Chapter 6 ( Ending)
—SELESAI—
Khusus ebook yang bisa dibeli di playstore >> playbook ada chapter bonusnya yaaa :)
Download ebook My Step Brother di sini
My Melody (LGS#2)
Dua hari kemudian Bian membuka akun instagramnya.
Gerahamnya segera saja bergemeletuk menahan geram ketika mendapati foto Hanna
bersama seorang lelaki berambut coklat gelap. Lelaki itu tampan, dan sepertinya
Hanna sangat senang di foto itu. Istrinya tersenyum lebar.
Sampai hari ini Hanna masih tidak bisa dihubungi. Bian
membuang napas gusar. Perkataan Doni tentang laki-laki lain mengusik benaknya.
Mungkinkah?
Tidak, Hanna-nya bukan gadis seperti itu. Hanna hanya
bisa 'nakal' padanya. Tidak kepada yang lain. Ya, seharusnya begitu.
Bian meletakkan smartphone-nya. Ia mengambil handuk dan
pergi mandi. Usai mandi dan berpakaian, ia melihat smartphone-nya lagi. Ada dua
panggilan video tak terjawab pada whatsapp-nya dari Hanna, ia segera mem-video call balik.
Panggilan dijawab tidak sampai dua detik. Wajah segar
Hanna terlihat di layar smartphone Bian.
“Kak—”
“Dari mana aja kamu?” Bian menyela, terlalu tajam hingga
membuat Hanna tertegun lama.
“Hanna, cepatlah.” suara lain terdengar.
“Siapa itu? Kamu mengundang laki-laki lain ke tempatmu?”
Hanna menatap Bian lantas menghela napas, “Kakak kok
marah sih? Aku—”
“Kakak serius, Hanna. Jangan main-main kali ini. Siapa
laki-laki itu? Pacar kamu?”
“Kak!” Hanna menjerit tertahan, “kok nuduh aku gitu sih?
Kakak tau aku gak mungkin selingkuh!”
Sorot mata Bian menajam, “Gimana Kakak bisa percaya kalau
Kakak udah lihat foto kamu sama laki-laki lain, Hanna? Dan sekarang ada suara
laki-laki di tempatmu. Laki-laki yang sama kan dengan yang di foto? Mau ke mana
kalian? Hotel? Tidur bersama? Kenapa gak di situ aja?” cecarnya beruntun. Semua
perkataan itu membuat Hanna tersakiti.
“Kakak lagi emosi, hubungin aku lagi nanti ya?” pinta
gadis itu melirih.
“Jangan coba-coba matiin sambungan, Hanna. Atau Kakak gak
akan hubungin kamu lagi.” ancam Bian dengan suara rendah.
“Aku tunggu telepon Kakak nanti. Dah,”
Bian menghempaskan smartphone-nya ke kasur. Dadanya panas
sekali rasanya. Ia terbakar api cemburu.
Selepas panggilan video itu Hanna matikan, ia membuang napas
berat. Kalimat Bian tersirat makna bahwa dirinya perempuan rendahan. Salahnya
memang mengunggah foto itu hanya karena kesal kepada Bian. Ia akan meminta
maaf, nanti ketika emosi Bian sudah stabil. Sekarang, ia bersama Jayden dan
Jihan yang sudah menunggu di luar akan pergi mencari referensi untuk tugas
membuat jurnal.
Tapi keegoisan mereka masing-masing membuat baik Bian
atau pun Hanna tidak berinisiatif untuk menghubungi lebih dulu. Keduanya
memilih menumpuk emosi dan rindunya masing-masing. Hari ini ujian semester
Hanna berakhir, Hanna berpikir untuk langsung pulang ke flat-nya daripada pergi
jalan-jalan seperti yang Jihan usulkan.
Oh, Hanna tidak mau menjadi nyamuk di antara dua sejoli
yang baru saja meresmikan hubungan dengan bertunangan itu.
Di dalam kamar, Hanna menimang smartphone-nya. Seharusnya
dalam beberapa hari ke depan Bian akan datang menemuinya. Tapi sampai sekarang,
suaminya itu masih belum memberinya kabar juga.
Mendengar pintu flat-nya diketuk, Hanna berdiri dan
membukanya. Ia membeku. Di depannya kini berdiri seseorang yang selalu
dipikirkannya. Albian Mahesa.
Bian melangkah masuk lantas menutup pintu dengan kakinya.
Tas punggungnya ia jatuhkan, untuk kemudian kedua lengannya memerangkap Hanna
dan mencium gadis itu tanpa jeda. Menumpahkan semua emosinya dalam ciuman
menggebunya.
Hanna tergeragap namun dengan cepat menguasai diri. Ia
memegang rahang Bian untuk kemudian mengalungkan lengan di leher lelaki itu.
Dilumatnya bibir atas Bian ketika lelaki itu sibuk dengan bibir bawahnya.
Ciuman itu melembut untuk kemudian terhenti. Menyisakan panas membara di bibir
Hanna. Gadis itu merengut melihat tatapan Bian masih saja tajam.
“Kangen,” ucapnya manja seraya merebahkan kepala di dada
Bian. Ia memutar-mutar kancing kemeja Bian untuk kemudian melepasnya satu per
satu.
“Kakak, kok diem?”
Bian menghela napas, ia menanggalkan kemejanya setelah
semua kancingnya dilepas oleh Hanna.
“Jayden cuma temen. Dia udah tunangan malah, Kak. Kakak
tuh yang selingkuh dari aku.”
“Kamu tau Kakak sayang banget sama kamu, Dek. Maafin
Kakak ya?”
Hanna menggeleng, pelupuk matanya memproduksi air mata
dengan cepat. Perkataan terakhir Bian yang menunjukkan kalau Hanna tidak lebih
dari perempuan kotor sangat menyakiti gadis itu. Tapi ia tidak menangis. Ia
baru berani menangis hari ini ketika ada Bian bersamanya.
“Maaf.” Bian menghalau air mata gadis itu, namun tetap
saja air mata itu menganak sungai.
“Nggak dimaafin.”
Bian menghela gadis itu ke pelukannya, “Kok nggak?
Perempuan itu juga temen, Sayang. Bukan Kakak juga yang ngunggah, tapi Doni.”
“Bohong.”
“Kakak nggak pernah bohong sama kamu. Maafin ya?”
Hanna tetap menggeleng, tidak mau memaafkan. Kesalahan
Bian sudah mengoyak hatinya. Tapi, salahnya juga sih....
“Ya udah, kalau gak mau maafin. Kakak tau kamu kecewa
banget. Tapi jangan nangis lagi dong.”
“Dimaafin kok.” Hanna berucap lirih. “maafin aku juga.”
“Selalu, Sayang.” Bian mendongakkan kepala Hanna.
Dikecupnya jejak air mata di pipi gadis itu seraya disekanya lembut. Di atas
bibir Hanna, ia menyarangkan kecupan ringan. Hal itu juga ia lakukan di leher
Hanna.
“Kak, aku belum mandi.”
“Mandi bareng aja nanti.”
Bian mendorong Hanna terlentang di kasur dengan setengah
menindih gadis itu. Ia membuka sepatu yang gadis itu kenakan, lantas melarikan
jemari ke betisnya. Ia menatap Hanna, menyeringai. Jemarinya terus membelai ke
paha Hanna, tanpa membuang waktu ia melepaskan celana dalam gadis itu. Hanna
yang memakai rok memudahkannya melakukan hal itu.
Ketika tangannya menyentuh milik Hanna, gadis itu
mendorongnya. Hanna menduduki bagian tubuhnya yang mengeras dengan cepat. Gadis
itu menunduk dan menciumi dadanya. Hanna bahkan dengan berani menggigit
putingnya. Membuatnya menahan erangan di tenggorokan.
Hanna beralih ke leher Bian. Ketika mendongak, ia
tersenyum nakal. Ia menunduk lagi, mencium Bian tepat di bibir. Satu tangannya
bergerak ke bawah. Melepas kancing jeans Bian dan menurunkan resletingnya.
“Dek,” Bian mengerang lambat. Ia menyusupkan tangan ke
balik kaos Hanna, hendak mengangkatnya ke atas ketika bel pintu berbunyi. Hanna
langsung melompat turun dari tempat tidur dan berlari ke pintu.
Bian menghela napas gusar. Ia memperbaiki posisi
celananya kemudian menyusul Hanna ke pintu. Disergapnya tubuh gadis itu dari
belakang. Ia menumpukan dagu di pundak Hanna, menatap tak suka pada lelaki yang
ada di foto. Ia cemburu terlepas dari kenyataan bahwa lelaki itu telah
bertunangan.
“Aku mengganggumu, ya?” Jayden mengerling kepada Hanna.
“Ya.” Bian menjawab dingin.
“Kak!”
Bian menghela napas, ia menghidu aroma khas Hanna melalui
rambut gadis itu.
“Ya sudah, aku pulang dulu. Selamat bersenang-senang,
Hanna.”
Ketika pintu ditutup, Bian langsung menyandarkan Hanna di
sana. Ia melepas kaos Hanna berikut bra yang gadis itu pakai.
“Kakak gak sopan tadi.”
“Kakak gak peduli.” Bian mencium bibirnya. Kedua
tangannya meremas buah dada Hanna. “Roknya ganggu, Sayang.” bisiknya di sela
ciumannya.
“Lepasin dong.”
Bian mengerang, antara jengkel dan nikmat saat Hanna
tiba-tiba berlutut di depannya. Ia tak mau berlama-lama, langsung menanggalkan celananya.
Hanna memegang milik Bian. Ia menatap benda hidup itu
takjub. Tidak menyangka bahwa di dalam celananya, Bian menyembunyikan benda itu.
“Dek—hh,”
Hanna melakukan hal yang membuat Bian linglungsekaligus
kebingungan.
“Dek, kamu, ahh.. belajar dari mana?” Bian mengepalkan
tangan di rambut Hanna. Ia menahan kepala gadis itu dan membawanya berdiri.
Bukan mulut gadis itu yang ia inginkan saat ini.
“Belajar dari mana?”
“Nonton.” jawab Hanna luar biasa santai.
Bian menghela napas, “Jangan nonton film itu lagi, oke?”
ia hanya khawatir otak Hanna tercemar.
Bagaimana kalau saat ia tak ada, Hanna malah mencari
lelaki lain hanya karena tak bisa menahan diri setelah menonton film itu? Dan,
Bian cemburu mengetahui bahwa bukan dirinya lelaki telanjang pertama yang
dilihat Hanna.
“Kak, roknya katanya ganggu?”
Bian menatap gadis itu lalu terkekeh. Ia menurunkan rok
Hanna. Dengan cepat ia menggendong gadis itu dan meletakkannya di kasur. Ia
melebarkan paha Hanna, menempatkan diri di antara keduanya.
“Kamu siap kan, Dek?”
Hanna mengecup bibir Bian, “Aku gak bisa nunggu lagi.”
bisiknya nakal.
“Sayang, ingatkan Kakak buat ngasih bibir nakal kamu
hukuman nanti.” Bian mengarahkan miliknya.
Hanna menggelinjang, “Kakk,” ia merengek.
Bian mengarahkan miliknya, ia menahan pinggul Hanna
lantas menyatukan diri dalam satu hentakan.
“Kak!” tubuh Hanna menegang. “kok sakit? Di film nggak.” protesnya cemberut guna
menetralkan diri.
“Beda, Sayang.” Bian mengecup sudut mata Hanna yang
berair. Tentu saja sakit, ini yang pertama untuk Hanna. Berbeda dengan di film. Dan ini juga baru baginya. Tapi,
di dalam Hanna terasa menyenangkan.
Bian menggerakkan pinggulnya. Keluar dan masuk dengan hentakan
konstan. Membuat Hanna yang awalnya meringis menjadi melenguh.
Hanna memeluk leher Bian. Desahannya terus mengalun.
Mengiringi gerakannya, Bian menandai istrinya dengan gigi
di lehernya. Kedua tungkai gadis itu memeluk pinggulnya. Dadanya membusung
tinggi, membuat Bian mengulumnya tanpa ampun.
Hanna melenguh nikmat. Ia meremas rambut lebat Bian.
Pinggulnya bergerak selaras dengan gerakan lelaki itu yang naik turun
menghujamnya kuat. Detik itu pinggulnya terangkat, ia mendesah panjang
menyerahkan diri pada gulungan klimaks yang keras.
Bian masih bergerak. Ia mengubur wajah hingga geramannya
teredam di ceruk leher Hanna. Tubuhnya ambruk di atas tubuh hadis itu.
“Makasih, Sayang.” Bian mengecup permukaan leher Hanna
dengan lembut.
“Hmm,” Hanna menggumam sebagai balasan. Ia merebahkan
kepala dengan malas di dada Bian. Oh, itu tadi sungguh hebat. Pengalaman
pertama yang akan selalu Hanna ingat.
Bian mengusap lengan Hanna, sesekali mengecup puncak
kepala gadis itu. Kini tanggung jawabnya semakin berat. Bukan tidak mungkin
Hanna akan hamil. Selain Hanna, akan ada beberapa bocah mungil di antara mereka
yang menuntut perhatiannya. Ia tak sabar untuk menunggu saat itu tiba.
Bersama Hanna, Bian telah menemukan kebahagiaannya.
Kepada dirinya ia berjanji, bahwa ia akan berusaha untuk menciptakan keluarga
yang harmonis. Menjadi suami yang baik untuk Hanna dan ayah yang baik untuk
anak-anak mereka.
Khusus ebook yang bisa dibeli di playstore >> playbook ada chapter bonusnya yaaa :)
Download ebook My Step Brother di sini
My Melody (LGS#2)