Selasa, 03 Oktober 2017

Beautiful Desire - 15

NOT FOR UNDERAGE



Dering ponsel yang nyaring membangunkan Rexan dari tidurnya. Suasana gelap di dalam kamar langsung menyambutnya. Hari sudah malam ternyata. Tirai yang tidak dibuka dan lampu yang belum dinyalakan membuat kamarnya terlihat lebih gelap.

Rexan berdiri, berjalan menuju pintu dan menekan sakelar lampu. Kemudian ia beranjak keluar dari kamar untuk menghampiri asal deringan ponsel itu. Itu milik Elsa, tertera nama 'Daddy' di layar ponsel yang kini berada di tangan Rexan itu.

Oh, tadi ia bertengkar dengan Elsa, Rexan tentunya tak lupa akan hal itu. Dan sekarang, setelah beberapa jam berlalu dia mulai merindukan Elsa. Itu bahkan baru beberapa jam sejak terakhir ia bertemu gadisnya, bagaimana bila ia kehilangan Elsa untuk selamanya? Rexan tak berani membayangkan hal itu terjadi.

Digesernya layar ponsel itu untuk menjawab panggilan. Alfredo Moriz langsung mengenali suaranya begitu ia bergumam 'halo'.

"Di mana putriku?"

"Di apartement-nya tentu saja. Ponselnya tertinggal di tempatku." Rexan menjawab tenang.

"Kau apakan putriku? Tidak biasanya ia melupakan benda sepenting ponsel."

Ah, firasat seorang ayah. Rexan merutuki hal itu. Tapi masih dengan tenang ia kembali menjawab, 

"Tadi ia terburu-buru kembali ke apartement-nya karena suatu hal yang lebih penting daripada ponsel."

"Begitukah?" Rexan mendengar nada curiga pada suara Alfredo, "aku tidak akan segan memulangkan putriku ke rumahnya jika kau macam-macam anak muda."

"Maka aku akan menyusulnya ke rumahnya." Rexan mendesis, tidak setuju dengan gagasan bahwa Elsa akan diambil dari sisinya bahkan oleh ayah gadis itu sekali pun.

"Maka jaga putriku baik-baik. Sampaikan padanya kalau aku menelepon. Kututup."

Orang tua itu benar-benar mengesalkan. Sangat berbeda dengan istri dan anaknya yang lemah lembut. 

Ah, Elsa. Rexan keluar dari apartement-nya, berdiri di depan pintu apartement Elsa yang tertutup rapat. Sebenarnya, bisa saja ia masuk. Tetapi berpikir tentang kemungkinan Elsa yang tengah marah karena ucapannya siang tadi, ia tidak melakukannya. Ia menekan bel hingga beberapa kali namun hasilnya sama: tidak ada jawaban.

Rexan menghela napas. Ia memutuskan untuk kembali ke apartemennya dan kembali tidur dengan kesepian tanpa adanya Elsa yang ia peluk. Gadis itu memang wajar merasa marah. Sebab Rexan sendiri pun sadar bahwa dirinya keterlaluan. Mempunyai banyak pengalaman dengan perempuan mestinya membuatnya paham bahwa meragukan perasaan perempuan tidak semestinya ia lakukan. Tapi, sekali lagi, Elsa berbeda. Gadis itu memiliki tempat yang berbeda di hatinya. Maka dari itu perlakuannya kepada Elsa pun berbeda.

Paginya, Rexan langsung berangkat ke sekolah untuk mengajar tanpa menunggu Elsa keluar dari apartement milik gadis itu. Ia sengaja berangkat lebih pagi dan menunggu Elsa di depan gerbang sekolah. Tetapi, sampai bel masuk berbunyi pun Elsa tetap tidak datang. Ia merogoh ponselnya, dan mengumpat ketika ingat bahwa ponsel Elsa ada padanya.

Ke mana gadisnya itu pergi? Tanpa mempedulikan jadwal mengajarnya hari itu, Rexan bergegas kembali ke mobilnya dan memacunya kembali ke apartement. Ingin memastikan ada atau tidaknya Elsa di tempat itu.

Elsa yang tidak berada di apartement membuat Rexan cemas. Demi Tuhan, siapa pun bisa mencelakai Elsa. Dan jika itu terjadi, maka Rexan, maka dia... Rexan mengacak rambutnya. Satu-satunya teman Elsa adalah Kenia, jadi ia menghubungi Kenia dengan ponsel milik Elsa yang ada padanya.

"Halo, El? Kamu di mana? Kenapa tidak masuk hari ini? Kamu baik-baik saja?" tanya Kenia beruntun mengira bahwa Elsa yang sedang meneleponnya.

Dari pertanyaan Kenia, Rexan langsung mengambil kesimpulan kalau sahabat gadisnya itu tidak tahu tentang keberadaan Elsa.

"Ponselnya ada padaku dan aku tidak tahu di mana dirinya saat ini. Jika kau bertemu dengannya, langsung hubungi aku." titah Rexan lantas menutup panggilan. Rexan mengusap wajahnya dengan kasar, ia mengambil ponselnya sendiri dan menghubungi Gerald, orang kepercayaannya.

"Cari gadisku sampai kau menemukannya."

Setelahnya, Rexan berjalan mondar-mandir di kamar Elsa. Dia berpikir tentang tempat yang kemungkinan Elsa kunjungi. Ia yakin Elsa tidak pulang sejak semalam. Demi apapun, ia khawatir. Ibunya mengetahui Elsa sebagai kekasihnya, dan itulah masalahnya.

Rexan berlari menuju mobilnya, melajukannya tanpa tujuan karena nyatanya Elsa tidak senang pergi ke mana pun. Gadis itu tidak punya tempat yang sering dikunjungi atau disukainya. Elsa lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya ketimbang pergi berjalan-jalan atau bermain dengan teman-temannya. Akan sulit mencari Elsa dengan keadaan begitu.

Mobil Rexan menepi di sebuah taman. Ia turun dari sana, berpikir mungkin Elsa ke tempat itu. Karena bagaimana pun seorang perempuan identik dengan bunga dan taman kan?
Tapi tidak ada Elsa di sana.

"Astaga, Els. Di mana kamu?" gumamnya kalut setelah beberapa menit mengelilingi taman dan tidak menemukan Elsa.

Ponselnya berdering, Rexan mengangkat panggilan dan menempelkan benda pipih itu ke telinganya.

"Ya, Gerald. Katakan."

"Anak buah saya melaporkan bahwa kemarin siang Nona Ellysa berada di pusat perbelanjaan terkemuka di kota, Tuan."

Artinya Elsa langsung pergi keluar setelah Rexan menyuruhnya pulang. "Ya, lalu?"

"Nona bertemu dengan ibu Anda. Dan kemungkinan besar Nona sedang bersamanya hingga saat ini."

"Apa?" Rexan mendesis, "baiklah. Selidiki ibuku, awasi rumahnya dan pastikan Ellysa selamat."
Sambungan telepon diputus oleh Rexan. Ia menghembus napas berat. Meyakinkan diri bahwa Elsa akan baik-baik saja bersama ibunya sungguh sulit. Dulu, ibunya juga melakukan hal sma kepada tunangannya, mendekatinya perlahan solah mencari celah, dan setelah menemukannya, ibunya bergerak cepat menggunakan kesempatan itu. Tunangannya meninggal dalam sebuah kecelakaan beruntun dengan sebuah bis pariwisata.

Rexan telah menyelidiki semuanya. Bukti bahwa ibunya bersalah sudah ada di tangannya. Mengetahui bahwa dalang dari kecelakaan yang menewaskan tunangannya adalah ibunya, memukul Rexan dengan telak. Dia tidak bisa menghukum sang ibu, tidak ada seorang pun anak yang tega menghukum ibunya. Tidak juga Rexan meski ia tahu ibunya bersalah. Rexan tidak bisa menghukum ibunya sekeji apapun watak yang ia sandang. Dia hidup tanpa kasih sayang ibunya, tetapi dia menyayangi ibunya sebagaimana seorang anak umumnya.

Jika Jenny mengulangi kesalahan yang sama, maka kali ini Rexan tidak akan tinggal diam. Setidaknya, dia akan melaporkan Jenny ke pihak yang berwajib supaya bisa diadili. Itu sudah cukup untuk menghukum Jenny karena hukuman keji-seperti yang Rexan lakukan terhadap Velin dan Rindy-sudah tidak mungkin Rexan berikan kepada Jenny.

Gerald menelepon lagi saat Rexan sudah mengemudikan mobilnya di jalan raya.

"Ibu Anda sudah dalam perjalanan mengantar Nona pulang, Tuan. Saya sudah memastikannya."

Rexan menghembus napas lega, "Baiklah, Gerald. Awasi sampai Ellysa naik ke apartement-nya. Aku akan menunggu di sana."

***

Elsa menunduk di sebelah jendela mobil Jenny yang terbuka. Ia baru saja diantar pulang oleh Jenny, dan terpaksa meliburkan diri lagi ke sekolah karena hari sudah siang. Semalam ia menginap di tempat Jenny, mengobrol sampai larut malam sampai Jenny melarangnya pulang karena memikirkan keselamatannya. Akhirnya, ia baru pulang dari rumah Jenny usai sarapan.

"Terimakasih, Bibi, sudah mengantarku pulang."

"Kapan saja, Dear. Kau boleh datang ke tempatku kapan pun kau mau."

"Ya, tentu saja."

"Kalau begitu aku pulang dulu. Sampai jumpa, sayang."

Elsa tersenyum. Bukankah Jenny baik sekali?

Kaca jendela satu arah itu tertutup. Elsa tidak dapat melihat keadaan di dalam mobil. Jenny mengulas senyum, menatap Elsa dengan geraham terkatup. Dia menekan klakson dan mulai melajukan mobilnya. Meninggalkan tempat Elsa dengan perasaan puas. Satu rencana sudah ia jalankan. Satu per satu, pelan namun pasti semua rencananya akan menuai hasil.

Elsa menunggu hingga mobil yang Jenny kendarai berjalan agak jauh sebelum kemudian naik ke apartement-nya. Dia menunggu dengan tenang sampai lift mengantarkanya menuju lantai apartement miliknya. Ketika pintu lift terbuka, ia melenggang, sampai kemudian matanya menangkap keberadaan Rexan yang berdiri kaku tak jauh di depannya.

Ia menghela napas, kembali merasa sakit hati. Siapa yang tak akan sakit hati bila perasaannya diragukan? Apalagi Elsa telah memberikan segalanya kepada Rexan.

"Dari mana kamu?"

Elsa tidak menjawab. Ia mendiamkan Rexan namun tak melarang saat Rexan mengekorinya masuk ke apartement-nya. Lelaki itu pasti baru sadar kalau Elsa tidak di apartement semalaman pagi ini. Dan tujuan Rexan ada di sana pasti untuk mengetahui keberadaannya. Apapun itu, Elsa tak peduli. Entah mengapa ia merasa begitu kecewa kepada Rexan.

"Els," Rexan meraih lengan Elsa, mencegah apapun yang akan gadis itu lakukan supaya tidak mengacuhkannya.

"Apa lagi Rexan?"

"Aku bertanya padamu. Dari mana saja kamu? Kamu pasti tidak pulang semalaman kan? Di mana kamu bermalam? Kenapa kamu tidak memberitahuku? Aku khawatir, Els! Tidakkah kamu mengerti?" Rexan meninggikan nada suaranya.

"Apa itu masih penting untukmu? Bukannya kamu yang menyuruhku untuk tidak mengganggumu?"

Rexan menghela napas, "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk mengatakan hal seperti itu kemarin. Aku hanya berpikir kalau kamu tidak menginginkan bayi dariku."

"Memang tidak." Elsa berbalik, berjalan ke arah lemari pendingin dan mengambil sobotol air mineral dari dalamnya.

"Apa maksudmu, Els? Jangan membuatku salah paham dalam mengartikan ucapanmu."

"Lalu setelah kamu salah paham, kamu akan mengatakan sesuatu yang bisa menyakitiku. Kamu akan mengusirku lagi dan berkata tidak ingin kuganggu. Itukah yang akan kamu lakukan?"

Gadis ini masih marah. Menghadapi perempuan marah selalu membuar Rexan jengkel. Rasa sabarnya sungguh tipis dan ia yakin Elsa tahu itu.

"Jangan menguji kesabaranku, Els. Aku sudah minta maaf dan menjelaskan bahwa aku tidak bermaksud menyakitimu. Dan aku tahu kamu bertemu dengan ibuku. Apa yang sudah kukatakan tentang itu, Els?"

"Kalau begitu aku juga minta maaf, dan kujelaskan bahwa aku tidak bermaksud untuk menguji kesabaranmu. Tentang ibumu, aku memang bertemu dengannya. Sekarang kumohon jangan ganggu aku. Aku ingin tenang dulu."

Elsa meletakkan botol minuman yang belum tersentuh isinya. Kembali mengabaikan Rexan yang sudah menahan marah. Dia mengambil langkah, namun di langkah pertamanya Rexan meraih lengannya dan mendesaknya ke dinding pembatas antara ruang tamu dan dapur. Dia menjerit kecil karena punggungnya membentur permukaan dinding yang keras dan dingin.

"Sudah kubilang jangan menguji kesabaranku, Ellysa. Jangan bertemu ibuku tapi kamu membangkang!" Rexan berucap dingin di depan wajah Elsa.

Kedua lengannya berada di dalam cengkraman Rexan. Elsa meringis sakit, ia yakin lengannya akan memerah. Ia mendongak, membalas tatapan Rexan dengan sama marahnya.

"Kamu membentakku?! Aku tidak mengerti di mana letak kesalahan-"

"Tindakanmu yang masa bodoh begini malah semakin membuatku yakin kalau kamu tidak mencintaiku, Els. Ibuku bukan orang baik dan kamu tidak tahu itu!"

Elsa menghela napas, matanya muli memerah menahan tangis karena tak terbiasa dibentak oleh Rexan.

"Lepaskan aku. Kita butuh waktu untuk berpikir-"

"Tidak ada yang perlu kupikirkan. Kamu yang perlu disadarkan kalau tidakanmu ini salah. Tidak seharusnya kamu percaya pada ibuku, Els."

"Aku? Jadi ini semua salahku? Kamu bahkan tidak memberiku alasan kenapa aku harus menjuhi ibumu, Rexan!" jerit Elsa tak percaya bahwa dirinya yang disalahkan.

"Jangan meningguikan suara kepadaku, Ellysa." Rexan menghardik, membuat Elsa tersentak dan takut, "Sekarang berhenti bersikap keras kepala dan lupakan semua yang sudah kukatakan kemarin. Berjanjilah untuk tidak bertemu ibuku lagi."

Bibir Elsa bergetar karena tangis yang ia tahan. Bahkan untuk menatap Rexan pun ia tak berani karena kemuraman yang melingkupi ekspresi lelaki itu.
"Terserah kamu saja. Lepaskan aku."

Rexan mengeratkan pegangannya di lengan Elsa, "Kamu tidak mendengarku, Els! Aku tahu kamu tersinggung dengan tindakanku kemarin. Tapi haruskah menjadi masalah serumit ini? Aku bahkan sudah minta maaf! Tentang ibuku, aku hanya ingin menjagamu!"

"Kamu yang membuatnya rumit. Kamu yang meragukan perasaanku! Dan ketakutanmu tentang Bibi, demi Tuhan ibumu tidak menyakitiku!" Elsa terengah-engah. Ia juga bisa marah. Ketika kemarahannya mencapai batas maksimal, tidak ada yang bisa mencegah air matanya mengalir.

"Baiklah! Aku yang salah! Dan aku minta maaf!" Rexan menghempaskan pegangannya pada gadis itu. Dia mengusap wajahnya gusar, lantas menangkup kedua sisi wajah Elsa. "Jangan menangis. Aku hanya tidak ingin kehilanganmu." bisiknya putus asa, nyaris terdengar seperti orang ketakutan.

Elsa melepas tangan Rexan dari wajahnya, dia menghela napas. Air mata di pipinya ia seka dengan kasar. Sebenarnya, dia iba kepada Rexan. Tapi keegoisannya lebih mendominasi. Rexan harus diberi pelajaran supaya tidak berkata atau berpikir sembarangan tentang perasaannya.

Setelah menatap tepat di kedua mata Rexan, Elsa memilih untuk menyingkir dari tempat itu. Seperti katanya tadi, mereka butuh waktu untuk berpikir.

"Els," panggil Rexan kemudian. Ia memutar badan, tetapi Elsa tidak mendengarnya. Gadis itu telah masuk ke kamarnya, dan terdengar bunyi 'klik' pelan yang menandakan bahwa Elsa mengunci pintu kamarnya.

***


Next: Beautiful Desire - 16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan yaa :)

My Step Brother - 6 (Ending)

Chapter 6 ( Ending) Dua hari kemudian Bian membuka akun instagramnya. Gerahamnya segera saja bergemeletuk menahan geram ketika menda...