintu.
Dan Ivy nampak biasa-biasa saja diperlakukan seperti itu, malah tertawa senang.
Miftah
menatap Aries remeh. Ia mengusap kepala Ivy lembut. “Kalau ada apa-apa, kamu
tahu ke mana harus mencariku.”
“Iya,”
Ivy tersenyum, ia mendorong Miftah ke motor lelaki itu, “Sana pulang. Nanti kemalaman.”
Ivy
menunggu sampai motor Miftah hilang dari pandangannya sebelum kemudian ia masuk
ke rumah. Ia sangat terkejut saat menutup pintu kemudian berbalik dan Aries
sudah berdiri menjulang di hadapannya.
“Ada
hubungan apa kamu dengan lelaki itu?”
“Teman.”
Ivy menggeser kakinya untuk pergi, tetapi Aries menahan pundaknya dan menyandarkannya
ke pintu.
“Tidak
ada teman yang berciuman dan tidur bersama, Ivy.” balas Aries dingin.
Ivy
kehilangan kata-kata, “Apa maksud Mas?”
“Jangan
mengelak, Ivy.” Aries mencengkram pundak mungil itu, “Aku sudah tahu semuanya.
Aku tidak menyangka kamu semurah itu.”
“Jaga
omongan kamu, Mas!” Ivy tak bisa menutupi perasaan tersinggungnya, “Lepaskan
aku.” lanjutnya tak kalah dingin.
Aries
menatap gadis itu tajam, ia kemudian berdecih. Terlalu marah untuk berpikir
positif. Ia tidak tahu bahwa sikapnya melukai gadis itu.
“Jadi
ini alasan kamu menolak perjodohan kita dulu? Karena kamu tidak ingin terikat.
Ingin bertualang dari satu lelaki ke lelaki lain.”
Oh,
Aries. Bukankah itu dirimu? Batin Aries mengejek dirinya sendiri. Namun ia tak
peduli.
Ivy
memandang lelaki itu tak percaya, “Serendah itu penilaian kamu terhadapku, Mas?”
“Perilaku
kamu dengan lelaki itu mencerminkan semuanya!” Aries menggeram.
Ivy
menarik napasnya yang tersendat di dada. Ia menepis tangan Aries yang menyakiti
pundaknya. Tanpa kata-kata ia meninggalkan lelaki itu. Aries yang merasa masih
ingin berbicara pun mengejar gadis itu.
“Aku
belum selesai bicara.”
“Terserah
apa yang akan kamu katakan, Mas. Aku nggak peduli.”
“Karena
yang kukatakan adalah kebenaran.”
Ivy
membalik badan, menatap Aries nyalang. “Kalau pun benar aku sudah tidur dengan
Miftah dan lelaki lain, apa urusanmu, hah?! Ini hidupku. Jadi tolong jangan
mencampurinya.” ia berkata penuh penekanan di kalimat terakhirnya.
Tak
bisa mengendalikan kemarahan atas kebenaran ucapan Ivy, Aries meninju dinding.
Membuat Ivy yang berdiri di hadapannya menarik napas tajam terkesiap. Gadis itu
memundurkan langkah mendapati betapa gelapnya ekspresi Aries.
“Karena
kamu membenarkan semuanya, aku ingin tahu seberapa hebat kamu di tempat tidur.”
lelaki itu bergerak mendekat bak predator.
Ivy
salah karena kabur ke kamarnya. Sebab Aries bergerak gesit menyusulnya dan di
sanalah ia sekarang. Di bawah tindihan lelaki yang tengah dikuasai amarah itu.
“Mas,
aku ... akan menjelaskannya.”
“Menjelaskan
apa? Kalau sudah banyak lelaki yang kamu layani? Aku percaya.”
Ivy
menggeleng lemah, “Aku nggak nyangka, dari sekian banyak orang, akhirnya kamu
lagi yang menyakitiku.”
“Apa
yang kamu sebut menyakiti, Ivanka?” Aries tersenyum sinis, ia menggenggam
rahang Ivy dan menyatukan bibir mereka sepersekian detik, “Aku bisa lebih hebat
untuk memuaskanmu dibanding si brengsek itu.”
Ivy
mengatupkan bibirnya. Matanya sudah panas. Air matanya yang siap tumpah
benar-benar meleleh ketika Aries menciumnya beringas. Lansung saja ia meronta.
Ia terisak tetapi Aries tidak mau melepaskannya.
Aries
menggigit kasar bibir Ivy yang tertutup rapat. Anyir darah yang menguasai
mulutnya tidak ia hiraukan. Tangannya menyusup ke balik pakaian Ivy, segera
menjamah bagian lembut di dada gadis itu.
Ivy
memukul lelaki itu. Pukulan yang kian melemah sampai berakhir pada cengkraman
di pundak Aries. Ia tidak bisa lebih sakit dari ini. Pelecehan yang Aries
lakukan menggores lukanya yang belum sembuh.
Gadis
itu tersedak tangisnya sendiri. Karena itulah Aries berhenti. Ia menatap wajah
yang banjir air mata itu tajam.
“Aku
tidak mau rumah ibuku ternoda karena perilaku kamu. Jika kamu masih bersikap
seenaknya seperti tadi, lebih baik kamu pergi saja dari sini. Aku tak sudi
ibuku tinggal dengan gadis seperti kamu.”
Ivy
memalingkan wajah. Sama sekali tidak ingin Aries melihat luka di matanya. Oh,
ia terluka. Ia sakit hati. Ketika Aries pergi, ia membekap mulutnya sendiri.
Air matanya terus mengalir.
Aries,
lelaki yang pernah dicintainya. Lelaki yang melambungkan harapnya kemudian
menjatuhkannya ke titik terendah. Lelaki yang telah berkhianat. Lelaki yang
kini menyakitinya lagi.
Ini
terlalu tiba-tiba. Ivy bahkan tak sempat memproses alasan dari kemarahan Aries.
Ivy sudah hancur, hancur berkeping-keping karena orang yang sama. Ia tahu Aries
adalah player. Sudah sejak lama ia
tahu. Namun hatinya tak bisa berkompromi. Ia jatuh cinta sejatuh-jatuhnya.
Ivy
memakan mentah-mentah rayuan lelaki itu kepadanya. Semua pujian dari lelaki itu
membuatnya bahagia. Bahkan Ivy tidak berpikir untuk menolak saat Aries
menciumnya untuk pertama kali.
Mereka
dijodohkan, tanggal pertunangan telah ditentukan. Ivy bahagia, itu sudah pasti.
Tetapi hal itu tak berlangsung lama. Ia melihat Aries tidur dengan perempuan
lain di rumah ini. Itulah sebab mengapa ia membatalkan perjodohan itu secara
sepihak.
Saat
Aries tanpa merasa bersalah dengan bermain api di belakangnya, tidak ada yang
Ivy pikirkan selain lelaki itu tidaklah tepat untuknya. Dan hari ini Aries
membuktikan bahwa lelaki itu memang tidak ditakdirkan untuknya-tidak ada benang
takdir yang bisa menyatukan mereka.
Ivy
menelan paksa tangisnya. Tiada guna lagi ia menangis. Air mata tidak akan
mengembalikan kondisi hatinya seperti semula. Ia teringat lagi perkataan Aries.
Serendah
itu penilaian lelaki itu kepadanya. Padahal Ivy sudah menjaga diri, menjaga
hati. Demi kebaikannya ... demi kesetiaan cinta yang tetap ada meski dulu Aries
berkhianat.
Sampai
beberapa menit yang lalu ia masih percaya bahwa ia bisa mengobati hatinya. Tapi
saat ini, untuk sembuh sepertinya sangat mustahil. Karena orang yang ia
harapkan untuk kembali, justru adalah yang paling kejam menyakitinya.
Ivy
memejamkan mata, berharap sesak di dadanya sedikit saja berkurang. Baik, baik
bila itu yang Aries inginkan. Ia akan mengikuti kemauan lelaki itu.
lll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan yaa :)