NOT FOR UNDERAGE
Dering ponsel yang
nyaring membangunkan Rexan dari tidurnya. Suasana gelap di dalam kamar
langsung menyambutnya. Hari sudah malam ternyata. Tirai yang tidak
dibuka dan lampu yang belum dinyalakan membuat kamarnya terlihat lebih
gelap.
Rexan berdiri, berjalan
menuju pintu dan menekan sakelar lampu. Kemudian ia beranjak keluar dari
kamar untuk menghampiri asal deringan ponsel itu. Itu milik Elsa,
tertera nama 'Daddy' di layar ponsel yang kini berada di tangan Rexan
itu.
Oh, tadi ia bertengkar
dengan Elsa, Rexan tentunya tak lupa akan hal itu. Dan sekarang, setelah
beberapa jam berlalu dia mulai merindukan Elsa. Itu bahkan baru
beberapa jam sejak terakhir ia bertemu gadisnya, bagaimana bila ia
kehilangan Elsa untuk selamanya? Rexan tak berani membayangkan hal itu
terjadi.
Digesernya layar ponsel itu untuk menjawab panggilan. Alfredo Moriz langsung mengenali suaranya begitu ia bergumam 'halo'.
"Di mana putriku?"
"Di apartement-nya tentu saja. Ponselnya tertinggal di tempatku." Rexan menjawab tenang.
"Kau apakan putriku? Tidak biasanya ia melupakan benda sepenting ponsel."
Ah, firasat seorang
ayah. Rexan merutuki hal itu. Tapi masih dengan tenang ia kembali
menjawab,
"Tadi ia terburu-buru kembali ke apartement-nya karena suatu
hal yang lebih penting daripada ponsel."
"Begitukah?" Rexan
mendengar nada curiga pada suara Alfredo, "aku tidak akan segan
memulangkan putriku ke rumahnya jika kau macam-macam anak muda."
"Maka aku akan
menyusulnya ke rumahnya." Rexan mendesis, tidak setuju dengan gagasan
bahwa Elsa akan diambil dari sisinya bahkan oleh ayah gadis itu sekali
pun.
"Maka jaga putriku baik-baik. Sampaikan padanya kalau aku menelepon. Kututup."
Orang tua itu
benar-benar mengesalkan. Sangat berbeda dengan istri dan anaknya yang
lemah lembut.
Ah, Elsa. Rexan keluar dari apartement-nya, berdiri di
depan pintu apartement Elsa yang tertutup rapat. Sebenarnya, bisa saja
ia masuk. Tetapi berpikir tentang kemungkinan Elsa yang tengah marah
karena ucapannya siang tadi, ia tidak melakukannya. Ia menekan bel
hingga beberapa kali namun hasilnya sama: tidak ada jawaban.
Rexan menghela napas. Ia
memutuskan untuk kembali ke apartemennya dan kembali tidur dengan
kesepian tanpa adanya Elsa yang ia peluk. Gadis itu memang wajar merasa
marah. Sebab Rexan sendiri pun sadar bahwa dirinya keterlaluan.
Mempunyai banyak pengalaman dengan perempuan mestinya membuatnya paham
bahwa meragukan perasaan perempuan tidak semestinya ia lakukan. Tapi,
sekali lagi, Elsa berbeda. Gadis itu memiliki tempat yang berbeda di
hatinya. Maka dari itu perlakuannya kepada Elsa pun berbeda.
Paginya, Rexan langsung
berangkat ke sekolah untuk mengajar tanpa menunggu Elsa keluar dari
apartement milik gadis itu. Ia sengaja berangkat lebih pagi dan menunggu
Elsa di depan gerbang sekolah. Tetapi, sampai bel masuk berbunyi pun
Elsa tetap tidak datang. Ia merogoh ponselnya, dan mengumpat ketika
ingat bahwa ponsel Elsa ada padanya.
Ke mana gadisnya itu
pergi? Tanpa mempedulikan jadwal mengajarnya hari itu, Rexan bergegas
kembali ke mobilnya dan memacunya kembali ke apartement. Ingin
memastikan ada atau tidaknya Elsa di tempat itu.
Elsa yang tidak berada
di apartement membuat Rexan cemas. Demi Tuhan, siapa pun bisa mencelakai
Elsa. Dan jika itu terjadi, maka Rexan, maka dia... Rexan mengacak
rambutnya. Satu-satunya teman Elsa adalah Kenia, jadi ia menghubungi
Kenia dengan ponsel milik Elsa yang ada padanya.
"Halo, El? Kamu di mana?
Kenapa tidak masuk hari ini? Kamu baik-baik saja?" tanya Kenia beruntun
mengira bahwa Elsa yang sedang meneleponnya.
Dari pertanyaan Kenia, Rexan langsung mengambil kesimpulan kalau sahabat gadisnya itu tidak tahu tentang keberadaan Elsa.
"Ponselnya ada padaku
dan aku tidak tahu di mana dirinya saat ini. Jika kau bertemu dengannya,
langsung hubungi aku." titah Rexan lantas menutup panggilan. Rexan
mengusap wajahnya dengan kasar, ia mengambil ponselnya sendiri dan
menghubungi Gerald, orang kepercayaannya.
"Cari gadisku sampai kau menemukannya."
Setelahnya, Rexan
berjalan mondar-mandir di kamar Elsa. Dia berpikir tentang tempat yang
kemungkinan Elsa kunjungi. Ia yakin Elsa tidak pulang sejak semalam.
Demi apapun, ia khawatir. Ibunya mengetahui Elsa sebagai kekasihnya, dan
itulah masalahnya.
Rexan berlari menuju
mobilnya, melajukannya tanpa tujuan karena nyatanya Elsa tidak senang
pergi ke mana pun. Gadis itu tidak punya tempat yang sering dikunjungi
atau disukainya. Elsa lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya
ketimbang pergi berjalan-jalan atau bermain dengan teman-temannya. Akan
sulit mencari Elsa dengan keadaan begitu.
Mobil Rexan menepi di
sebuah taman. Ia turun dari sana, berpikir mungkin Elsa ke tempat itu.
Karena bagaimana pun seorang perempuan identik dengan bunga dan taman
kan?
Tapi tidak ada Elsa di sana.
Tapi tidak ada Elsa di sana.
"Astaga, Els. Di mana kamu?" gumamnya kalut setelah beberapa menit mengelilingi taman dan tidak menemukan Elsa.
Ponselnya berdering, Rexan mengangkat panggilan dan menempelkan benda pipih itu ke telinganya.
"Ya, Gerald. Katakan."
"Anak buah saya melaporkan bahwa kemarin siang Nona Ellysa berada di pusat perbelanjaan terkemuka di kota, Tuan."
Artinya Elsa langsung pergi keluar setelah Rexan menyuruhnya pulang. "Ya, lalu?"
"Nona bertemu dengan ibu Anda. Dan kemungkinan besar Nona sedang bersamanya hingga saat ini."
"Apa?" Rexan mendesis, "baiklah. Selidiki ibuku, awasi rumahnya dan pastikan Ellysa selamat."
Sambungan telepon
diputus oleh Rexan. Ia menghembus napas berat. Meyakinkan diri bahwa
Elsa akan baik-baik saja bersama ibunya sungguh sulit. Dulu, ibunya juga
melakukan hal sma kepada tunangannya, mendekatinya perlahan solah
mencari celah, dan setelah menemukannya, ibunya bergerak cepat
menggunakan kesempatan itu. Tunangannya meninggal dalam sebuah
kecelakaan beruntun dengan sebuah bis pariwisata.
Rexan telah menyelidiki
semuanya. Bukti bahwa ibunya bersalah sudah ada di tangannya. Mengetahui
bahwa dalang dari kecelakaan yang menewaskan tunangannya adalah ibunya,
memukul Rexan dengan telak. Dia tidak bisa menghukum sang ibu, tidak
ada seorang pun anak yang tega menghukum ibunya. Tidak juga Rexan meski
ia tahu ibunya bersalah. Rexan tidak bisa menghukum ibunya sekeji apapun
watak yang ia sandang. Dia hidup tanpa kasih sayang ibunya, tetapi dia
menyayangi ibunya sebagaimana seorang anak umumnya.
Jika Jenny mengulangi
kesalahan yang sama, maka kali ini Rexan tidak akan tinggal diam. Setidaknya, dia akan melaporkan Jenny ke pihak yang berwajib supaya bisa
diadili. Itu sudah cukup untuk menghukum Jenny karena hukuman
keji-seperti yang Rexan lakukan terhadap Velin dan Rindy-sudah tidak
mungkin Rexan berikan kepada Jenny.
Gerald menelepon lagi saat Rexan sudah mengemudikan mobilnya di jalan raya.
"Ibu Anda sudah dalam perjalanan mengantar Nona pulang, Tuan. Saya sudah memastikannya."
Rexan menghembus napas lega, "Baiklah, Gerald. Awasi sampai Ellysa naik ke apartement-nya. Aku akan menunggu di sana."
***
Elsa menunduk di sebelah
jendela mobil Jenny yang terbuka. Ia baru saja diantar pulang oleh
Jenny, dan terpaksa meliburkan diri lagi ke sekolah karena hari sudah
siang. Semalam ia menginap di tempat Jenny, mengobrol sampai larut malam
sampai Jenny melarangnya pulang karena memikirkan keselamatannya.
Akhirnya, ia baru pulang dari rumah Jenny usai sarapan.
"Terimakasih, Bibi, sudah mengantarku pulang."
"Kapan saja, Dear. Kau boleh datang ke tempatku kapan pun kau mau."
"Ya, tentu saja."
"Kalau begitu aku pulang dulu. Sampai jumpa, sayang."
Elsa tersenyum. Bukankah Jenny baik sekali?
Kaca jendela satu arah
itu tertutup. Elsa tidak dapat melihat keadaan di dalam mobil. Jenny
mengulas senyum, menatap Elsa dengan geraham terkatup. Dia menekan
klakson dan mulai melajukan mobilnya. Meninggalkan tempat Elsa dengan
perasaan puas. Satu rencana sudah ia jalankan. Satu per satu, pelan
namun pasti semua rencananya akan menuai hasil.
Elsa menunggu hingga
mobil yang Jenny kendarai berjalan agak jauh sebelum kemudian naik ke
apartement-nya. Dia menunggu dengan tenang sampai lift mengantarkanya
menuju lantai apartement miliknya. Ketika pintu lift terbuka, ia
melenggang, sampai kemudian matanya menangkap keberadaan Rexan yang
berdiri kaku tak jauh di depannya.
Ia menghela napas,
kembali merasa sakit hati. Siapa yang tak akan sakit hati bila
perasaannya diragukan? Apalagi Elsa telah memberikan segalanya kepada
Rexan.
"Dari mana kamu?"
Elsa tidak menjawab. Ia
mendiamkan Rexan namun tak melarang saat Rexan mengekorinya masuk ke
apartement-nya. Lelaki itu pasti baru sadar kalau Elsa tidak di
apartement semalaman pagi ini. Dan tujuan Rexan ada di sana pasti untuk
mengetahui keberadaannya. Apapun itu, Elsa tak peduli. Entah mengapa ia
merasa begitu kecewa kepada Rexan.
"Els," Rexan meraih lengan Elsa, mencegah apapun yang akan gadis itu lakukan supaya tidak mengacuhkannya.
"Apa lagi Rexan?"
"Aku bertanya padamu.
Dari mana saja kamu? Kamu pasti tidak pulang semalaman kan? Di mana kamu
bermalam? Kenapa kamu tidak memberitahuku? Aku khawatir, Els! Tidakkah
kamu mengerti?" Rexan meninggikan nada suaranya.
"Apa itu masih penting untukmu? Bukannya kamu yang menyuruhku untuk tidak mengganggumu?"
Rexan menghela napas,
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk mengatakan hal seperti itu
kemarin. Aku hanya berpikir kalau kamu tidak menginginkan bayi dariku."
"Memang tidak." Elsa berbalik, berjalan ke arah lemari pendingin dan mengambil sobotol air mineral dari dalamnya.
"Apa maksudmu, Els? Jangan membuatku salah paham dalam mengartikan ucapanmu."
"Lalu setelah kamu salah
paham, kamu akan mengatakan sesuatu yang bisa menyakitiku. Kamu akan
mengusirku lagi dan berkata tidak ingin kuganggu. Itukah yang akan kamu
lakukan?"
Gadis ini masih marah.
Menghadapi perempuan marah selalu membuar Rexan jengkel. Rasa sabarnya
sungguh tipis dan ia yakin Elsa tahu itu.
"Jangan menguji
kesabaranku, Els. Aku sudah minta maaf dan menjelaskan bahwa aku tidak
bermaksud menyakitimu. Dan aku tahu kamu bertemu dengan ibuku. Apa yang
sudah kukatakan tentang itu, Els?"
"Kalau begitu aku juga
minta maaf, dan kujelaskan bahwa aku tidak bermaksud untuk menguji
kesabaranmu. Tentang ibumu, aku memang bertemu dengannya. Sekarang
kumohon jangan ganggu aku. Aku ingin tenang dulu."
Elsa meletakkan botol
minuman yang belum tersentuh isinya. Kembali mengabaikan Rexan yang
sudah menahan marah. Dia mengambil langkah, namun di langkah pertamanya
Rexan meraih lengannya dan mendesaknya ke dinding pembatas antara ruang
tamu dan dapur. Dia menjerit kecil karena punggungnya membentur
permukaan dinding yang keras dan dingin.
"Sudah kubilang jangan
menguji kesabaranku, Ellysa. Jangan bertemu ibuku tapi kamu
membangkang!" Rexan berucap dingin di depan wajah Elsa.
Kedua lengannya berada
di dalam cengkraman Rexan. Elsa meringis sakit, ia yakin lengannya akan
memerah. Ia mendongak, membalas tatapan Rexan dengan sama marahnya.
"Kamu membentakku?! Aku tidak mengerti di mana letak kesalahan-"
"Tindakanmu yang masa
bodoh begini malah semakin membuatku yakin kalau kamu tidak mencintaiku,
Els. Ibuku bukan orang baik dan kamu tidak tahu itu!"
Elsa menghela napas, matanya muli memerah menahan tangis karena tak terbiasa dibentak oleh Rexan.
"Lepaskan aku. Kita butuh waktu untuk berpikir-"
"Tidak ada yang perlu
kupikirkan. Kamu yang perlu disadarkan kalau tidakanmu ini salah. Tidak
seharusnya kamu percaya pada ibuku, Els."
"Aku? Jadi ini semua
salahku? Kamu bahkan tidak memberiku alasan kenapa aku harus menjuhi
ibumu, Rexan!" jerit Elsa tak percaya bahwa dirinya yang disalahkan.
"Jangan meningguikan
suara kepadaku, Ellysa." Rexan menghardik, membuat Elsa tersentak dan
takut, "Sekarang berhenti bersikap keras kepala dan lupakan semua yang
sudah kukatakan kemarin. Berjanjilah untuk tidak bertemu ibuku lagi."
Bibir Elsa bergetar
karena tangis yang ia tahan. Bahkan untuk menatap Rexan pun ia tak
berani karena kemuraman yang melingkupi ekspresi lelaki itu.
"Terserah kamu saja. Lepaskan aku."
Rexan mengeratkan
pegangannya di lengan Elsa, "Kamu tidak mendengarku, Els! Aku tahu kamu
tersinggung dengan tindakanku kemarin. Tapi haruskah menjadi masalah
serumit ini? Aku bahkan sudah minta maaf! Tentang ibuku, aku hanya ingin
menjagamu!"
"Kamu yang membuatnya
rumit. Kamu yang meragukan perasaanku! Dan ketakutanmu tentang Bibi,
demi Tuhan ibumu tidak menyakitiku!" Elsa terengah-engah. Ia juga bisa
marah. Ketika kemarahannya mencapai batas maksimal, tidak ada yang bisa
mencegah air matanya mengalir.
"Baiklah! Aku yang
salah! Dan aku minta maaf!" Rexan menghempaskan pegangannya pada gadis
itu. Dia mengusap wajahnya gusar, lantas menangkup kedua sisi wajah
Elsa. "Jangan menangis. Aku hanya tidak ingin kehilanganmu." bisiknya
putus asa, nyaris terdengar seperti orang ketakutan.
Elsa melepas tangan
Rexan dari wajahnya, dia menghela napas. Air mata di pipinya ia seka
dengan kasar. Sebenarnya, dia iba kepada Rexan. Tapi keegoisannya lebih
mendominasi. Rexan harus diberi pelajaran supaya tidak berkata atau
berpikir sembarangan tentang perasaannya.
Setelah menatap tepat di
kedua mata Rexan, Elsa memilih untuk menyingkir dari tempat itu.
Seperti katanya tadi, mereka butuh waktu untuk berpikir.
"Els," panggil Rexan
kemudian. Ia memutar badan, tetapi Elsa tidak mendengarnya. Gadis itu
telah masuk ke kamarnya, dan terdengar bunyi 'klik' pelan yang
menandakan bahwa Elsa mengunci pintu kamarnya.
***
Next: Beautiful Desire - 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan yaa :)