NOT FOR UNDERAGE
Elsa mendesah malas.
Beberapa jam sudah berlalu dan Rexan belum juga kembali ke
apartement-nya. Elsa mulai bosan menunggu. Tapi, ia merindukan Rexan.
Entah kenapa ia tiba-tiba sangat merindukan Rexan. Kemarahannya pun
seolah sirna, berganti rindu yang teramat besar.
Menjawab apa yang
ditunggunya, pintu apartement terbuka. Elsa berdiri, melihat Rexan yang
sedikit terluka di pelipisnya dan langkah lelaki itu tidak sempurna. Ia
menghampiri Rexan dengan cepat. Suara kesiap kecil meluncur dari
bibirnya saat Rexan tiba-tiba memeluknya dan menciumnya.
Elsa memeluk leher
Rexan. Tubuhnya sedikit terangkat karena pelukan Rexan di sekeliling
tubuhnya yang sangat erat. Ia membalas ciuman itu, meluapkan kerinduan
yang ia tahan beberapa saat lalu. Mulutnya terbuka, lidah Rexan masuk ke
dalamnya dan membelit lidahnya. Elsa melenguh merasakan darahnya
berdesir hebat.
Rexan menarik kepalanya dan membenturkan dahinya ke dahi Elsa, "Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu, Els."
Tenggorokan Elsa
tercekat. Ia mengangguk-angguk lalu membenamkan wajah di dada Rexan. Ia
tahu dirinya cengeng, tapi ia tak tahu kalau dirinya secengeng ini. Air
matanya keluar begitu saja.
"I love you more." balasnya lirih.
Rexan mengusap rambut Elsa, ia mengecup puncak kepala gadisnya dengan sayang.
"Dengarkan aku, apapun yang terjadi, aku akan menjagamu. Aku pasti akan menjagamu Els."
Elsa mengangguk lagi.
Kepalanya terangkat, air matanya Rexan seka dengan tangan besarnya. Elsa
menangkup kedua sisi wajah Rexan, bibirnya mengulum senyum tipisnya.
Darah di pelipis Rexan yang mulai mengering tak luput dari perhatiannya.
"Luka apa ini?"
"Hanya luka kecil, akan segera sembuh saat kamu menciumku."
Luka di pelipisnya itu
Rexan dapatkan karena kecelakaan kecil tadi. Ia beruntung karena hanya
pelipisnya yang membentur mobil dan terluka sementara bagian tubuhnya
yang lain tidak apa-apa. Berbeda halnya dengan supir truk tadi. Truk itu
menabrak pohon dan supirnya bisa dibilang terluka parah. Rexan langsung
menghubungi orang-orangnya untuk membereskan kecelakaan itu. Si supir
truk dia biayai di rumah sakit berikut segala kerugian ia tanggung.
Bagaimana pun semua itu salahnya.
Tawa kecil Elsa mengalun, sekarang dia senang sekali. Usia remajanya tidak bisa berbohong dilihat dari kelabilannya.
"Sebaiknya kamu mandi,
kamu terlihat berantakan." Elsa melepaskan diri dari pelukan Rexan.
Sepersekian detik kemudian ia kembali memekik kecil karena tubuhnya
melayang karena Rexan menggendongnya. Mereka nyaris menabrak dinding
karena Rexan melangkah goyah.
"Aku merasa pusing, sayang. Kamu harus memandikanku."
Elsa memutar bola
matanya. Tahu pasti kegiatan mandi itu tidak akan hanya sekedar mandi,
tetapi, ia tidak keberatan. Sudah ia katakan kalau dirinya merindukan
Rexan, bukan? Dengan senang hati ia mengambil sabun dan menyabuni
punggung Rexan saat Rexan menyodorkan sabun cair itu ke tangannya.
Punggung Rexan sangat
lebar. Pundaknya kokoh, bisepnya terpahat sempurna. Elsa sangat
menyukainya. Rambut lelaki itu sudah sedikit memanjang, Elsa mengambil
shampo, menuang ke tangan dan mengusapkannya ke kepala Rexan, sesekali
ia memijit kepala lelaki itu, membuat Rexan merasa rileks.
Merasa sudah cukup,
Rexan meraih tangan Elsa lantas membawa gadis itu duduk di pahanya
berhadapan dengannya. Elsa masih lengkap dengan seragamnya, gadis itu
pasti langsung ke apartement-nya tanpa berganti baju lebih dulu, pikir
Rexan tersenyum.
"Maafkan aku. Kamu tahu,
aku terlalu menyayangimu. Sampai ketika melihat kamu begitu lega karena
tidak hamil anakku, membuatku sedikit merasa... yah... kecewa. Harusnya
aku tidak seperti itu. Kamu masih harus sekolah dan-"
Elsa menghentikan
perkataan Rexan dengan mengalungkan lengannya ke leher lelaki itu.
Secara otomatis tubuhnya mendekat ke dada lelaki itu. Menurutnya, tidak
hanya Rexan yang bersalah, dirinya juga.
"Maafkan aku juga. Benar
katamu, aku yang terlalu membesarkan masalah. Tapi..." Elsa menggantung
ucapannya, ia mengerling, "mungkin kamu kurang jantan hingga tidak
membuatku langsung hamil."
Sudut bibir kanan Rexan
terangkat, ia mengecup telinga Elsa lantas berbisik, "Kamu meragukan
kejantananku, sayang? Mari buktikan seberapa tidak jantannya aku."
Elsa mendesah kecil.
Kedua tangan Rexan membukakan seragamnya, menyentak bra-nya dan
membuangnya sembarangan. Mata lelaki itu sudah berkabut. Elsa bahkan
merasakan bukti gairah Rexan yang menonjol dan didudukinya.
Rexan menyetuh pipinya dengan lembut, lantas mengecup keningnya dengan sayang. "Aku mencintaimu."
***
Elsa bertopang dagu di
meja makan sambil terus memperhatikan Rexan yang tengah membuatkan
pancake yang dimintanya. Aroma matang pancake itu meruap, menggoda indra
penciumannya. Elsa semakin tidak sabar begitu Rexan menuang madu ke
atas pancake yang telah matang tersebut.
"Kuharap kamu menyukainya." Rexan meletakkan pancake buatannya di hadapan Elsa.
Gadis itu langsung
mengambil sendok, lantas menyuapkan pancake itu ke mulutnya. Bibirnya
mengulum senyum senang. Seolah hanya dengan makanan sederhana itu, Elsa
sudah merasa sangat bahagia.
Mau tak mau Rexan
tersenyum. Ia duduk di sebelah Elsa, menyangga kepala dengan tangan
kirinya. Tangan kanannya terangkat guna menyingkirkan rambut nakal yang
keluar dari ikatan rambut Elsa yang asal-asalan.
"Ibuku bukan orang baik, Els. Maka dari itu aku melarangmu bahkan hanya untuk sekedar bertemu dengannya."
"Kenapa?" Elsa mengulum
sendoknya dengan cara yang membuat Rexan gemas, "Bibi tidak terlihat
seperti orang jahat. Dia menjamuku dengan baik di rumahnya. Lagipula dia
ibumu. Tidak seharusnya kamu memusuhinya, 'kan?"
Rexan bernapas muram.
Cepat atau lambat dia harus menceritakan segalanya kepada Elsa. Gadis
itu bisa salah paham jika dia terus menyembunyikan kebenaran. Selama ini
dia menyembunyikannya, karena ia tahu, jika ia membeberkan semuanya,
Elsa tidak akan semudah itu percaya padanya. Elsa terlalu naif, gadis
belia itu akan memercayai apa yang ada di depan matanya. Bukan kisah
semata yang bertentangan dengan apa yang saat ini terjadi. Tetapi
setidaknya, Elsa tahu segalanya kalau dia menceritakannya.
"Aku tidak memusuhinya,
bahkan aku mencintainya. Tetapi situasi tak berpihak padaku. Bagaimana
kalau kukatakan bahwa kematian Cella, tunanganku, adalah karena ibuku?
Ibuku adalah dalang dari kematiannya."
Elsa membuka bibirnya lantas bertanya, "Kenapa? Apa yang membuat ibumu begitu jahat seperti yang kau katakan?"
"Hubungan ayah dan ibu
tidak mendapat restu keluarga ayah. Ayah mencintai ibu. Dan demi
keselamatan ibu, ayah harus meninggalkannya. Ayah membawaku sebab ayah
khawatir dengan adanya diriku, hidup ibu akan semakin susah. Jadi
begitulah, ibu berpikir bahwa ayah telah mencampakkannya. Padahal, hidup
ayah tak lebih baik setelah meninggalkan ibu." Rexan mengambil napas,
"aku menyayangi ibuku, Els." lanjutnya pelan.
Ia mencintai
tunangannya, juga menyayangi ibunya. Cella pernah menjadi bagian
terpenting di hidupnya dan berharga baginya. Dan jika ada satu perempuan
lagi yang sangat penting, maka itu adalah ibunya. Adalah Jenny yang
bahkan tidak pernah menganggapnya sebagai anak. Dan ia telah kehilangan
dua perempuan berharga itu.
Tidak ada yang bisa
Rexan lakukan ketika tunangannya tewas dan tahu dengan sangat bahwa
ibunya membenci dirinya. Hatinya mungkin gelap, tetapi untuk sang ibu.
Selalu ada secercah cahaya harapan kalau Jenny akan berubah.
Terkadang Rexan
bertanya-tanya. Seperti apa rasanya memiliki seorang ibu? Seperti apa
rasanya disayangi oleh ibu? Seberapa hangatkah rasanya dipeluk oleh ibu?
Pertanyaan sederhana semacam itu sangat ingin ia rasakan. Tetapi jalan
hidupnya tak membiarkannya merasakan itu.
Sekarang hanya Elsa.
Hanya Elsa yang ia miliki saat ini. Gadisnya yang kini begitu memercayai
ibunya. Jenny tentu saja berbahaya, maka dari itu Rexan tidak ingin
Elsa bertemu muka dengan Jenny lagi.
"Kamu tak akan percaya, kan?"
Gerakan tangan Elsa
untuk menyuap sendok ke mulutnya terhenti. Kemudian sendok itu kembali
ia turunkan. Kepalanya menggeleng beberapa kali menunjukkan
ketidakpercayaannya. Ia ingin percaya, apalagi Rexan nampak sangat sedih
saat menceritakannya. Tetapi...
"Tidak. Itu sama sekali tidak mungkin, Rexan. Bibi baik padaku."
Rexan tersenyum muram,
"Kamu terlalu polos untuk percaya. Aku tidak memintamu percaya padaku,
tapi itulah kenyataannya. Karenanya, sekali lagi kuminta, ah, tidak.
Kumohon padamu untuk tidak menemui ibuku lagi." diremasnya tangan kiri
Elsa yang baru ia raih dengan tangan kanannya, "aku menyayangi kalian,
sungguh, aku tidak ingin salah satu dari kalian membuatku harus memilih.
Berjanjilah padaku untuk tidak menemui ibuku lagi. Karena sangat sulit
bagiku untuk berada di antara kedua orang yang kusayangi yang salah
satunya membenci yang lain. Promise me, Els. Tolong aku supaya aku
tidak harus kehilangan salah satu dari kalian. Aku mencintai kalian sama
besarnya."
Mata Elsa memanas. Rexan
mencintai ibunya, Elsa percaya itu setelah mendengar nada putus asa
dari perkataan yang baru Rexan ucapkan. Jenny juga terlihat mencintai
Rexan. Keduanya membuat dirinya bingung.
"Dan..." Rexan menggantung ucapannya, ia nampak ragu namun berusaha keras untuk melanjutkan, ia ingin Elsa lebih berhati-hati.
"Dan apa?" pancing Elsa was-was. Ia sudah siap mendengar apapun yang akan Rexan katakan.
"Ibuku... sakit jiwa, Els."
Elsa menarik tangannya. Sakit jiwa?
"Ta-tapi..."
"Ibu memang tampak
seperti orang waras pada umumnya, karena nyatanya dia tidak gila. Tetapi
sebenarnya jiwanya..." Rexan mendesah, tak mampu melanjutkan
perkataannya yang berisi kenyataan. "karena itu, aku memintamu untuk
tidak berurusan dengan ibuku."
Elsa menghela napas
setelah berpikir gamang, "Aku tidak bisa berjanji. Tapi aku akan
berusaha." bisiknya memilih jalan tengah. Ia akan berusaha untuk tidak
berurusan dengan Jenny. Tetapi bila Jenny yang tiba-tiba menemuinya,
bagaimana? Ia juga tak mau membuat Jenny curiga dan melakukan hal yang
berbahaya.
"Tak apa, itu sudah cukup. Sekarang habiskan makananmu."
Elsa melirik piring di
hadapannya. Pancake-nya masih tersisa cukup banyak, tapi ia sudah tidak
berselera lagi. Ia memasang wajah memohonnya kepada Rexan, berharap
Rexan paham akan selera makannya yang sudah lenyap.
"Tidak. Jangan ada makanan sisa." ujar Rexan tegas.
Elsa menunduk seraya membuang napas pelan. Ia merasa deja vu.
Dulu Rexan marah besar dan menyakitinya juga karena makanan. Elsa ingat
betapa Rexan sangat menghargai makanan sesedikit apapun itu. Rexan akan
marah ketika ia tidak menghabiskan makanannya.
Saat itu Jon yang
menjadi korban, padahal semuanya salah Elsa. Elsa yang merasa kesal
karena Rexan selalu mengaturnya mencoba pergi dari rumah Rexan. Ia hanya
panik saat itu untuk bersmbunyi dari Rexan hingga tak berpikir dua kali
langsung memeluk Jon. Alhasil Jon harus menerima pukulan Rexan.
Memikirkan hal itu
membuat Elsa sadar betapa posesifnya Rexan padanya. Dari sana saja Elsa
sudah yakin tentang cinta yang Rexan miliki untuknya. Rexan hanya ingin
menjaganya tetap di sisi lelaki itu. Harusnya ia paham sejak dulu
tentang hal itu. Bukan justru ikut berpikir bahwa Rexan sama sekali
tidak memercayainya dan malahan membuatnya memendam kecewa seperti tempo
hari yang ia katakan kepada Kenia. Rasa bersalah itu memukulnya dengan
telak.
"Hei, tidak apa-apa. Jangan dihabiskan kalau sudah kenyang. Tapi jangan menangis begini."
Elsa mengerjap, dan saat
itu ia baru tersadar kalau matanya basah. Rexan sudah berdiri di
sebelahnya, mengusap puncak kepalanya dengan lembut.
"Aku tidak memaksa, Els. Tidak lagi."
Elsa melingkarkan
lengannya ke pinggang Rexan. Wajahnya membenam di perut padat lelaki
itu. Ia menghirup wangi parfum Rexan dari kemeja yang Rexan pakai lantas
mengulum senyumnya. Tiba-tiba merasa sangat beruntung bisa memiliki
Rexan yang mencintai dirinya.
Rexan membawa Elsa berdiri di hadapannya, "Kenapa?" tanyanya lembut sambil menyeka sisa air mata di pipi Elsa.
"Tidak apa-apa." jawab
Elsa ringan. Ia menarik tangan Rexan, menuntun lelaki itu supaya duduk
di sofa ruang tamu. Ia menyusul duduk di sebelah Rexan dan bergelung
nyaman di pelukan lelaki itu.
"Aku suka berada di pelukanmu."
"Aku juga senang
memelukmu." Rexan mendongakkan dagu Elsa, "dan sangat senang bisa
menciummu begini." ia menanamkan ciumannya di bibir ranum Elsa.
Elsa menarik kepalanya menyudahi ciuman dari Rexan, ia membelai pipi Rexan dengan senang.
"Ceritakan tentang kamu dan tunanganmu. Di mana kalian bertemu?"
Rexan meraih tangan Elsa, menggenggamnya setelah mendorong kepala Elsa bersandar di pundaknya.
"Kami berada di
perguruan tinggi yang sama, tapi berbeda fakultas. Aku tidak tahu persis
kapan aku mencintainya, yang jelas aku merasa nyaman berdekatan
dengannya sampai tidak berpikir lagi ketika aku memintanya untuk menjadi
tunangannku."
"Bagaimana caramu menyatakan perasaan padanya?"
Rexan terkekeh, "Aku
tidak pernah menyatakan perasaan pada wanita manapun, sayang.
Berterimakasihlah karena kamu yang pertama yang menerima ucapan cintaku.
Cella dan aku sebaya, kami saling membutuhkan dan kami memulai
hubungan. Aku tahu aku mencintainya dan dia mencintaiku. Itu sudah cukup
bagi kami."
"Tidak ada pernyataan cinta?"
"Tidak ada."
"Dan kamu tidur dengannya?"
"Yeah."
Elsa menegakkan
punggungnya dan menatap Rexan tak percaya, "Kamu tidak mengatakan cinta
padanya tapi kamu tidur dengannya? Kamu keterlaluan sekali!"
Rexan mengangkat sebelah alisnya, "Apa yang salah dengan itu? Dan kenapa kamu yang kesal?"
"Jelas saja aku kesal.
Aku perempuan. Dan aku pantas merasa kesal saat seorang lelaki hanya
meniduriku tanpa menyatakan cinta padaku."
Rexan tersenyum mengejek, ia mendorong Elsa terlentang dan mengurung gadis itu dengan kedua lengannya.
"Bukannya saat aku menidurimu aku juga belum menyatakan cintaku padamu? Jadi kamu merasa kesal padaku saat itu?"
Elsa terdiam memikirkan
jawaban dari pertanyaan Rexan. Lebih tepatnya mengingat-ingat apakah dia
kesal saat Rexan mengambil mahkotanya kala itu.
"Dan yang kuingat, kamu
tidak kesal sama sekali. Justru kamu menyukai sentuhanku. Kamu mendesah
dengan merdu saat aku mencumbui tubuhmu lalu memasukimu." Rexan
menyeringai melihat pipi Elsa bersemu.
Tanpa bisa menahan diri,
Rexan menunduk untuk mengecup pipi Elsa. Ia merengkuh pinggang gadis
itu dan membalikkan posisi mereka, memeluk Elsa di dadanya dengan
sayang.
"Saat menjalin hubungan
dengan Cella, aku belum pernah meniduri perempuan mana pun. Itu terjadi
saat Cella sudah meninggalkanku. Aku melampiaskan kesedihanku kepada
perempuan-perempuan yang memberikan tubuhnya dengan sukarela padaku."
"Berapa banyak korban dari kesedihanmu itu?"
"Ellysa, aku tidak
menghitung seberapa banyak perempuan yang kubawa ke tempat tidurku.
Bahkan nama-nama mereka saja sebuah kejaiban bila aku mengingatnya."
"Kejam sekali." Elsa mendengus sarkastik, "aku tidak mau menjadi salah seorang dari yang kamu tinggalkan." suaranya melirih.
Rexan mengubah posisinya
menjadi duduk hingga Elsa kini berada di pangkuannya. Ditatapnya Elsa
dengan tajam. Egonya tersentil mendengar perkataan Elsa.
"Bicara apa kamu, Els?
Apa yang selama ini aku lakukan padamu tidak berarti hingga kamu bisa
berpikir begitu?" tanyanya tanpa menyembunyikan kesakitan pada suaranya.
Elsa terhenyak. Ia
menatap Rexan penuh rasa bersalah dan juga serba salah. Ternyata
perkataannya tanpa sadar telah melukai Rexan. Akhirnya ia hanya memeluk
Rexan, menenangkan lelaki yang tubuhnya sudah kaku itu.
"Maafkan aku. Aku tidak berpikir saat mengatakannya. Itu murni kesalahanku. I'm sorry."
Rexan memejamkan mata, perlahan ia balas memeluk Elsa. Sedemikian erat menyatakan betapa Elsa teramat dicintainya.
"Masa laluku, berikut
reputasiku memang buruk. Aku akui hal itu. Tetapi jika sudah tentangmu,
aku lebih dari sekedar serius, Els. Seburuk apapun diriku, aku akan
berusaha memberi yang terbaik untukmu meski mungkin caraku sedikit
kasar. Namun inilah aku."
"Ya, aku mengerti, Rexan. Aku mengerti. Aku menyayangimu dengan segala caramu yang kamu bilang sedikit kasar. Tetaplah begitu."
Rexan mengecup pelipis
Elsa, lalu memeluknya lagi. Tidak ingin kedekatan itu menyisakan ruang.
Kalau bisa, ia ingin mendekap Elsa selamanya.
***
Next:
Beautiful Desire - 19