NOT FOR UNDERAGE
Untuk yang kedua
kalinya, Rexan melihat Elsa yang mengikuti pelajarannya tanpa minat.
Seperti saat itu, Elsa kini juga hanya menunduk sambil mencorat-coret
sesuatu yang entah apa. Dia yakin bahwa Elsa begitu karena masalah
mereka.
Rexan menghela napas.
Dia sangat tidak suka diabaikan, terlebih oleh Elsa. Pun ketika dia
sedang mengajar dan gadis itu tak menghiraukannya. Tetapi, dia tak akan
mengusir Elsa keluar dari kelas seperti saat itu. Dia tak ingin gadis
itu semakin marah padanya.
Bel istirahat berbunyi.
Rexan sengaja berlama-lama di kelas itu, hanya untuk mengetahui apa yang
akan Elsa lakukan. Beberapa siswi mengerling padanya saat mereka lewat
di depan mejanya. Sudah biasa. Dan Rexan tidak akan terpengaruh sama
sekali.
“Kamu mau ikut ke kantin atau tetap di sini dan menitip sesuatu, El?” teman Elsa, Kenia terdengar menawarkan.
Dan Elsa menggeleng, “Nanti aku menyusul.” jawab gadis itu tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang dicorat-coretnya.
Rexan tahu Kenia tak begitu menyukainya. Gadis bermata sipit itu terlalu menyayangi Elsa. Sampai satu kesalahan saat Elsa di-bully oleh Velin dan Rindy—dan itu karena Rexan—bisa membuat Kenia begitu tak bersahabat padanya. Bahkan hingga saat ini sekali pun.
“Ya sudah, kalau begitu aku akan menunggumu di kantin.”
Bersamaan dengan
beranjaknya Kenia dari kursinya, Elsa mendongak. Rexan mengernyit tak
suka karena gadis itu membuang muka saat melihat dirinya masih berada di
mejanya.
“Kenny, aku ikut!” seru Elsa seketika, gadis itu tergopoh berdiri dari tempatnya duduk.
“Nona Ellysa, tolong bawakan buku-buku ini ke ruangan saya.” perintah Rexan saat Elsa hampir melewati pintu.
Elsa menatap Kenia yang
menunggunya di luar kelas. Dengan terpaksa dia menyuruh Kenia pergi dan
berbalik menuju buku yang Rexan maksud. Tidak mungkin kan dia menolak
permintaan tolong gurunya? Masalah pribadinya tidak akan dia bawa ke
sekolah saat Rexan hanya sebatas guru, bukan lelaki yang memiliki
hubungan dengannya.
Elsa meletakkan
buku-buku itu di atas meja, di dalam ruangan Rexan. Dia baru saja
berbalik saat Rexan mendorongnya sampai pinggulnya membentur tepian meja
lelaki itu. Elsa sungguh tak mau berurusan dengan Rexan saat ini. Jadi
dia menegakkan badan, hanya untuk didorong kembali oleh Rexan ke
posisinya semula.
“Maaf, Pak, saya—”
“Aku tidak suka diabaikan.” potong Rexan tajam, “dan kamu baru saja melakukannya.”
Elsa menghela napas, “Rexan, bisakah kita bicara nanti saja? Ini masih di sekolah.”
“Dan sejak kapan aku peduli dengan tempat yang bisa kugunakan untuk bebicara denganmu?”
“Kamu mungkin tak
peduli, tapi aku peduli. Biarkan aku pergi.” Elsa memaksa menerobos
Rexan yang memblokade jalannya. Lelaki itu berdiri membelakangi pintu
yang tertutup rapat. Rexan menangkapnya dengan memegang lengan atasnya.
“Kamu tidak akan pergi
sebelum masalah kita selesai.” Rexan mengeratkan pegangannya karena Elsa
sedikit meronta. Rontaan yang tidak bertenaga sama sekali.
Elsa menggigit bibir.
Tangannya terkepal di dada lelaki itu. Pegangan Rexan terlalu erat. Dan
dia tersakiti karenanya. Dia hanya butuh waktu untuk berpikir, sedikit
mejauh dari Rexan supaya bisa menenangkan diri. Dan Rexan tidak
mengerti.
“Tangisan tidak menyelesaikan masalah, Ellysa. Tahan air matamu sampai kita selesai bicara.”
Matanya terasa makin panas. “Kamu pikir aku akan menangis kalau aku bisa menahannya?” desisnya tertahan.
Rexan menatap tajam
tepat di manik mata Elsa yang berair. Ia tak tahu apa yang harus
dikatakannya supaya tidak melukai perasaan Elsa. Ia sungguh tak tahu
bagaimana cara menghadapi Elsa ketika Elsa menangis.
“Kamu tidak mengerti—”
“Kalau begitu buat aku
mengerti!” jerit Elsa tertahan, lantas meringis karena pegangan erat
Rexan di lengan atasnya berubah menjadi cengkraman.
Rexan menunduk di
hadapan wajah Elsa, memaksa Elsa menghadapi kemarahan di bola matanya,
“Sudah kukatakan kalau aku mencintaimu dan tidak ingin kehilanganmu. Aku
minta maaf soal bayi itu. Tetapi tentang ibu, aku tidak mentolerirnya.
Dia berbahaya, Elsa.” katanya dengan penekanan di setiap kata.
“Kamu takut kehilanganku
karena kamu tidak percaya kalau aku mencintaimu. Aku tidak tahu kamu
anggap seremeh apa perasaanku padamu, Rexan. Aku tak peduli tentang
apapun, yang membuatku kecewa adalah kamu yang tidak memercayai aku. Ini
berbanding terbalik dengan yang kurasakan padamu, Rexan.”
Napas Rexan tertahan
untuk beberapa saat sebelum dia menghembuskannya perlahan, suaranya
sedikit ia paksa melunak saat berkata, “Aku percaya padamu, Els. Yang
tidak aku percaya adalah orang-orang yang ingin mengambilmu dariku. Aku
harus menjagamu, aku akan melakukan apapun untuk menjagamu.”
“Termasuk menyakitiku?
Kamu akan menjagaku dengan menyakitiku? Hal konyol macam apa yang kamu
bicarakan ini, Rexan?” Elsa tertawa sumbang, dia mengangkat lengannya,
memperlihatkan memar keunguan di sana, “kamu menjagaku dengan memberiku
ini?” tantangnya kemudian.
Elsa melihat keterkejutan di mata Rexan, membuatnya kembali tertawa miris. “Terkejut?” tanyanya sinis.
Cengkraman Rexan
mengendur. Elsa tak menunggu lama untuk mendorong lelaki itu dari
hadapannya dan pergi dari sana dengan kepala menunduk. Tak ingin
siapapun melihat dirinya menangis.
Rexan menghembuskan napas
beratnya berkali-kali. Mungkin Elsa memang harus ia beri ruang dan waktu
untuk berpikir. Gadi situ masih belia. Emosinya tentu saja labil. Rexan
harus mengingat itu semua sebagai resiko yang harus ia hadapi karena
mencintai gadis kecil itu.
***
Kenia memberi pandangan
bosan kepada Elsa yang sedari tadi sibuk mengunyah kentang goreng di
meja mereka. Sepulang sekolah tadi, tiba-tiba Elsa mengajaknya pulang
bersama dan mampir di tempat makan itu. Oh, Kenia harus meralat kata
mengajak, karena sebenarnya, Elsa memaksanya pulang bersama, bukan
mengajaknya.
Kenia terpaksa
membatalkan janjinya dengan Aidan demi Elsa. Karena sepertinya,
sahabatnya itu sedang ada masalah dengan Rexan. Kenia bisa membuktikan
ucapannya, sebab di sekolah tadi terlihat jelas oleh matanya bahwa Elsa
tengah menghindar dari Rexan. Entah apa masalahnya, Kenia tak tahu. Ia
pikir Elsa akan menceritakan hal itu kepadanya sekarang. Tapi nyatanya,
Elsa tetap bungkam sejak tadi.
“Jadi, El. Apa aku perlu memaksamu supaya kamu bercerita padaku apa masalahmu?”
Elsa melirik Kenia, “Aku tidak punya masalah apapun, Kenia. Bagaimana bisa kamu mengambil kesimpulan seperti itu?”
“Lalu kenapa kamu
menghindar dari dia? Kamu bahkan tidak menghiraukan saat dia menunggumu
di mobilnya supaya kalian pulang bersama.”
Dia yang Kenia maksud jelas saja Rexan.
“Aku... tidak tahu.” Elsa menghembuskan napas gusar, “aku hanya tidak ingin melihatnya.”
“Ya, dan kenapa kamu tidak mau melihatnya?”
“Kupikir aku sakit hati.
Dia meragukan perasaanku, Kenia. Dia bilang bahwa dia ragu apakah aku
mencitainya atau tidak. Padahal tanpa berbicara pun, sudah sangat jelas
bahwa aku mencintainya. Keraguannya padaku, membuat aku kecewa padanya.”
Elsa tidak memberitahu
Kenia perihal Jenny. Ia sendiri tidak menemukan titik terang tentang
masalah Rexan dengan ibunya. Jadi ia tak bisa membuka mulut tentang
Jenny kepada Kenia sebelum semuanya jelas.
Kenia bersegera
mengambil tisu dari tasnya begitu melihat bakal air mata di pelupuk Elsa
lalu memberikannya ke tangan gadis itu. Dia tahu Elsa cengeng, gadis
itu mudah menangis. Jadi dia tidak akan menyalahkan bila Elsa menangis
di sana.
“Terkadang, seorang
laki-laki juga butuh untuk dimengerti, El. Mereka lebih mengandalkan
logika daripada kita yang berpegang teguh bahwa hatilah yang utama.
Padahal, logika juga penting. Tapi kita lebih sering mengandalkan hati
kita. Karena memang begitulah seorang perempuan. Apa kamu sudah
mendengar alasan kenapa dia mengatakan hal itu padamu?”
“Alasannya tidak masuk
akal. Dia berkata bahwa dia tidak ingin kehilanganku. Aku sudah sangat
bergantung kepadanya. Bagaimana mungkin dia akan kehilanganku, Kenia?”
Kenia tersenyum tipis,
“Kupikir kamu tidak mengerti. Ketakutannya itu menandakan bahwa kamu
benar-benar berharga untuknya, bahwa dia benar-benar mencintaimu.”
“Aku juga mencintainya,
Kenia. Tapi aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan kehilangan dia.
Sebab aku mencintainya dan aku percaya bahwa dia tidak akan
meninggalkanku karena dia juga mencintaiku. Ketakutannya bahwa dia akan
kehilanganku yang juga berarti aku akan meninggalkannya, bukankah sama
saja dia tidak percaya padaku? Dia tidak percaya bahwa aku mencintainya
hingga dia berpikir kapan pun aku bisa meninggalkannya.” suara Elsa
melemah pada kalimat terakhirnya.
“Kamu berpikir bahwa dia
tidak percaya padamu sebagaimana kamu mepercayainya. Bagaimana
dengannya? Perpisahan tidak hanya karena faktor percaya atau tidak
percaya, El. Bisa saja dia kehilanganmu atau kamu yang kehilangan
dirinya karena hal lain. Seperti keadaan yang mungkin tidak merestui
hubungan kalian.” Kenia melihat Elsa terdiam, karena itu kemudian dia
melanjutkan ucapannya, “Sudah kubilang bahwa laki-laki selalu
mengandalkan logika. Mereka berpikir sesuai dengan keadaan yang berada
di depan mata. Mereka tidak berandai-andai dan seringkali
mengatasnamakan realita. Tidak seperti kita yang senang memimpikan hal
indah dan berharap pasangan kita yang berusaha mewujudkannya.”
“Kamu benar.” Elsa menunduk, “harusnya aku paham dengan ketakutannya, kan?”
Kenia mengangguk,
“Setiap ada masalah, harusnya kamu bicarakan dulu dengannya, El.” Ia
mendesah, “ah, kenapa aku jadi mengguruimu? Sedangkan kekasihmu adalah
guruku.” kekehnya kemudian.
Elsa ikut tertawa kecil,
“Terimakasih, Kenny. Aku menyayangimu.” katanya tulus, merasa beruntung
mempunyai Kenia sebagai sahabatnya.
“Aku juga menyayangimu, El. Sekarang, mari kuantar kamu pulang supaya kamu bisa menyelesaikan semuanya dengannya.”
“Ya, ayo.”
Rexan tidak ada di
apartement-nya saat Elsa masuk ke tempat itu. Begitu Kenia mengantarnya
pulang, Elsa langsung masuk ke apartement Rexan, tidak lebih dulu pulang
ke apartement miliknya sendiri, ia ingin segera bertemu lelaki itu dan
meminta maaf. Elsa memutuskan untuk menunggu, berpikir mungkin saja
Rexan ada urusan di kantornya.
Rexan memang mempunyai
sedikit urusan, tapi bukan di kantornya, melainkan di sebuah hotel untuk
membahas beberapa kerja sama dengan kliennya. Usai dia mengajar tadi,
sekretarisnya menelepon dan mengingatkan bahwa ada meeting yang harus
dihadirinya jam 2 siang di hotel tersebut.
Ruang VIP yang dipesan
khusus untuk acara meeting itu hanya berisi tiga orang. Rexan, Feronica
dan juga Ghina. Kedua perempuan itu adalah kliennya. Rexan sedikit
terkesan dengan kecerdasan otak Feronica dalam menyampaikan detail kerja
sama mereka.
Perempuan itu juga
cantik dan juga dewasa. Terlihat sekali kalau peremun itu menaruh
perhatian lebih terhdap Rexan. Mungkin Rexan akan mempertimbangkan untuk
bermain dengannya andai tidak ada Elsa yang telah menempati seluruh
ruang pikir dan hatinya.
Rexan ingin cepat pulang
begitu mengingat kalau dirinya dan Elsa belum berdamai. Gadis itu
sungguh labil. Mengingat tentang Elsa yang tadi mati-matian berusaha
menghindar darinya bukan membuatnya marah malah dia merasa geli. Geli
pada dirinya sendiri karena begitu mencintai gadis labil itu. Ia tak
pernah merasakan cinta yang sebesar itu, bahkan pada tunangannya sekali
pun tidak. Tetapi kepada Elsa, Rexan merasa sanggup melakukan apapun
demi mendapatkan gadis itu.
Teh di dalam gelas yang
berada di hadapannya perlahan Rexan sesap sambil terus mendengarkan
beberapa keuntungan bila dia menyetujui kerjasama yang pihak Fero
tawarkan. Kali ini Ghina yang menjelaskan, sementara Fero sudah duduk
tenang sambil terus menatapnya.
Dahi Rexan mengernyit. Berkali-kali dia mengedipkan mata. Kepalanya terasa pusing sekali.
“Jadi, bagaimana menurut Anda, Pak?” tanya Ghina kemudian.
Rexan memijit pelipisnya, kemudian mengangguk.
“Anda baik, Pak?” Feronica bertanya dengan nada cemas, dan sekali lagi Rexan mengangguk.
“Aku baik. Bisa Anda ulangi penjelasan poin terakhir?” dan pusingnya menjadi-jadi, “sial! Aku pusing sekali.”
Feronica melirik Ghina.
Kedua perempuan itu tersenyum. Lalu Fero berdiri dan beranjak ke sebelah
Rexan duduk. Tangannya ia letakkan di kedua sisi kepala Rexan, lantas
memijatnya pelan. Seketika mata Rexan melebar dan lelaki itu menatap
Feronica.
“Maaf, Pak. Mungkin dengan dipijat rasa pusing Anda akan sedikit berkurang.”
“Oh, ya. Tolong.” Rexan mengangguk.
“Anda bisa menyandarkan kepala Anda.”
Rexan benar-benar
menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa yang ia duduki. Matanya terpejam
saat pijatan Fero mulai terasa di kepalanya.
“Mungkin Anda kurang beristirahat.”
Hembusan napas Fero
terasa di telinga Rexan karena perempuan itu menunduk saat
mengatakannya. Pijatannya berpindah ke kedua pundak Rexan. Mata Rexan
terbuka, namun pandangannya berkunang-kunang. Ia menggelengkan kepala,
dan malah melihat Elsa yang tersenyum padanya.
“Els.” panggilnya
kemudian, menegakkan badan dan berkedip demi memperjelas pandangannya.
Dan Elsa masih di sana. Berdiri di belakang sofa yang ia duduki dan
tersenyum padanya. Dia mengulurkan tangan kepada gadisnya, menunggu
untuk Elsa memberikan tangannya.
BERSAMBUNG~
Yeayy bersambung 😁😁😂😂
Next: Beautiful Desire - 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan yaa :)