Rabu, 04 Oktober 2017

Pengumuman - Beautiful Desire on Playbook

PENGUMUMAN!


Beautiful Desire tersedia dalam versi ebook dan bisa dibeli di goole playstore.

Detail
Judul: Beautiful Desire

Penulis: NFirda

Genre: Adult Romance

Harga: Rp. 25.000

Jumlah Halaman: 360 halaman (ukuran kertas 13 x 19)

Sinopsis:
Rexan Abimanyu Reagan adalah seorang player. Wanita hanya sebuah kesenangan baginya. Tentu saja ia pernah jatuh cinta, kemudian bertunangan dengan gadis bernama Cella yang notabene adalah temannya semasa kuliah. Naasnya, nyawa Cella terenggut oleh sebuah kecelakaan di Paris. Cinta yang Rexan miliki, ikut terkubur bersama tunangannya yang telah meninggal.

Rexan Abimanyu Reagan tidak pernah menyangka, bahwa akan ada saat di mana dirinya akan kembali berurusan dengan perasaan rumit bernama cinta. Awalnya ia hanya tertarik secara fisik terhadap Ellysa Gianna Moriz. Sebuah ketertarikan yang terus meningkat tanpa bisa dikendalikan. 

Ellysa Gianna Moriz, atau yang kerap dipanggil Elsa adalah gadis muda berparas menawan. Manja dan cengeng mendarah daging di tubuhnya. Ia pendiam dan penyuka cokelat. Semua hal itu mampu membuat Rexan kehilangan akal sehatnya.Pribadi Rexan yang memang pantang mundur, membuat Elsa jatuh ke dalam pelukannya. Masalah mulai datang ketika dalang dari kematian Cella muncul di antara mereka. Adalah Jenny, ibu kandung Rexan sendiri yang telah tertutup hatinya oleh dendam kepada Reagan—ayah Rexan. Dibantu oleh Bobby Anderson, Jenny melancarkan segala cara untuk membalaskan dendamnya.

Perasaan bimbang, sedih dan marah bercokol di hati Rexan. Jenny adalah ibunya, tentu ia menyayangi perempuan itu meski dirinya amat dibenci. Kehadiran Jenny pada akhirnya membuat Rexan kembali merasa ketakutan untuk kehilangan. Untuk kedua kalinya, Rexan harus menyaksikan gadisnya bertarung dengan kematian karena ulah Jenny. Mampukah Rexan melindungi Ellysa, gadis tercintanya dari kebengisan ibunya sendiri?

Cara beli:
1. Buka playstore
2. Klik kategori ebooks (playbook)
3. Ketikkan NFirda di kolom pencarian
4. Klik novel atau novelet yang ingin kamu beli
5. Beli

P.S: Pembayaran bisa dilakukan dengan menggunakan pulsa Telkomsel, Indosat dan XL 


BEAUTIFUL DESIRE LENGKAP


Salam sayang,
Fiiy 

Beautiful Desire - 19

NOT FOR UNDRAGE


Rexan meninggalkan ruangannya begitu pesan dari ponsel Elsa yang dikirimkan oleh Kenia masuk ke ponselnya. Kenia memberitahu kalau gadisnya pingsan begitu saja di depan kelas saat akan pergi ke kantin. Elsa memang pucat tadi pagi, tetapi kondisi gadis itu terlihat sehat dan segar. Elsa bahkan meyakinkan Rexan kalau dirinya baik-baik saja dan bisa pergi sekolah.

Lain kali, Rexan tidak akan mendengarkan begitu saja kalau dilihatnya Elsa tengah tidak sehat dan gadis itu meyakinkan bahwa dirinya sehat. Ia tak mau kejadian seperti saat ini terjadi lagi. Itu hanya membuatnya kalang kabut sendiri.

Rexan menerobos kerumunan di depan kelas Elsa. Gadisnya benar-benar tengah tak sadarkan diri. Yang membuat Rexan geram adalah, teman-teman Elsa hanya menonton, tidak ada satu pun yang berniat membawa Elsa ke dalam kelas atau ke ruang kesehatan.

“Berikan dia padaku.”

Kenia yang berada di sebelah Elsa langsung menyingkir. Wajah gadis itu diliputi kecemasan. Kenia akan mengikuti Rexan yang langsung menggendong Elsa kalau Rexan tak mencegahnya. Rexan tidak mempedulikan pandangan para anak didiknya yang mungkin saja heran dengan caranya memperlakukan Elsa. Dia tidak peduli.

Rexan tidak membawa Elsa ke ruang kesehatan di sekolah itu. Pemeriksaan oleh dokter lebih ia percayai daripada petugas di ruang kesehatan. Lagipula ia harus memastikan sesuatu. Ia membopong Elsa ke mobilnya dan melaju ke rumah sakit. Elsa tak kunjung bangun, itu membuatnya semakin cemas. Tiba di rumah sakit, ia menggendong Elsa lagi sampai ke ruang praktek dokter Delia. Dokter Delia adalah temannya, dan menjadi dokter pribadinya sejak beberapa tahun lalu.

“Baringkan dia di sana.” Delia menunjuk brangkar yang merapat ke dinding ruangannya. Ia melakukan serangkaian pemeriksaan. Rexan menunggu dengan sedikit kalut yang iasembunyikan. Saat Delia kembali ke mejanya, Rexan bergegas mengikuti dokter cantik itu.

“Kapan dia akan bangun? Bagaimana hasil pemeriksaanmu? Apa dia baik-baik saja?” tanyanya beruntun.

Delia menyipitkan mata, “Siapa gadis itu?”

“Oh, ayolah, Delia. Apa itu penting? Dia anak didikku. Sekarang katakan padaku bagaimana keadaannya.” desak Rexan tak sabar.

“Maksudmu kau meniduri anak didikmu, begitu?” mata Delia memicing.

“Tidak penting aku meni—tunggu,” bola mata Rexan menajam, “apa dia hamil?” tanyanya mendadak merasa tegang. Delia tidak pernah mengurusi kehidupan seksualnya. Saat Delia mengurusinya, berarti sesuatu telah terjadi. Dan hipotesisnya mengatakan kalau Elsa tengah hamil.

“Tiga minggu.” Jawab Delia datar.

Rexan melemas di kursi yang didudukinya. Ia mengusap wajah dengan telapak tangannya. Sesaat kemudian senyumnya terbit, dugaannya tak salah. Lantas ia terkekeh, tampak begitu bahagia.

“Brengsek! Kau tertawa karena berhasil menghamili gadis belia, Rexan? Apa kau gila?! Kau telah merenggut masa depannya!” raung Delia merasa marah sendiri.

Delia tak bisa membayangkan bagaimana gadis itu akan melanjutkan hidup ke depannya, atau bagaimana reaksi keluarga gadis itu. Pasti orang tua gadis itu sangat kecewa. Hamil di usia sebelia itu bukanlah hal mudah. Rentan akan kecelakaan. Delia mengepalkan tangan, menatap Rexan dingin. Ia pernah mengalami apa yang gadis itu alami. Ayahnya tak mau mengakuinya sebagai anak karena kehamilannya. Dan karena usianya cukup muda saat itu, ia keguguran.

“Aku mencintainya, dan aku akan bertanggung jawab. Aku tahu kau cukup buruk dalam kasus ini, Delia. Tapi yang harus kau ingat, aku tidak akan membiarkan itu terjadi kepada gadisku.” Rexan menjawab tenang, sangat tahu tentang masa lalu Delia.

Delia menghela napas, mengenyahkan seluruh memori masa lalu kelamnya, “Ya, maafkan aku.”

“Tapi, bagaimana bisa dia hamil? Beberapa hari lalu dia melakukan tes dengan testpack, tapi hasilnya negatif.”

“Testpack tidak selalu akurat, Rexan. Ada beberapa kejadian yang membuat hasil tes dengan benda itu tidak benar. Tapi kupastikan gadis itu memang hamil.”

“Siapa yang hamil?”

Delia dan Rexan menoleh bersamaan. Rexan segera berdiri dan menghampiri Elsa. Ia membantu Elsa turun dari brangkar dan memeganginya karena gadis itu tidak bisa berdiri dengan benar.

“Masih pusing?”

Elsa menggeleng, ia menatap Rexan penuh desakan supaya lelaki itu menjawab pertanyaannya.

“Kita bicarakan di rumah. Kondisimu masih lemah jika harus bicara di sini.”

Elsa mengangguk setuju. Setelah berterimakasih pada Delia, Rexan membawa gadis itu ke rumahnya. Sekilas Elsa mendengar dokter Delia menyuruh Rexan untuk menjaganya supaya kejadian seperti hari ini tak terjadi lagi.

Elsa tertidur di mobil selama perjalanan pulang. Tiba di rumahnya, Rexan kembali menggendong gadis itu. Elsa terbangun ketika pintu rumah dibuka oleh Bi Nah. Rexan baru menurunkannya di sofa ruang tamu. Lelaki itu berjongkok di hadapannya dan meminta Bi Nah untuk mengambilkannya air.

“Minumlah.” Rexan memberikan segelas air yang baru saja Bi Nah angsurkan kepadanya. Elsa meminum air itu sampai tandas dan mengembalikan gelasnya kepada Bi Nah.

“Apa... aku hamil?” tanya Elsa pelan.

Rexan meraih tangan Elsa dan mengecupnya, “Maafkan aku. Tapi aku senang dan tidak menyesal sama sekali telah membuatmu hamil.” katanya dengan kearoganan yang tak ditutup-tutupi.

Mata Elsa memanas. Ia takut. Apa yang akan ia jelaskan kepada ayah dan ibunya? Bagaimana dengan sekolahnya—masa depannya? Bagaimana anggapan teman-temannya tentang dirinya?

Tatapan Rexan melembut. Mau tak mau ia merasa bersalah. Ia beranjak duduk di sebelah Elsa dan menarik gadis itu ke pelukannya. Gadis itu langsung menangis. “Tenanglah, aku akan menjagamu. Kamu tidak perlu memikirkan apapun.”

“Aku sudah mengingatkanmu untuk menggunakan pengaman, tapi kamu selalu mengabaikannya. Dan akibatnya... aku takut, Rexan.” Elsa mencengkram kain kemeja Rexan. Tubuhnya bergetar.
Rexan mengusap punggung Elsa pelan, “Ssst, tidak ada yang perlu kamu takuti. Kita akan melewatinya bersama-sama.”

Elsa mengurai pelukannya, ia mengusap perutnya, “Aku tidak mau hamil saat ini, tapi aku juga tidak bisa menolak bayiku.”

Rexan menyeka air mata Elsa dengan lembut. Tangannya menangkup punggung tangan Elsa, ikut mengusap perut gadis itu. Ia tersenyum tipis, “Berjanjilah untuk membantuku menjaganya.”

“Kamu pikir aku akan tega menyia-nyiakan bayiku sendiri?” Elsa memberengut.

“Tidak. Kamu tidak akan pernah tega karena kamu sangat mencintaiku.”

Elsa mendengus, “Percaya diri sekali.”

“Kalau aku tidak percaya diri, sudah sejak awal aku menyerah akan dirimu. Kamu tidak tahu betapa aku sangat berusaha untuk mendapatkanmu dulu. Asal kamu tahu, kamu sudah melukai harga diriku dengan menolak untuk kutiduri.” ujar Rexan panjang lebar.

“Memangnya perempuan mana yang mau-mau saja ditiduri oleh lelaki buaya seperti dirimu?”

Tawa Rexan berderai. Ia mengecup wajah Elsa dengan gemas. Elsa dan kejujurannya terkadang memang terasa pedas. “Aku mencintaimu.” ungkapnya tulus.

Senyum tipis Elsa tersungging di bibirnya yang sedikit pucat. Ia menyandarkan tubuhnya ke tubuh Rexan. Tiba-tiba merasa sangat ingin menghidu aroma parfum maskulin dari tubuh lelaki itu. “Aku juga mencintaimu.”

Sekarang Rexan baru sadar. Kelabilan Elsa beberapa hari belakangan yang membuat masalah mereka membesar mungkin saja karena faktor kehamilan itu. Sebenarnya dia cukup terkejut saat tiba-tiba mendapati Elsa di apartement-nya waktu itu. Kemarahan Elsa seperti memudar begitu saja, dan mendadak, masalah mereka selesai.

***

“Kenny, aku hamil.” bisik Elsa tiba-tiba kepada Kenia yang duduk di seberangnya. Mereka kini berada di tempat makan yang tempo hari mereka datangi. Tentu saja Elsa yang menarik Kenia untuk mampir di tempat itu.

Kenia yang tengah meminum minuman yang dipesannya sontak saja tersedak. Matanya membulat, menatap penuh keterkejutan kepada Elsa yang tampak berbinar-binar begitu sesendok es krim meluncur di tenggorokannya.

“El, kamu serius?” tanyanya seolah tak percaya.

Dan Elsa hanya mengngguk senang, “Ini dingin sekali. Kamu mau mencobanya?” dia menawarkan es krimnya kepada Kenia.

Kenia mengernyit kemudian menggeleng. Dia sudah tidak memakan es krim sejak umurnya sembilan tahun.

“Bagaimana pendapat Pak Rexan tentang ini? Dia akan bertanggung jawab kan?” tanyanya was-was. Dia masih belum begitu percaya kepada Rexan.

“Tentu saja!” angguk Elsa, “kami akan menjaga bayi ini bersama-sama.”

“Yah, harusnya aku tahu.” Kenia menghela napas, “bagaimana dengan ayah dan ibumu?”

“Meski mereka menyembunyikannya tapi aku tahu pasti kalau mereka kecewa.” tutur Elsa muram, “sekarang mungkin saja Rexan sedang menghadapi kemarahan Dad. Semalam kami memberitahu Dad dan Mom, dan Dad langsung meminta Rexan untuk menemuinya.”

Kenia tersenyum menenangkan, “Dia pasti bisa menanganinya, percaya saja.”

“Kuharap begitu,”

“Lalu bagaimana dengan sekolahmu?”

Wajah Elsa berubah keruh. Kenyataan bahwa dirinya hamil tentu saja mengharuskannya berhenti sekolah. Ia keberatan, itu sudah pasti. Tetapi, mau bagaimana pun ia tetap harus berhenti. Tak akan ada sekolah yang mau menerima seorang murid yang hamil, terlebih di sekolahnya.

Untuk itu, dia sudah memikirannya. Berhenti sekolah tidaklah terlalu berat. Namun begitu, kondisi kehamilannyalah yang memberatkan. Sekeluarnya dia dari sekolah, pasti akan ada banyak orang yang membicarakannya. Apalagi Velin dan Rindy masih memusuhi dirinya meski tak bertindak kasar padanya. Dia hanya berharap agar Rexan bisa mengatasi itu semua untuknya.

Kenia yang melihat Elsa muram meraih tangan gadis itu, “Tidak apa-apa, aku pasti membantumu.”

“Terimakasih, Kenny,” Elsa balik meremas tangan Kenia, “aku cukup takut dengan komentar buruk mereka tentangku. Salahku juga tidak bisa mengatasi ini semua. Mau bagaimana, aku hamil sekarang.”

“Ya, kamu mencuri start dengan hamil lebih dulu dariku padahal aku yang lebih dulu melakukan itu dengan Aidan.” Kenia pura-pura marah, tak ingin Elsa terlarut dalam penyesalannya.

Elsa tertawa kecil, “Mungkin Aidan-mu kurang berusaha. Kamu tahu, Rexan sangat menginginkan bayi ini. Mungkin saja dia memang sengaja membuatku hamil.”

“Laki-laki memang begitu, kalau sudah berkeinginan pasti diusahakan. Aidan juga sempat membicarakan tentang bayi padaku, tapi tentu saja aku menolaknya.”

“Dan dia tidak marah padamu?"

“Tidak. Dia bilang dia memang menginginkannya, tapi tidak sekarang. Saat ini dia masih sibuk mengembangkan bisnisnya, katanya tak ada waktu untuk memikirkan anak.”

“Rexan juga sibuk, tapi dia tidak begitu. Dia malah terlihat sangat senang karena aku hamil.”

“Itu karena dia sangat mencintaimu. Dia begitu menginginkn adanya anak di antara kalian supaya bisa mengikatmu.”

Elsa tersenyum. Pipinya bersemu karena senang. Ponselnya berderit, ada pesan yang masuk dari nomor asing. Dia membukanya.

Hai, Dear, ini aku.

Kening Elsa mengernyit dalam.

Kenia menggerakkan bibirnya dan bertanya, “Siapa?”

“Entahlah.” Elsa mengangkat pundaknya acuh. Pesan itu datang lagi.

Ini aku, ibu dari kekasihmu. Kuharap kau tidak melupakanku, Sayang. Bagaimana kabarmu? Bisakah kita bertemu?

Elsa memberitahu Kenia bahwa yang mengiriminya pesan adalah ibu Rexan, dia menimang ponselnya dengan gamang. Haruskah dia balas? Kalau tidak, tidakkah terlalu kentara kalau dia menghindari Jenny? Tidakkah itu kemudian menimbulkan bahaya kalau Jenny tahu dirinya tengah mengindar dari segala jenis urusan dengan perempuan itu?

Ia memutuskan untuk membalasnya.

Aku baik, Bibi. Terimakasih.

Baguslah kalau begitu. Aku ingin sekali menemuimu, tetapi aku takut putraku itu marah. Tidak hanya padaku, tetapi padamu juga.

Elsa juga tidak bisa asal menemui Jenny. Rexan benar-benar melarangnya. Dia tak ingin membuat Rexan marah. Kalau memang benar kejiwaan Jenny terganggu, maka dia harus waspada. Ia menulis di keyboard ponselnya.

Aku akan mencari waktu yang tepat supaya kita bertemu, Bibi. Bibi tenang saja.
Terimakasih, Sayang. Aku ingin bertanya banyak tentang Rexan. Dia sama sekali tak mau berbicara padaku. Aku sangat sedih karena itu. Tetapi jika ada kau, aku setidaknya bisa mengetahui kabarnya darimu.

Ya, Bibi. Aku akan menghubungimu lagi nanti. Sekarang aku sedang bersama temanku.

Oh! I’m sorry, Dear, aku sudah mengganggu ya? Ya sudah, see you later,

Elsa menyimpan kembali ponselnya di atas meja. Dia berharap Jenny tak menghubunginya lagi, dan tidak menagih janji untuk bertemu. Elsa tak mau situasinya menjadi runyam.

“Kamu tidak bilang padaku kalau kamu sudah 'sedekat' itu dengan ibu Rexan.” tegur Kenia.

Elsa bertopang dagu, “Kasihan sekali Bibi Jenny. Rexan tidak mau berurusan dengannya sama sekali. Bahkan aku saja dilarangnya untuk bertemu dengan Bibi Jenny.”

“Dan kenapa begitu?”

“Jangan katakan ini pada siapa pun, Kenny,” Elsa berucap lemah, “Rexan pernah bertunangan, tetapi tunangannya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Dan dia meberitahuku kalau dalang dari kecelakaan  itu adalah Bibi Jenny. Rexan bilang, kejiwaan Bibi Jenny bermasalah.”

Kenia terlihat terkejut, itu wajar menurut Elsa. Karena sampai sekarang pun ia tak percaya bahwa Jenny tega kepada putranya sendiri.

“Kalau itu itu masalahnya, masuk akal jika dia melakukan itu semua. Kamu harus berhati-hati, Els.”

“Ya, Rexan juga berkata begitu. Dia melarang keras padaku untuk berhubungan dengan ibunya.” Elsa memutar-mutar ponselnya.

“Untuk saat ini, kupikir kamu harus menuruti Rexan. Aku khawatir masalah Rexan dengan ibunya berimbas padamu dan juga bayimu. Rexan pasti ingin yang terbaik untuk kalian.”

“Ya, kamu benar.” Elsa mengangguk, senang karena Kenia selalu berhasil membuat perasaannya lega. Tanpa sengaja dia melihat ke arah pintu masuk Cafe, ada Aidan yang sedang menunggu di luar mobil.

“Kamu pasti mengaktifkan mode silent pada ponselmu.” duga Elsa yakin.

“Kamu tahu?”

Elsa mengedik ke arah luar. Kenia mengikuti pandangan sahabatnya dan berdecak.

“Sial! Dia pasti marah. Dia tak suka bila disuruh menunggu.” Kenia membereskan tasnya.

“Kalau begitu cepatlah sebelum dia semakin marah.”

“Ya, hubungi aku kalau ada apa-apa.”

“Tentu saja, terimakasih Kenny.”


Next: Beautiful Desire -20
PENGUMUMAN!!!

Beautiful Desire - 18

NOT FOR UNDERAGE


Elsa mendesah malas. Beberapa jam sudah berlalu dan Rexan belum juga kembali ke apartement-nya. Elsa mulai bosan menunggu. Tapi, ia merindukan Rexan. Entah kenapa ia tiba-tiba sangat merindukan Rexan. Kemarahannya pun seolah sirna, berganti rindu yang teramat besar.
Menjawab apa yang ditunggunya, pintu apartement terbuka. Elsa berdiri, melihat Rexan yang sedikit terluka di pelipisnya dan langkah lelaki itu tidak sempurna. Ia menghampiri Rexan dengan cepat. Suara kesiap kecil meluncur dari bibirnya saat Rexan tiba-tiba memeluknya dan menciumnya.

Elsa memeluk leher Rexan. Tubuhnya sedikit terangkat karena pelukan Rexan di sekeliling tubuhnya yang sangat erat. Ia membalas ciuman itu, meluapkan kerinduan yang ia tahan beberapa saat lalu. Mulutnya terbuka, lidah Rexan masuk ke dalamnya dan membelit lidahnya. Elsa melenguh merasakan darahnya berdesir hebat.

Rexan menarik kepalanya dan membenturkan dahinya ke dahi Elsa, "Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu, Els."

Tenggorokan Elsa tercekat. Ia mengangguk-angguk lalu membenamkan wajah di dada Rexan. Ia tahu dirinya cengeng, tapi ia tak tahu kalau dirinya secengeng ini. Air matanya keluar begitu saja.

"I love you more." balasnya lirih.

Rexan mengusap rambut Elsa, ia mengecup puncak kepala gadisnya dengan sayang.

"Dengarkan aku, apapun yang terjadi, aku akan menjagamu. Aku pasti akan menjagamu Els."

Elsa mengangguk lagi. Kepalanya terangkat, air matanya Rexan seka dengan tangan besarnya. Elsa menangkup kedua sisi wajah Rexan, bibirnya mengulum senyum tipisnya. Darah di pelipis Rexan yang mulai mengering tak luput dari perhatiannya.

"Luka apa ini?"

"Hanya luka kecil, akan segera sembuh saat kamu menciumku."

Luka di pelipisnya itu Rexan dapatkan karena kecelakaan kecil tadi. Ia beruntung karena hanya pelipisnya yang membentur mobil dan terluka sementara bagian tubuhnya yang lain tidak apa-apa. Berbeda halnya dengan supir truk tadi. Truk itu menabrak pohon dan supirnya bisa dibilang terluka parah. Rexan langsung menghubungi orang-orangnya untuk membereskan kecelakaan itu. Si supir truk dia biayai di rumah sakit berikut segala kerugian ia tanggung. Bagaimana pun semua itu salahnya.

Tawa kecil Elsa mengalun, sekarang dia senang sekali. Usia remajanya tidak bisa berbohong dilihat dari kelabilannya.

"Sebaiknya kamu mandi, kamu terlihat berantakan." Elsa melepaskan diri dari pelukan Rexan. Sepersekian detik kemudian ia kembali memekik kecil karena tubuhnya melayang karena Rexan menggendongnya. Mereka nyaris menabrak dinding karena Rexan melangkah goyah.

"Aku merasa pusing, sayang. Kamu harus memandikanku."

Elsa memutar bola matanya. Tahu pasti kegiatan mandi itu tidak akan hanya sekedar mandi, tetapi, ia tidak keberatan. Sudah ia katakan kalau dirinya merindukan Rexan, bukan? Dengan senang hati ia mengambil sabun dan menyabuni punggung Rexan saat Rexan menyodorkan sabun cair itu ke tangannya.

Punggung Rexan sangat lebar. Pundaknya kokoh, bisepnya terpahat sempurna. Elsa sangat menyukainya. Rambut lelaki itu sudah sedikit memanjang, Elsa mengambil shampo, menuang ke tangan dan mengusapkannya ke kepala Rexan, sesekali ia memijit kepala lelaki itu, membuat Rexan merasa rileks.

Merasa sudah cukup, Rexan meraih tangan Elsa lantas membawa gadis itu duduk di pahanya berhadapan dengannya. Elsa masih lengkap dengan seragamnya, gadis itu pasti langsung ke apartement-nya tanpa berganti baju lebih dulu, pikir Rexan tersenyum.

"Maafkan aku. Kamu tahu, aku terlalu menyayangimu. Sampai ketika melihat kamu begitu lega karena tidak hamil anakku, membuatku sedikit merasa... yah... kecewa. Harusnya aku tidak seperti itu. Kamu masih harus sekolah dan-"

Elsa menghentikan perkataan Rexan dengan mengalungkan lengannya ke leher lelaki itu. Secara otomatis tubuhnya mendekat ke dada lelaki itu. Menurutnya, tidak hanya Rexan yang bersalah, dirinya juga.

"Maafkan aku juga. Benar katamu, aku yang terlalu membesarkan masalah. Tapi..." Elsa menggantung ucapannya, ia mengerling, "mungkin kamu kurang jantan hingga tidak membuatku langsung hamil."

Sudut bibir kanan Rexan terangkat, ia mengecup telinga Elsa lantas berbisik, "Kamu meragukan kejantananku, sayang? Mari buktikan seberapa tidak jantannya aku."

Elsa mendesah kecil. Kedua tangan Rexan membukakan seragamnya, menyentak bra-nya dan membuangnya sembarangan. Mata lelaki itu sudah berkabut. Elsa bahkan merasakan bukti gairah Rexan yang menonjol dan didudukinya.

Rexan menyetuh pipinya dengan lembut, lantas mengecup keningnya dengan sayang. "Aku mencintaimu."

***

Elsa bertopang dagu di meja makan sambil terus memperhatikan Rexan yang tengah membuatkan pancake yang dimintanya. Aroma matang pancake itu meruap, menggoda indra penciumannya. Elsa semakin tidak sabar begitu Rexan menuang madu ke atas pancake yang telah matang tersebut.

"Kuharap kamu menyukainya." Rexan meletakkan pancake buatannya di hadapan Elsa.

Gadis itu langsung mengambil sendok, lantas menyuapkan pancake itu ke mulutnya. Bibirnya mengulum senyum senang. Seolah hanya dengan makanan sederhana itu, Elsa sudah merasa sangat bahagia.

Mau tak mau Rexan tersenyum. Ia duduk di sebelah Elsa, menyangga kepala dengan tangan kirinya. Tangan kanannya terangkat guna menyingkirkan rambut nakal yang keluar dari ikatan rambut Elsa yang asal-asalan.

"Ibuku bukan orang baik, Els. Maka dari itu aku melarangmu bahkan hanya untuk sekedar bertemu dengannya."

"Kenapa?" Elsa mengulum sendoknya dengan cara yang membuat Rexan gemas, "Bibi tidak terlihat seperti orang jahat. Dia menjamuku dengan baik di rumahnya. Lagipula dia ibumu. Tidak seharusnya kamu memusuhinya, 'kan?"

Rexan bernapas muram. Cepat atau lambat dia harus menceritakan segalanya kepada Elsa. Gadis itu bisa salah paham jika dia terus menyembunyikan kebenaran. Selama ini dia menyembunyikannya, karena ia tahu, jika ia membeberkan semuanya, Elsa tidak akan semudah itu percaya padanya. Elsa terlalu naif, gadis belia itu akan memercayai apa yang ada di depan matanya. Bukan kisah semata yang bertentangan dengan apa yang saat ini terjadi. Tetapi setidaknya, Elsa tahu segalanya kalau dia menceritakannya.

"Aku tidak memusuhinya, bahkan aku mencintainya. Tetapi situasi tak berpihak padaku. Bagaimana kalau kukatakan bahwa kematian Cella, tunanganku, adalah karena ibuku? Ibuku adalah dalang dari kematiannya."

Elsa membuka bibirnya lantas bertanya, "Kenapa? Apa yang membuat ibumu begitu jahat seperti yang kau katakan?"

"Hubungan ayah dan ibu tidak mendapat restu keluarga ayah. Ayah mencintai ibu. Dan demi keselamatan ibu, ayah harus meninggalkannya. Ayah membawaku sebab ayah khawatir dengan adanya diriku, hidup ibu akan semakin susah. Jadi begitulah, ibu berpikir bahwa ayah telah mencampakkannya. Padahal, hidup ayah tak lebih baik setelah meninggalkan ibu." Rexan mengambil napas, "aku menyayangi ibuku, Els." lanjutnya pelan.

Ia mencintai tunangannya, juga menyayangi ibunya. Cella pernah menjadi bagian terpenting di hidupnya dan berharga baginya. Dan jika ada satu perempuan lagi yang sangat penting, maka itu adalah ibunya. Adalah Jenny yang bahkan tidak pernah menganggapnya sebagai anak. Dan ia telah kehilangan dua perempuan berharga itu.

Tidak ada yang bisa Rexan lakukan ketika tunangannya tewas dan tahu dengan sangat bahwa ibunya membenci dirinya. Hatinya mungkin gelap, tetapi untuk sang ibu. Selalu ada secercah cahaya harapan kalau Jenny akan berubah.

Terkadang Rexan bertanya-tanya. Seperti apa rasanya memiliki seorang ibu? Seperti apa rasanya disayangi oleh ibu? Seberapa hangatkah rasanya dipeluk oleh ibu? Pertanyaan sederhana semacam itu sangat ingin ia rasakan. Tetapi jalan hidupnya tak membiarkannya merasakan itu.

Sekarang hanya Elsa. Hanya Elsa yang ia miliki saat ini. Gadisnya yang kini begitu memercayai ibunya. Jenny tentu saja berbahaya, maka dari itu Rexan tidak ingin Elsa bertemu muka dengan Jenny lagi.

"Kamu tak akan percaya, kan?"

Gerakan tangan Elsa untuk menyuap sendok ke mulutnya terhenti. Kemudian sendok itu kembali ia turunkan. Kepalanya menggeleng beberapa kali menunjukkan ketidakpercayaannya. Ia ingin percaya, apalagi Rexan nampak sangat sedih saat menceritakannya. Tetapi...

"Tidak. Itu sama sekali tidak mungkin, Rexan. Bibi baik padaku."

Rexan tersenyum muram, "Kamu terlalu polos untuk percaya. Aku tidak memintamu percaya padaku, tapi itulah kenyataannya. Karenanya, sekali lagi kuminta, ah, tidak. Kumohon padamu untuk tidak menemui ibuku lagi." diremasnya tangan kiri Elsa yang baru ia raih dengan tangan kanannya, "aku menyayangi kalian, sungguh, aku tidak ingin salah satu dari kalian membuatku harus memilih. 

Berjanjilah padaku untuk tidak menemui ibuku lagi. Karena sangat sulit bagiku untuk berada di antara kedua orang yang kusayangi yang salah satunya membenci yang lain. Promise me, Els. Tolong aku supaya aku tidak harus kehilangan salah satu dari kalian. Aku mencintai kalian sama besarnya."

Mata Elsa memanas. Rexan mencintai ibunya, Elsa percaya itu setelah mendengar nada putus asa dari perkataan yang baru Rexan ucapkan. Jenny juga terlihat mencintai Rexan. Keduanya membuat dirinya bingung.

"Dan..." Rexan menggantung ucapannya, ia nampak ragu namun berusaha keras untuk melanjutkan, ia ingin Elsa lebih berhati-hati.

"Dan apa?" pancing Elsa was-was. Ia sudah siap mendengar apapun yang akan Rexan katakan.

"Ibuku... sakit jiwa, Els."

Elsa menarik tangannya. Sakit jiwa?

"Ta-tapi..."

"Ibu memang tampak seperti orang waras pada umumnya, karena nyatanya dia tidak gila. Tetapi sebenarnya jiwanya..." Rexan mendesah, tak mampu melanjutkan perkataannya yang berisi kenyataan. "karena itu, aku memintamu untuk tidak berurusan dengan ibuku."

Elsa menghela napas setelah berpikir gamang, "Aku tidak bisa berjanji. Tapi aku akan berusaha." bisiknya memilih jalan tengah. Ia akan berusaha untuk tidak berurusan dengan Jenny. Tetapi bila Jenny yang tiba-tiba menemuinya, bagaimana? Ia juga tak mau membuat Jenny curiga dan melakukan hal yang berbahaya.

"Tak apa, itu sudah cukup. Sekarang habiskan makananmu."

Elsa melirik piring di hadapannya. Pancake-nya masih tersisa cukup banyak, tapi ia sudah tidak berselera lagi. Ia memasang wajah memohonnya kepada Rexan, berharap Rexan paham akan selera makannya yang sudah lenyap.

"Tidak. Jangan ada makanan sisa." ujar Rexan tegas.

Elsa menunduk seraya membuang napas pelan. Ia merasa deja vu. Dulu Rexan marah besar dan menyakitinya juga karena makanan. Elsa ingat betapa Rexan sangat menghargai makanan sesedikit apapun itu. Rexan akan marah ketika ia tidak menghabiskan makanannya.

Saat itu Jon yang menjadi korban, padahal semuanya salah Elsa. Elsa yang merasa kesal karena Rexan selalu mengaturnya mencoba pergi dari rumah Rexan. Ia hanya panik saat itu untuk bersmbunyi dari Rexan hingga tak berpikir dua kali langsung memeluk Jon. Alhasil Jon harus menerima pukulan Rexan.

Memikirkan hal itu membuat Elsa sadar betapa posesifnya Rexan padanya. Dari sana saja Elsa sudah yakin tentang cinta yang Rexan miliki untuknya. Rexan hanya ingin menjaganya tetap di sisi lelaki itu. Harusnya ia paham sejak dulu tentang hal itu. Bukan justru ikut berpikir bahwa Rexan sama sekali tidak memercayainya dan malahan membuatnya memendam kecewa seperti tempo hari yang ia katakan kepada Kenia. Rasa bersalah itu memukulnya dengan telak.

"Hei, tidak apa-apa. Jangan dihabiskan kalau sudah kenyang. Tapi jangan menangis begini."
Elsa mengerjap, dan saat itu ia baru tersadar kalau matanya basah. Rexan sudah berdiri di sebelahnya, mengusap puncak kepalanya dengan lembut.

"Aku tidak memaksa, Els. Tidak lagi."

Elsa melingkarkan lengannya ke pinggang Rexan. Wajahnya membenam di perut padat lelaki itu. Ia menghirup wangi parfum Rexan dari kemeja yang Rexan pakai lantas mengulum senyumnya. Tiba-tiba merasa sangat beruntung bisa memiliki Rexan yang mencintai dirinya.

Rexan membawa Elsa berdiri di hadapannya, "Kenapa?" tanyanya lembut sambil menyeka sisa air mata di pipi Elsa.

"Tidak apa-apa." jawab Elsa ringan. Ia menarik tangan Rexan, menuntun lelaki itu supaya duduk di sofa ruang tamu. Ia menyusul duduk di sebelah Rexan dan bergelung nyaman di pelukan lelaki itu.

"Aku suka berada di pelukanmu."

"Aku juga senang memelukmu." Rexan mendongakkan dagu Elsa, "dan sangat senang bisa menciummu begini." ia menanamkan ciumannya di bibir ranum Elsa.

Elsa menarik kepalanya menyudahi ciuman dari Rexan, ia membelai pipi Rexan dengan senang.

"Ceritakan tentang kamu dan tunanganmu. Di mana kalian bertemu?"

Rexan meraih tangan Elsa, menggenggamnya setelah mendorong kepala Elsa bersandar di pundaknya.

"Kami berada di perguruan tinggi yang sama, tapi berbeda fakultas. Aku tidak tahu persis kapan aku mencintainya, yang jelas aku merasa nyaman berdekatan dengannya sampai tidak berpikir lagi ketika aku memintanya untuk menjadi tunangannku."

"Bagaimana caramu menyatakan perasaan padanya?"

Rexan terkekeh, "Aku tidak pernah menyatakan perasaan pada wanita manapun, sayang. Berterimakasihlah karena kamu yang pertama yang menerima ucapan cintaku. Cella dan aku sebaya, kami saling membutuhkan dan kami memulai hubungan. Aku tahu aku mencintainya dan dia mencintaiku. Itu sudah cukup bagi kami."

"Tidak ada pernyataan cinta?"

"Tidak ada."

"Dan kamu tidur dengannya?"

"Yeah."

Elsa menegakkan punggungnya dan menatap Rexan tak percaya, "Kamu tidak mengatakan cinta padanya tapi kamu tidur dengannya? Kamu keterlaluan sekali!"

Rexan mengangkat sebelah alisnya, "Apa yang salah dengan itu? Dan kenapa kamu yang kesal?"

"Jelas saja aku kesal. Aku perempuan. Dan aku pantas merasa kesal saat seorang lelaki hanya meniduriku tanpa menyatakan cinta padaku."
Rexan tersenyum mengejek, ia mendorong Elsa terlentang dan mengurung gadis itu dengan kedua lengannya.

"Bukannya saat aku menidurimu aku juga belum menyatakan cintaku padamu? Jadi kamu merasa kesal padaku saat itu?"

Elsa terdiam memikirkan jawaban dari pertanyaan Rexan. Lebih tepatnya mengingat-ingat apakah dia kesal saat Rexan mengambil mahkotanya kala itu.

"Dan yang kuingat, kamu tidak kesal sama sekali. Justru kamu menyukai sentuhanku. Kamu mendesah dengan merdu saat aku mencumbui tubuhmu lalu memasukimu." Rexan menyeringai melihat pipi Elsa bersemu.

Tanpa bisa menahan diri, Rexan menunduk untuk mengecup pipi Elsa. Ia merengkuh pinggang gadis itu dan membalikkan posisi mereka, memeluk Elsa di dadanya dengan sayang.

"Saat menjalin hubungan dengan Cella, aku belum pernah meniduri perempuan mana pun. Itu terjadi saat Cella sudah meninggalkanku. Aku melampiaskan kesedihanku kepada perempuan-perempuan yang memberikan tubuhnya dengan sukarela padaku."

"Berapa banyak korban dari kesedihanmu itu?"

"Ellysa, aku tidak menghitung seberapa banyak perempuan yang kubawa ke tempat tidurku. Bahkan nama-nama mereka saja sebuah kejaiban bila aku mengingatnya."

"Kejam sekali." Elsa mendengus sarkastik, "aku tidak mau menjadi salah seorang dari yang kamu tinggalkan." suaranya melirih.

Rexan mengubah posisinya menjadi duduk hingga Elsa kini berada di pangkuannya. Ditatapnya Elsa dengan tajam. Egonya tersentil mendengar perkataan Elsa.

"Bicara apa kamu, Els? Apa yang selama ini aku lakukan padamu tidak berarti hingga kamu bisa berpikir begitu?" tanyanya tanpa menyembunyikan kesakitan pada suaranya.

Elsa terhenyak. Ia menatap Rexan penuh rasa bersalah dan juga serba salah. Ternyata perkataannya tanpa sadar telah melukai Rexan. Akhirnya ia hanya memeluk Rexan, menenangkan lelaki yang tubuhnya sudah kaku itu.

"Maafkan aku. Aku tidak berpikir saat mengatakannya. Itu murni kesalahanku. I'm sorry."
Rexan memejamkan mata, perlahan ia balas memeluk Elsa. Sedemikian erat menyatakan betapa Elsa teramat dicintainya.

"Masa laluku, berikut reputasiku memang buruk. Aku akui hal itu. Tetapi jika sudah tentangmu, aku lebih dari sekedar serius, Els. Seburuk apapun diriku, aku akan berusaha memberi yang terbaik untukmu meski mungkin caraku sedikit kasar. Namun inilah aku."

"Ya, aku mengerti, Rexan. Aku mengerti. Aku menyayangimu dengan segala caramu yang kamu bilang sedikit kasar. Tetaplah begitu."

Rexan mengecup pelipis Elsa, lalu memeluknya lagi. Tidak ingin kedekatan itu menyisakan ruang. Kalau bisa, ia ingin mendekap Elsa selamanya.

***

Next: Beautiful Desire - 19

Beautiful Desire - 17

NOT FOR UNDERAGE
WARNING: 21+


"Els." panggilnya kemudian, menegakkan badan dan berkedip demi memperjelas pandangannya. Dan Elsa masih di sana. Berdiri di belakang sofa yang ia duduki dan tersenyum padanya. Dia mengulurkan tangan kepada gadisnya, menunggu untuk Elsa memberikan tangannya.

Fero memandang Ghina, memberi isyarat kepada Ghina untuk melanjutkan rencana mereka. Dan Ghina mengangguk, kemudian mengeluarkan kamera dari tasnya dan menyiapkannya di atas meja sebelum kemudian keluar dari ruangan itu.

Perempuan itu menyambut tangan Rexan, lantas menurut begitu Rexan menariknya untuk dipangku. Obat yang ia campurkan ke minuman Rexan ternyata sangat ampuh. Lelaki itu tak sadar bahwa yang dipangku adalah dirinya.

"Kamu masih marah? Aku sungguh tidak bermaksud menyakitimu." Rexan mengusap pipi Fero yang diyakininya sebagai Elsa.

Fero jelas tidak mengerti dengan pertanyaan Rexan. Dia berasumsi kalau Rexan tengah ada masalah dengan kekasihnya. Jadi ia memainkan perannya sebaik mungkin. Karena itu adalah perintah yang Jenny katakan padanya.

"Tidak, aku sudah tidak marah padamu. Maaf kalau aku sempat marah."

Rexan tersenyum, "Tidak apa-apa, sayang."

Fero membiarkan Rexan memegang tengkuknya dan mengarahkan kepalanya mendekat. Matanya ia pejamkan, dan sapuan bibir Rexan terasa di bibirnya. Lelaki itu menciumnya, semaki lama semakin bergairah. Sudah lama ia mendengar tentag Rexan, namun tak menyangka bahwa desas-desus tentang Rexan sangat ahli dalam hubungan intim benar adanya. Semuanya didukung oleh paras rupawan tubuh Rexan. Fero tak menyesal menjalankan rencana yang Jenny susun. Dia mendapatkan uang dan mendapatkan kesenangan dari bujangan paling diinginkan perempuan di luar sana.

Rexan memindahkan bibirnya ke leher Fero. Ia mengecup ringan, memberi sedikit jilatan dan juga menggigitnya. Tangannya dengan cepat menelanjangi pakaian Fero hingga perempuan itu setengah telanjang di pangkuannya. Diremasnya payudara Fero bergantian.

Fero menggeliat. Desahan nikmat meluncur dari bibirnya. Ia meraih ikat pinggang Rexan untuk melonggarkannya. Lantas menarik turun resleting celana panjang milik lelaki itu dan mengeluarkan apa yang berasa di baliknya. Fero mendesah melihat milik Rexan di genggamannya. Ia turun dari pangkuan Rexan dan berlutut di depan lelaki itu dan langsung mengulum milik Rexan.

Mata Rexan terpejam. Gadisnya benar-benar bisa membuatnya gila. Tapi, rasanya Elsa tidak seberpenglaman itu. Elsa, gadisnya itu sangat polos. Perlu Rexan bimbing untuk melakukan hal itu. Kesadaran menyentak kepala Rexan. Matanya seketika terbuka. Dia menunduk dan membeliak marah. Itu bukan Elsa. Didorongnya Fero dengan kasar, dan ia berdiri meski masih pusingnya masih tersisa. Dia merapikan celananya, menatap marah kepada Fero yang terkejut.

"Sialan! Apa tujuanmu, hah?!" tanyanya tajam. Ia tak segan menjambak rambut panjang Fero. Perempuan itu bungkam.

"Aku bersumpah, jika semua ini berakibat fatal, aku akan mengejarmu bahkan hingga ke neraka sekali pun, Jalang!" hardiknya dengan tatapan mengerikan.

Fero meringis, saat itulah Rexan mencengkram rahangnya, memandangnya jijik lalu menghempaskan pegangannya. Membuat kepalanya tertoleh kasar ke samping dan lehernya terasa sakit.

"Apapun tujuanmu, kusarankan padamu untuk membatalkannya. Atau kau akan benar-benar menyesal." ancam Rexan sekali lagi, sebelum kemudian berdiri. Ia membalikkan badan dan keluar dari ruangan itu. Ia pergi dari sana tanpa menyadari adanya kamera yang merekam perbuatannya dengan Fero. Fero menyeringai, yakin Jenny akan memuji keberhasilannya.

Sialan! Dalam keadaan pusing seperti ini aku tidak bisa berpikir jernih! Umpat batin Rexan, ia terhuyung berjalan menuju mobilnya. Apapun atau siapapun yang merencanakan sesuatu yang mengganggunya itu harus segera Rexan ketahui.

"Halo, Gerald. Selidiki perempuan yang bernama Feronica dan juga Ghina yang baru saja kutemui." perintah Rexan setelah sebelumnya mengambil ponsel di sakunya.

Dia nyaris menabrak seseorang yang baru keluar dari lift. Sumpah-serapah akan meluncur dari bibirnya saat kemudian dia mendapati kalau itu adalah Emilia. Sekretarisnya yang nampak agak sedikit berantakan.

"Ma-maaf Pak, ban mobil saya tiba-tiba kempes dan taksi--"

"Persetan!" sela Rexan tak sabar. Namun dia masih sadar untuk tidak sepenuhnya menyalahkan Emilia yang datang terlambat.

Emilia sudah mengirim pesan sebelumnya bahwa ada masalah yang terjadi pada ban mobilnya. Dan butuh waktu beberapa lama untuk mendapatkan taksi. Dia juga telah mengirim file yang dibutuhkan oleh Rexan sebelum meeting itu berjalan.

Akibat keteledoran Rexan-lah semuanya terjadi. Dia kalut memikirkan Elsa dan pada akhirnya membuat dirinya terjebak oleh kedua perempuan itu. Dia yang tidak sabar ingin segera menyelesaikan meeting-nya akhirnya memulainya tanpa menunggu Emilia.

"Pak--"

"Minggir." Rexan memijit pelipisnya, dia langsung masuk ke dalam lift.

Apapun itu, Emilia yakin bahwa yang telah terjadi bukanlah sesuatu yang bagus.
Rexan menggeram, dan menelungkupkan kepala pada kemudi mobilnya. Tubuhnya masih menyisakan panas, dan kepalanya semakin pening saja.

Oh, astaga. Elsa tidak boleh tahu tentang peristiwa yang baru saja terjadi, atau gadisnya itu akan bertambah kecewa padanya. Rexan menghidupkan mobilnya, memundurkannya lantas memutar stir dan melajukannya. Dia harus bertemu dengan Elsa.
Tetapi, menyetir dalam keadaan pusing tidak terdengar seperti gagasan yang bagus. Hal itu terjadi kepada Rexan. Mobilnya tidak melaju lurus, terkadang berkelok yang membuat beberapa orang menyumpahinya. Ponselnya berbunyi, benda itu terletak di dashboard mobilnya. Rexan berusaha menjangkau, namun lengannya tak sampai. Akhirnya ia sedikit mengangkat tubuhnya, lengah terhadap kendali kemudi mobilnya. Ketika ponsel itu berhasil diraihnya, suara klakson memekakkan telinga terdengar dari hadapannya. Mata Rexan membeliak, sebuah truk melaju kencang berlawanan arah dengannya. Ia membanting kemudi, ban mobilnya berdecit dan terdengar bunyi benturan keras sesaat kemudian.

***

Jenny menghisap rokok yang terselip di antara jari tengah dan telunjuknya. Dia menghembuskan asap hingga asap rokok itu mengepul di depan wajahnya sebelum kemudian terurai di udara. Di tempatnya duduk kini, ia menyeringai mendengar laporan dari orang suruhannya.

Di tangan Jenny terputar sebuah video putra tersayangnya bersama Feronica. Seringai bertahan di bibirnya. Ia mematikan rokok, memfokuskan mata pada video itu. Lntas keningnya berkerut saat video itu berganti dengan kemarahan Rexan.

"Dia sadar?" tanyanya tak suka.

"Mau bagaimana lagi, Jenny. Lelaki itu memang segera tersadar. Tapi kau bisa memotong bagian itu. Bagian sebelumnya kupikir sudah cukup kan?" tutur Fero yang diangguki oleh Ghina.

"Kau benar." Jenny menjeda video itu, ia berdiri, mengangguk-angguk, "kalian benar, Fero, Ghina. Aku cukup puas dengan pekerjaan kalian."

Yang tidak Fero dan Ghina ketahui, Jenny adalah perempuan licik. Ia menyelipkan tangan ke belakang tubuhnya, mengambil pistol dan langsung mengarahkannya ke kepala Fero. Membuat Fero membelalak dan Ghina terkesiap.

"Aku memang cukup puas, tapi pekerjaan kalian tidak sempurna, mengurangi rasa puasku dan membuatku terganggu. Jadi, kalian harus mati."

Sebelum Fero sempat bereaksi lagi, Jenny sudah menarik pelatuk pistolnya. Timah panas itu bersarag di kepala Fero tak lama kemudian. Tubuh Fero lunglai seketika.

"Berhenti di sana Ghina." Jenny mendesis, langkah kaki Ghina yang sudah mencapai pintu terhenti.

"Je-Jenny, kau tidak akan-"

"Kau juga harus kubunuh. Kalian harus mati agar rencanaku terus berlanjut." pistol itu ditodongkan ke arah Ghina yang sudah berkeringat dingin.

"Ta-tapi, a-aku bisa membantumu." Ghina menawarkan dengan gugup, enggan berakhir sama seperti Fero.

Jenny tertawa, lantas menurunkan pistolnya. Tatapannya menjadi bersahabat, mebuat Ghina tanpa sadar menarik napas lega. Hal itu tak berlangsung lama karena Fero menaikkan pistolnya lagi, menarik pelatuknya dua kali beturut-turut dengan tepat sasaran mengenai Ghina.

"Jenny... kupikir kau..." Ghina jatuh ke lantai. Pandangannya antara tak percaya, kesakitan dan ketakutan. Darah surut dari wajahnya dan matanya terpejam yang Jenny yakini tidak akan pernah terbuka kembali.

Tawa Jenny menggema di ruangan gelap itu. Jika Fero dan Ghina masih hidup, mereka akan menghambat langkahnya. Rexan pasti mencari tahu tentang Fero, dan lelaki itu pasti akan menemukan titik terangnya. Rencana Jenny akan berakhir saat Fero atau Ghina membuka mulut-ia yakin putranya akan menyelidikinya melalui Fero dan Ghina terlebih dahulu. Jadi untuk mencegah hal itu, Fero dan Ghina harus lenyap dari bumi.

Sebenarnya, pekerjaan Fero dan Ghina sudah cukup bagus. Tetapi mereka lalai membiarkan Rexan tersadar sebelum melakukan hal yang lebih jauh, yang Jenny yakini akan membuat Elsa dirundung kecewa kepada Rexan-itulah yang Jenny inginkan. Hubungan Rexan dengan kekasihnya hancur. Video itu akan menjadi awal kehancuran Rexan. Jenny hanya perlusedikit mengeditnya dan mengirimkannya kepada Elsa.

"Jenny." pintu ruangan itu terbuka, seorang lelaki dengan perut buncit masuk ke dalamnya. Lelaki itu tidak memasang ekspresi apapun melihat dua mayat di lantai.

"Ada apa, Bob?" tanya Jenny lemah lembut. Oh, dia mencinti lelakiitu tentu saja. Jenny tidak mempersoalkan keelokan rupa. Bob sejalan dengannya, itu sudah cukup daripada seorang lelaki yang hanya memanfaatkan tubuhnya lantas meninggalkannya.

"Bocah itu kecelakaan."

"Apa? Tapi itu tidak masuk dalam rencanaku. Harusnya mobil sekretarisnya yang bermasalah, bukan miliknya." Jenny mengernyit.

"Kita berhasil tentang sekretarisnya. Dan kecelakaan itu terjadi begitu saja, tanpa unsur disengaja."
Jenny menggeleng, "Bob, tidak. Rexan tidak boleh mati. Dia masih hidup kan? Dia harus hidup untuk dendam yang belum terbalaskan."

"Aku masih menunggu kabar itu, Jenny. Bocah itu memang tidak boleh mati sebelum aku membalas sakit hatiku. Dia adalah putra dari orang yang kita benci. Jadi dia yang harus menanggung dendam kita."

Rexan adalah putra dari Reagan, seorang pengusaha yang kaya raya dan terkenal dalam dunia bisnis. Reagan adalah seorang yang brengsek. Reagan mengambil keuntungan dari Jenny, memperlakukan Jenny dengan manis, menghamili Jenny lantas meninggalkannya. Tidak menghiraukan saat Jenny datang ke rumahnya dan meminta pertanggung-jawaban. Reagan memberi banyak uang, meminta Jenny melahirkan Rexan. Jenny pikir, Reagan akan bertanggungjawab begitu Rexan lahir, nyatanya Reagan hanya mengambil Rexan dan membuang Jenny.

Reagan masih bermain perempuan setelah mencampakkan Jenny. Reputasi lelaki itu yang buruk tidak mempengaruhi dunia bisnis di tangannya. Adik dari Bob menjadi salah satu korban Reagan. Adik yang Bob sayangi harus mati bunuh diri karena mencintai Reagan namun Reagan menolaknya. Bob sangat marah, dia melakukan apapun demi kehancuran Reagan. Tidak ada yang berhasil. Bahkan untuk urusan bisnis pun, bukan semakin jatuh malah semakin jaya meskipun Reagan sudah mati. Bisnis yang kemudian dilanjutkan oleh Rexan.

Di tengah bisnis milik Rexan yang mencapai puncak gemilangnya, perusahaan Bob hancur karena perbuatannya sendiri yang telah berani bermain api dengan Rexan. Rexan tidak tahu perihal dendam Bob kepada ayahnya, yang ia tahu hanyalah Bob selalu berusaha menjatuhkannya. Tidak ada cara lain, Bob harus dipatahkan taringnya lebih dulu supaya tidak terus menggigitnya.

Dan akhirnya Bob bertemu dengan Jenny di sebuah rumah bordir. Kesamaan dendam membuat keduanya menjadi partner. Jenny keluar dari pekerjaannya dan hidup dengan Bob. Bersama menyusun rencana untuk Rexan.

Rexan, putranya dari Reagan hidup dengan nyaman di rumah megah bak istana milik Reagan. Sedangkan Jenny terkatung-katung di jalanan, bekerja sebagai pelacur demi kelangsungan hidupnya sampai bertemu dengan Bob. Perbedaan hidupnya dengan hidup Rexan karena Reagan itulah yang menyulut dendam Jenny. Kematian Reagan tidak membuatnya puas, maka Rexan, putra Reagan itulah yang harus menanggung akibatnya. Rexan hanyalah putra Reagan karena Jenny tidak pernah mengakui Rexan sebagai putranya.

Rexan tidak mempunyai salah apapun terhadap Jenny. Tapi Rexan adalah putra dari seorang Reagan. Itu adalah kesalahan besar di mata Jenny.

***

Next: Beautiful Desire - 18

Beautiful Desire - 16

NOT FOR UNDERAGE


Untuk yang kedua kalinya, Rexan melihat Elsa yang mengikuti pelajarannya tanpa minat. Seperti saat itu, Elsa kini juga hanya menunduk sambil mencorat-coret sesuatu yang entah apa. Dia yakin bahwa Elsa begitu karena masalah mereka.

Rexan menghela napas. Dia sangat tidak suka diabaikan, terlebih oleh Elsa. Pun ketika dia sedang mengajar dan gadis itu tak menghiraukannya. Tetapi, dia tak akan mengusir Elsa keluar dari kelas seperti saat itu. Dia tak ingin gadis itu semakin marah padanya.

Bel istirahat berbunyi. Rexan sengaja berlama-lama di kelas itu, hanya untuk mengetahui apa yang akan Elsa lakukan. Beberapa siswi mengerling padanya saat mereka lewat di depan mejanya. Sudah biasa. Dan Rexan tidak akan terpengaruh sama sekali.

“Kamu mau ikut ke kantin atau tetap di sini dan menitip sesuatu, El?” teman Elsa, Kenia terdengar menawarkan.

Dan Elsa menggeleng, “Nanti aku menyusul.” jawab gadis itu tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang dicorat-coretnya.

Rexan tahu Kenia tak begitu menyukainya. Gadis bermata sipit itu terlalu menyayangi Elsa. Sampai satu kesalahan saat Elsa di-bully oleh Velin dan Rindy—dan itu karena Rexan—bisa membuat Kenia begitu tak bersahabat padanya. Bahkan hingga saat ini sekali pun.

“Ya sudah, kalau begitu aku akan menunggumu di kantin.”

Bersamaan dengan beranjaknya Kenia dari kursinya, Elsa mendongak. Rexan mengernyit tak suka karena gadis itu membuang muka saat melihat dirinya masih berada di mejanya.

“Kenny, aku ikut!” seru Elsa seketika, gadis itu tergopoh berdiri dari tempatnya duduk.

“Nona Ellysa, tolong bawakan buku-buku ini ke ruangan saya.” perintah Rexan saat Elsa hampir melewati pintu.

Elsa menatap Kenia yang menunggunya di luar kelas. Dengan terpaksa dia menyuruh Kenia pergi dan berbalik menuju buku yang Rexan maksud. Tidak mungkin kan dia menolak permintaan tolong gurunya? Masalah pribadinya tidak akan dia bawa ke sekolah saat Rexan hanya sebatas guru, bukan lelaki yang memiliki hubungan dengannya.

Elsa meletakkan buku-buku itu di atas meja, di dalam ruangan Rexan. Dia baru saja berbalik saat Rexan mendorongnya sampai pinggulnya membentur tepian meja lelaki itu. Elsa sungguh tak mau berurusan dengan Rexan saat ini. Jadi dia menegakkan badan, hanya untuk didorong kembali oleh Rexan ke posisinya semula.

“Maaf, Pak, saya—”

“Aku tidak suka diabaikan.” potong Rexan tajam, “dan kamu baru saja melakukannya.”
Elsa menghela napas, “Rexan, bisakah kita bicara nanti saja? Ini masih di sekolah.”

“Dan sejak kapan aku peduli dengan tempat yang bisa kugunakan untuk bebicara denganmu?”

“Kamu mungkin tak peduli, tapi aku peduli. Biarkan aku pergi.” Elsa memaksa menerobos Rexan yang memblokade jalannya. Lelaki itu berdiri membelakangi pintu yang tertutup rapat. Rexan menangkapnya dengan memegang lengan atasnya.

“Kamu tidak akan pergi sebelum masalah kita selesai.” Rexan mengeratkan pegangannya karena Elsa sedikit meronta. Rontaan yang tidak bertenaga sama sekali.

Elsa menggigit bibir. Tangannya terkepal di dada lelaki itu. Pegangan Rexan terlalu erat. Dan dia tersakiti karenanya. Dia hanya butuh waktu untuk berpikir, sedikit mejauh dari Rexan supaya bisa menenangkan diri. Dan Rexan tidak mengerti.

“Tangisan tidak menyelesaikan masalah, Ellysa. Tahan air matamu sampai kita selesai bicara.”
Matanya terasa makin panas. “Kamu pikir aku akan menangis kalau aku bisa menahannya?” desisnya tertahan.

Rexan menatap tajam tepat di manik mata Elsa yang berair. Ia tak tahu apa yang harus dikatakannya supaya tidak melukai perasaan Elsa. Ia sungguh tak tahu bagaimana cara menghadapi Elsa ketika Elsa menangis.

“Kamu tidak mengerti—”

“Kalau begitu buat aku mengerti!” jerit Elsa tertahan, lantas meringis karena pegangan erat Rexan di lengan atasnya berubah menjadi cengkraman.

Rexan menunduk di hadapan wajah Elsa, memaksa Elsa menghadapi kemarahan di bola matanya, “Sudah kukatakan kalau aku mencintaimu dan tidak ingin kehilanganmu. Aku minta maaf soal bayi itu. Tetapi tentang ibu, aku tidak mentolerirnya. Dia berbahaya, Elsa.” katanya dengan penekanan di setiap kata.

“Kamu takut kehilanganku karena kamu tidak percaya kalau aku mencintaimu. Aku tidak tahu kamu anggap seremeh apa perasaanku padamu, Rexan. Aku tak peduli tentang apapun, yang membuatku kecewa adalah kamu yang tidak memercayai aku. Ini berbanding terbalik dengan yang kurasakan padamu, Rexan.”

Napas Rexan tertahan untuk beberapa saat sebelum dia menghembuskannya perlahan, suaranya sedikit ia paksa melunak saat berkata, “Aku percaya padamu, Els. Yang tidak aku percaya adalah orang-orang yang ingin mengambilmu dariku. Aku harus menjagamu, aku akan melakukan apapun untuk menjagamu.”

“Termasuk menyakitiku? Kamu akan menjagaku dengan menyakitiku? Hal konyol macam apa yang kamu bicarakan ini, Rexan?” Elsa tertawa sumbang, dia mengangkat lengannya, memperlihatkan memar keunguan di sana, “kamu menjagaku dengan memberiku ini?” tantangnya kemudian.
Elsa melihat keterkejutan di mata Rexan, membuatnya kembali tertawa miris. “Terkejut?” tanyanya sinis.

Cengkraman Rexan mengendur. Elsa tak menunggu lama untuk mendorong lelaki itu dari hadapannya dan pergi dari sana dengan kepala menunduk. Tak ingin siapapun melihat dirinya menangis.
Rexan menghembuskan napas beratnya berkali-kali. Mungkin Elsa memang harus ia beri ruang dan waktu untuk berpikir. Gadi situ masih belia. Emosinya tentu saja labil. Rexan harus mengingat itu semua sebagai resiko yang harus ia hadapi karena mencintai gadis kecil itu.

***

Kenia memberi pandangan bosan kepada Elsa yang sedari tadi sibuk mengunyah kentang goreng di meja mereka. Sepulang sekolah tadi, tiba-tiba Elsa mengajaknya pulang bersama dan mampir di tempat makan itu. Oh, Kenia harus meralat kata mengajak, karena sebenarnya, Elsa memaksanya pulang bersama, bukan mengajaknya.

Kenia terpaksa membatalkan janjinya dengan Aidan demi Elsa. Karena sepertinya, sahabatnya itu sedang ada masalah dengan Rexan. Kenia bisa membuktikan ucapannya, sebab di sekolah tadi terlihat jelas oleh matanya bahwa Elsa tengah menghindar dari Rexan. Entah apa masalahnya, Kenia tak tahu. Ia pikir Elsa akan menceritakan hal itu kepadanya sekarang. Tapi nyatanya, Elsa tetap bungkam sejak tadi.

“Jadi, El. Apa aku perlu memaksamu supaya kamu bercerita padaku apa masalahmu?”

Elsa melirik Kenia, “Aku tidak punya masalah apapun, Kenia. Bagaimana bisa kamu mengambil kesimpulan seperti itu?”

“Lalu kenapa kamu menghindar dari dia? Kamu bahkan tidak menghiraukan saat dia menunggumu di mobilnya supaya kalian pulang bersama.”

Dia yang Kenia maksud jelas saja Rexan.

“Aku... tidak tahu.” Elsa menghembuskan napas gusar, “aku hanya tidak ingin melihatnya.”

“Ya, dan kenapa kamu tidak mau melihatnya?”

“Kupikir aku sakit hati. Dia meragukan perasaanku, Kenia. Dia bilang bahwa dia ragu apakah aku mencitainya atau tidak. Padahal tanpa berbicara pun, sudah sangat jelas bahwa aku mencintainya. Keraguannya padaku, membuat aku kecewa padanya.”

Elsa tidak memberitahu Kenia perihal Jenny. Ia sendiri tidak menemukan titik terang tentang masalah Rexan dengan ibunya. Jadi ia tak bisa membuka mulut tentang Jenny kepada Kenia sebelum semuanya jelas.

Kenia bersegera mengambil tisu dari tasnya begitu melihat bakal air mata di pelupuk Elsa lalu memberikannya ke tangan gadis itu. Dia tahu Elsa cengeng, gadis itu mudah menangis. Jadi dia tidak akan menyalahkan bila Elsa menangis di sana.

“Terkadang, seorang laki-laki juga butuh untuk dimengerti, El. Mereka lebih mengandalkan logika daripada kita yang berpegang teguh bahwa hatilah yang utama. Padahal, logika juga penting. Tapi kita lebih sering mengandalkan hati kita. Karena memang begitulah seorang perempuan. Apa kamu sudah mendengar alasan kenapa dia mengatakan hal itu padamu?”

“Alasannya tidak masuk akal. Dia berkata bahwa dia tidak ingin kehilanganku. Aku sudah sangat bergantung kepadanya. Bagaimana mungkin dia akan kehilanganku, Kenia?”

Kenia tersenyum tipis, “Kupikir kamu tidak mengerti. Ketakutannya itu menandakan bahwa kamu benar-benar berharga untuknya, bahwa dia benar-benar mencintaimu.”

“Aku juga mencintainya, Kenia. Tapi aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan kehilangan dia. Sebab aku mencintainya dan aku percaya bahwa dia tidak akan meninggalkanku karena dia juga mencintaiku. Ketakutannya bahwa dia akan kehilanganku yang juga berarti aku akan meninggalkannya, bukankah sama saja dia tidak percaya padaku? Dia tidak percaya bahwa aku mencintainya hingga dia berpikir kapan pun aku bisa meninggalkannya.” suara Elsa melemah pada kalimat terakhirnya.

“Kamu berpikir bahwa dia tidak percaya padamu sebagaimana kamu mepercayainya. Bagaimana dengannya? Perpisahan tidak hanya karena faktor percaya atau tidak percaya, El. Bisa saja dia kehilanganmu atau kamu yang kehilangan dirinya karena hal lain. Seperti keadaan yang mungkin tidak merestui hubungan kalian.” Kenia melihat Elsa terdiam, karena itu kemudian dia melanjutkan ucapannya, “Sudah kubilang bahwa laki-laki selalu mengandalkan logika. Mereka berpikir sesuai dengan keadaan yang berada di depan mata. Mereka tidak berandai-andai dan seringkali mengatasnamakan realita. Tidak seperti kita yang senang memimpikan hal indah dan berharap pasangan kita yang berusaha mewujudkannya.”

“Kamu benar.” Elsa menunduk, “harusnya aku paham dengan ketakutannya, kan?”

Kenia mengangguk, “Setiap ada masalah, harusnya kamu bicarakan dulu dengannya, El.” Ia mendesah, “ah, kenapa aku jadi mengguruimu? Sedangkan kekasihmu adalah guruku.” kekehnya kemudian.

Elsa ikut tertawa kecil, “Terimakasih, Kenny. Aku menyayangimu.” katanya tulus, merasa beruntung mempunyai Kenia sebagai sahabatnya.

“Aku juga menyayangimu, El. Sekarang, mari kuantar kamu pulang supaya kamu bisa menyelesaikan semuanya dengannya.”

“Ya, ayo.”

Rexan tidak ada di apartement-nya saat Elsa masuk ke tempat itu. Begitu Kenia mengantarnya pulang, Elsa langsung masuk ke apartement Rexan, tidak lebih dulu pulang ke apartement miliknya sendiri, ia ingin segera bertemu lelaki itu dan meminta maaf. Elsa memutuskan untuk menunggu, berpikir mungkin saja Rexan ada urusan di kantornya.

Rexan memang mempunyai sedikit urusan, tapi bukan di kantornya, melainkan di sebuah hotel untuk membahas beberapa kerja sama dengan kliennya. Usai dia mengajar tadi, sekretarisnya menelepon dan mengingatkan bahwa ada meeting yang harus dihadirinya jam 2 siang di hotel tersebut.

Ruang VIP yang dipesan khusus untuk acara meeting itu hanya berisi tiga orang. Rexan, Feronica dan juga Ghina. Kedua perempuan itu adalah kliennya. Rexan sedikit terkesan dengan kecerdasan otak Feronica dalam menyampaikan detail kerja sama mereka.

Perempuan itu juga cantik dan juga dewasa. Terlihat sekali kalau peremun itu menaruh perhatian lebih terhdap Rexan. Mungkin Rexan akan mempertimbangkan untuk bermain dengannya andai tidak ada Elsa yang telah menempati seluruh ruang pikir dan hatinya.

Rexan ingin cepat pulang begitu mengingat kalau dirinya dan Elsa belum berdamai. Gadis itu sungguh labil. Mengingat tentang Elsa yang tadi mati-matian berusaha menghindar darinya bukan membuatnya marah malah dia merasa geli. Geli pada dirinya sendiri karena begitu mencintai gadis labil itu. Ia tak pernah merasakan cinta yang sebesar itu, bahkan pada tunangannya sekali pun tidak. Tetapi kepada Elsa, Rexan merasa sanggup melakukan apapun demi mendapatkan gadis itu.

Teh di dalam gelas yang berada di hadapannya perlahan Rexan sesap sambil terus mendengarkan beberapa keuntungan bila dia menyetujui kerjasama yang pihak Fero tawarkan. Kali ini Ghina yang menjelaskan, sementara Fero sudah duduk tenang sambil terus menatapnya.

Dahi Rexan mengernyit. Berkali-kali dia mengedipkan mata. Kepalanya terasa pusing sekali.

“Jadi, bagaimana menurut Anda, Pak?” tanya Ghina kemudian.

Rexan memijit pelipisnya, kemudian mengangguk.

“Anda baik, Pak?” Feronica bertanya dengan nada cemas, dan sekali lagi Rexan mengangguk.

“Aku baik. Bisa Anda ulangi penjelasan poin terakhir?” dan pusingnya menjadi-jadi, “sial! Aku pusing sekali.”

Feronica melirik Ghina. Kedua perempuan itu tersenyum. Lalu Fero berdiri dan beranjak ke sebelah Rexan duduk. Tangannya ia letakkan di kedua sisi kepala Rexan, lantas memijatnya pelan. Seketika mata Rexan melebar dan lelaki itu menatap Feronica.

“Maaf, Pak. Mungkin dengan dipijat rasa pusing Anda akan sedikit berkurang.”

“Oh, ya. Tolong.” Rexan mengangguk.

“Anda bisa menyandarkan kepala Anda.”

Rexan benar-benar menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa yang ia duduki. Matanya terpejam saat pijatan Fero mulai terasa di kepalanya.

“Mungkin Anda kurang beristirahat.”

Hembusan napas Fero terasa di telinga Rexan karena perempuan itu menunduk saat mengatakannya. Pijatannya berpindah ke kedua pundak Rexan. Mata Rexan terbuka, namun pandangannya berkunang-kunang. Ia menggelengkan kepala, dan malah melihat Elsa yang tersenyum padanya.

“Els.” panggilnya kemudian, menegakkan badan dan berkedip demi memperjelas pandangannya. Dan Elsa masih di sana. Berdiri di belakang sofa yang ia duduki dan tersenyum padanya. Dia mengulurkan tangan kepada gadisnya, menunggu untuk Elsa memberikan tangannya.

BERSAMBUNG~

Yeayy bersambung 😁😁😂😂

My Step Brother - 6 (Ending)

Chapter 6 ( Ending) Dua hari kemudian Bian membuka akun instagramnya. Gerahamnya segera saja bergemeletuk menahan geram ketika menda...