Rabu, 04 Oktober 2017

Beautiful Desire - 19

NOT FOR UNDRAGE


Rexan meninggalkan ruangannya begitu pesan dari ponsel Elsa yang dikirimkan oleh Kenia masuk ke ponselnya. Kenia memberitahu kalau gadisnya pingsan begitu saja di depan kelas saat akan pergi ke kantin. Elsa memang pucat tadi pagi, tetapi kondisi gadis itu terlihat sehat dan segar. Elsa bahkan meyakinkan Rexan kalau dirinya baik-baik saja dan bisa pergi sekolah.

Lain kali, Rexan tidak akan mendengarkan begitu saja kalau dilihatnya Elsa tengah tidak sehat dan gadis itu meyakinkan bahwa dirinya sehat. Ia tak mau kejadian seperti saat ini terjadi lagi. Itu hanya membuatnya kalang kabut sendiri.

Rexan menerobos kerumunan di depan kelas Elsa. Gadisnya benar-benar tengah tak sadarkan diri. Yang membuat Rexan geram adalah, teman-teman Elsa hanya menonton, tidak ada satu pun yang berniat membawa Elsa ke dalam kelas atau ke ruang kesehatan.

“Berikan dia padaku.”

Kenia yang berada di sebelah Elsa langsung menyingkir. Wajah gadis itu diliputi kecemasan. Kenia akan mengikuti Rexan yang langsung menggendong Elsa kalau Rexan tak mencegahnya. Rexan tidak mempedulikan pandangan para anak didiknya yang mungkin saja heran dengan caranya memperlakukan Elsa. Dia tidak peduli.

Rexan tidak membawa Elsa ke ruang kesehatan di sekolah itu. Pemeriksaan oleh dokter lebih ia percayai daripada petugas di ruang kesehatan. Lagipula ia harus memastikan sesuatu. Ia membopong Elsa ke mobilnya dan melaju ke rumah sakit. Elsa tak kunjung bangun, itu membuatnya semakin cemas. Tiba di rumah sakit, ia menggendong Elsa lagi sampai ke ruang praktek dokter Delia. Dokter Delia adalah temannya, dan menjadi dokter pribadinya sejak beberapa tahun lalu.

“Baringkan dia di sana.” Delia menunjuk brangkar yang merapat ke dinding ruangannya. Ia melakukan serangkaian pemeriksaan. Rexan menunggu dengan sedikit kalut yang iasembunyikan. Saat Delia kembali ke mejanya, Rexan bergegas mengikuti dokter cantik itu.

“Kapan dia akan bangun? Bagaimana hasil pemeriksaanmu? Apa dia baik-baik saja?” tanyanya beruntun.

Delia menyipitkan mata, “Siapa gadis itu?”

“Oh, ayolah, Delia. Apa itu penting? Dia anak didikku. Sekarang katakan padaku bagaimana keadaannya.” desak Rexan tak sabar.

“Maksudmu kau meniduri anak didikmu, begitu?” mata Delia memicing.

“Tidak penting aku meni—tunggu,” bola mata Rexan menajam, “apa dia hamil?” tanyanya mendadak merasa tegang. Delia tidak pernah mengurusi kehidupan seksualnya. Saat Delia mengurusinya, berarti sesuatu telah terjadi. Dan hipotesisnya mengatakan kalau Elsa tengah hamil.

“Tiga minggu.” Jawab Delia datar.

Rexan melemas di kursi yang didudukinya. Ia mengusap wajah dengan telapak tangannya. Sesaat kemudian senyumnya terbit, dugaannya tak salah. Lantas ia terkekeh, tampak begitu bahagia.

“Brengsek! Kau tertawa karena berhasil menghamili gadis belia, Rexan? Apa kau gila?! Kau telah merenggut masa depannya!” raung Delia merasa marah sendiri.

Delia tak bisa membayangkan bagaimana gadis itu akan melanjutkan hidup ke depannya, atau bagaimana reaksi keluarga gadis itu. Pasti orang tua gadis itu sangat kecewa. Hamil di usia sebelia itu bukanlah hal mudah. Rentan akan kecelakaan. Delia mengepalkan tangan, menatap Rexan dingin. Ia pernah mengalami apa yang gadis itu alami. Ayahnya tak mau mengakuinya sebagai anak karena kehamilannya. Dan karena usianya cukup muda saat itu, ia keguguran.

“Aku mencintainya, dan aku akan bertanggung jawab. Aku tahu kau cukup buruk dalam kasus ini, Delia. Tapi yang harus kau ingat, aku tidak akan membiarkan itu terjadi kepada gadisku.” Rexan menjawab tenang, sangat tahu tentang masa lalu Delia.

Delia menghela napas, mengenyahkan seluruh memori masa lalu kelamnya, “Ya, maafkan aku.”

“Tapi, bagaimana bisa dia hamil? Beberapa hari lalu dia melakukan tes dengan testpack, tapi hasilnya negatif.”

“Testpack tidak selalu akurat, Rexan. Ada beberapa kejadian yang membuat hasil tes dengan benda itu tidak benar. Tapi kupastikan gadis itu memang hamil.”

“Siapa yang hamil?”

Delia dan Rexan menoleh bersamaan. Rexan segera berdiri dan menghampiri Elsa. Ia membantu Elsa turun dari brangkar dan memeganginya karena gadis itu tidak bisa berdiri dengan benar.

“Masih pusing?”

Elsa menggeleng, ia menatap Rexan penuh desakan supaya lelaki itu menjawab pertanyaannya.

“Kita bicarakan di rumah. Kondisimu masih lemah jika harus bicara di sini.”

Elsa mengangguk setuju. Setelah berterimakasih pada Delia, Rexan membawa gadis itu ke rumahnya. Sekilas Elsa mendengar dokter Delia menyuruh Rexan untuk menjaganya supaya kejadian seperti hari ini tak terjadi lagi.

Elsa tertidur di mobil selama perjalanan pulang. Tiba di rumahnya, Rexan kembali menggendong gadis itu. Elsa terbangun ketika pintu rumah dibuka oleh Bi Nah. Rexan baru menurunkannya di sofa ruang tamu. Lelaki itu berjongkok di hadapannya dan meminta Bi Nah untuk mengambilkannya air.

“Minumlah.” Rexan memberikan segelas air yang baru saja Bi Nah angsurkan kepadanya. Elsa meminum air itu sampai tandas dan mengembalikan gelasnya kepada Bi Nah.

“Apa... aku hamil?” tanya Elsa pelan.

Rexan meraih tangan Elsa dan mengecupnya, “Maafkan aku. Tapi aku senang dan tidak menyesal sama sekali telah membuatmu hamil.” katanya dengan kearoganan yang tak ditutup-tutupi.

Mata Elsa memanas. Ia takut. Apa yang akan ia jelaskan kepada ayah dan ibunya? Bagaimana dengan sekolahnya—masa depannya? Bagaimana anggapan teman-temannya tentang dirinya?

Tatapan Rexan melembut. Mau tak mau ia merasa bersalah. Ia beranjak duduk di sebelah Elsa dan menarik gadis itu ke pelukannya. Gadis itu langsung menangis. “Tenanglah, aku akan menjagamu. Kamu tidak perlu memikirkan apapun.”

“Aku sudah mengingatkanmu untuk menggunakan pengaman, tapi kamu selalu mengabaikannya. Dan akibatnya... aku takut, Rexan.” Elsa mencengkram kain kemeja Rexan. Tubuhnya bergetar.
Rexan mengusap punggung Elsa pelan, “Ssst, tidak ada yang perlu kamu takuti. Kita akan melewatinya bersama-sama.”

Elsa mengurai pelukannya, ia mengusap perutnya, “Aku tidak mau hamil saat ini, tapi aku juga tidak bisa menolak bayiku.”

Rexan menyeka air mata Elsa dengan lembut. Tangannya menangkup punggung tangan Elsa, ikut mengusap perut gadis itu. Ia tersenyum tipis, “Berjanjilah untuk membantuku menjaganya.”

“Kamu pikir aku akan tega menyia-nyiakan bayiku sendiri?” Elsa memberengut.

“Tidak. Kamu tidak akan pernah tega karena kamu sangat mencintaiku.”

Elsa mendengus, “Percaya diri sekali.”

“Kalau aku tidak percaya diri, sudah sejak awal aku menyerah akan dirimu. Kamu tidak tahu betapa aku sangat berusaha untuk mendapatkanmu dulu. Asal kamu tahu, kamu sudah melukai harga diriku dengan menolak untuk kutiduri.” ujar Rexan panjang lebar.

“Memangnya perempuan mana yang mau-mau saja ditiduri oleh lelaki buaya seperti dirimu?”

Tawa Rexan berderai. Ia mengecup wajah Elsa dengan gemas. Elsa dan kejujurannya terkadang memang terasa pedas. “Aku mencintaimu.” ungkapnya tulus.

Senyum tipis Elsa tersungging di bibirnya yang sedikit pucat. Ia menyandarkan tubuhnya ke tubuh Rexan. Tiba-tiba merasa sangat ingin menghidu aroma parfum maskulin dari tubuh lelaki itu. “Aku juga mencintaimu.”

Sekarang Rexan baru sadar. Kelabilan Elsa beberapa hari belakangan yang membuat masalah mereka membesar mungkin saja karena faktor kehamilan itu. Sebenarnya dia cukup terkejut saat tiba-tiba mendapati Elsa di apartement-nya waktu itu. Kemarahan Elsa seperti memudar begitu saja, dan mendadak, masalah mereka selesai.

***

“Kenny, aku hamil.” bisik Elsa tiba-tiba kepada Kenia yang duduk di seberangnya. Mereka kini berada di tempat makan yang tempo hari mereka datangi. Tentu saja Elsa yang menarik Kenia untuk mampir di tempat itu.

Kenia yang tengah meminum minuman yang dipesannya sontak saja tersedak. Matanya membulat, menatap penuh keterkejutan kepada Elsa yang tampak berbinar-binar begitu sesendok es krim meluncur di tenggorokannya.

“El, kamu serius?” tanyanya seolah tak percaya.

Dan Elsa hanya mengngguk senang, “Ini dingin sekali. Kamu mau mencobanya?” dia menawarkan es krimnya kepada Kenia.

Kenia mengernyit kemudian menggeleng. Dia sudah tidak memakan es krim sejak umurnya sembilan tahun.

“Bagaimana pendapat Pak Rexan tentang ini? Dia akan bertanggung jawab kan?” tanyanya was-was. Dia masih belum begitu percaya kepada Rexan.

“Tentu saja!” angguk Elsa, “kami akan menjaga bayi ini bersama-sama.”

“Yah, harusnya aku tahu.” Kenia menghela napas, “bagaimana dengan ayah dan ibumu?”

“Meski mereka menyembunyikannya tapi aku tahu pasti kalau mereka kecewa.” tutur Elsa muram, “sekarang mungkin saja Rexan sedang menghadapi kemarahan Dad. Semalam kami memberitahu Dad dan Mom, dan Dad langsung meminta Rexan untuk menemuinya.”

Kenia tersenyum menenangkan, “Dia pasti bisa menanganinya, percaya saja.”

“Kuharap begitu,”

“Lalu bagaimana dengan sekolahmu?”

Wajah Elsa berubah keruh. Kenyataan bahwa dirinya hamil tentu saja mengharuskannya berhenti sekolah. Ia keberatan, itu sudah pasti. Tetapi, mau bagaimana pun ia tetap harus berhenti. Tak akan ada sekolah yang mau menerima seorang murid yang hamil, terlebih di sekolahnya.

Untuk itu, dia sudah memikirannya. Berhenti sekolah tidaklah terlalu berat. Namun begitu, kondisi kehamilannyalah yang memberatkan. Sekeluarnya dia dari sekolah, pasti akan ada banyak orang yang membicarakannya. Apalagi Velin dan Rindy masih memusuhi dirinya meski tak bertindak kasar padanya. Dia hanya berharap agar Rexan bisa mengatasi itu semua untuknya.

Kenia yang melihat Elsa muram meraih tangan gadis itu, “Tidak apa-apa, aku pasti membantumu.”

“Terimakasih, Kenny,” Elsa balik meremas tangan Kenia, “aku cukup takut dengan komentar buruk mereka tentangku. Salahku juga tidak bisa mengatasi ini semua. Mau bagaimana, aku hamil sekarang.”

“Ya, kamu mencuri start dengan hamil lebih dulu dariku padahal aku yang lebih dulu melakukan itu dengan Aidan.” Kenia pura-pura marah, tak ingin Elsa terlarut dalam penyesalannya.

Elsa tertawa kecil, “Mungkin Aidan-mu kurang berusaha. Kamu tahu, Rexan sangat menginginkan bayi ini. Mungkin saja dia memang sengaja membuatku hamil.”

“Laki-laki memang begitu, kalau sudah berkeinginan pasti diusahakan. Aidan juga sempat membicarakan tentang bayi padaku, tapi tentu saja aku menolaknya.”

“Dan dia tidak marah padamu?"

“Tidak. Dia bilang dia memang menginginkannya, tapi tidak sekarang. Saat ini dia masih sibuk mengembangkan bisnisnya, katanya tak ada waktu untuk memikirkan anak.”

“Rexan juga sibuk, tapi dia tidak begitu. Dia malah terlihat sangat senang karena aku hamil.”

“Itu karena dia sangat mencintaimu. Dia begitu menginginkn adanya anak di antara kalian supaya bisa mengikatmu.”

Elsa tersenyum. Pipinya bersemu karena senang. Ponselnya berderit, ada pesan yang masuk dari nomor asing. Dia membukanya.

Hai, Dear, ini aku.

Kening Elsa mengernyit dalam.

Kenia menggerakkan bibirnya dan bertanya, “Siapa?”

“Entahlah.” Elsa mengangkat pundaknya acuh. Pesan itu datang lagi.

Ini aku, ibu dari kekasihmu. Kuharap kau tidak melupakanku, Sayang. Bagaimana kabarmu? Bisakah kita bertemu?

Elsa memberitahu Kenia bahwa yang mengiriminya pesan adalah ibu Rexan, dia menimang ponselnya dengan gamang. Haruskah dia balas? Kalau tidak, tidakkah terlalu kentara kalau dia menghindari Jenny? Tidakkah itu kemudian menimbulkan bahaya kalau Jenny tahu dirinya tengah mengindar dari segala jenis urusan dengan perempuan itu?

Ia memutuskan untuk membalasnya.

Aku baik, Bibi. Terimakasih.

Baguslah kalau begitu. Aku ingin sekali menemuimu, tetapi aku takut putraku itu marah. Tidak hanya padaku, tetapi padamu juga.

Elsa juga tidak bisa asal menemui Jenny. Rexan benar-benar melarangnya. Dia tak ingin membuat Rexan marah. Kalau memang benar kejiwaan Jenny terganggu, maka dia harus waspada. Ia menulis di keyboard ponselnya.

Aku akan mencari waktu yang tepat supaya kita bertemu, Bibi. Bibi tenang saja.
Terimakasih, Sayang. Aku ingin bertanya banyak tentang Rexan. Dia sama sekali tak mau berbicara padaku. Aku sangat sedih karena itu. Tetapi jika ada kau, aku setidaknya bisa mengetahui kabarnya darimu.

Ya, Bibi. Aku akan menghubungimu lagi nanti. Sekarang aku sedang bersama temanku.

Oh! I’m sorry, Dear, aku sudah mengganggu ya? Ya sudah, see you later,

Elsa menyimpan kembali ponselnya di atas meja. Dia berharap Jenny tak menghubunginya lagi, dan tidak menagih janji untuk bertemu. Elsa tak mau situasinya menjadi runyam.

“Kamu tidak bilang padaku kalau kamu sudah 'sedekat' itu dengan ibu Rexan.” tegur Kenia.

Elsa bertopang dagu, “Kasihan sekali Bibi Jenny. Rexan tidak mau berurusan dengannya sama sekali. Bahkan aku saja dilarangnya untuk bertemu dengan Bibi Jenny.”

“Dan kenapa begitu?”

“Jangan katakan ini pada siapa pun, Kenny,” Elsa berucap lemah, “Rexan pernah bertunangan, tetapi tunangannya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Dan dia meberitahuku kalau dalang dari kecelakaan  itu adalah Bibi Jenny. Rexan bilang, kejiwaan Bibi Jenny bermasalah.”

Kenia terlihat terkejut, itu wajar menurut Elsa. Karena sampai sekarang pun ia tak percaya bahwa Jenny tega kepada putranya sendiri.

“Kalau itu itu masalahnya, masuk akal jika dia melakukan itu semua. Kamu harus berhati-hati, Els.”

“Ya, Rexan juga berkata begitu. Dia melarang keras padaku untuk berhubungan dengan ibunya.” Elsa memutar-mutar ponselnya.

“Untuk saat ini, kupikir kamu harus menuruti Rexan. Aku khawatir masalah Rexan dengan ibunya berimbas padamu dan juga bayimu. Rexan pasti ingin yang terbaik untuk kalian.”

“Ya, kamu benar.” Elsa mengangguk, senang karena Kenia selalu berhasil membuat perasaannya lega. Tanpa sengaja dia melihat ke arah pintu masuk Cafe, ada Aidan yang sedang menunggu di luar mobil.

“Kamu pasti mengaktifkan mode silent pada ponselmu.” duga Elsa yakin.

“Kamu tahu?”

Elsa mengedik ke arah luar. Kenia mengikuti pandangan sahabatnya dan berdecak.

“Sial! Dia pasti marah. Dia tak suka bila disuruh menunggu.” Kenia membereskan tasnya.

“Kalau begitu cepatlah sebelum dia semakin marah.”

“Ya, hubungi aku kalau ada apa-apa.”

“Tentu saja, terimakasih Kenny.”


Next: Beautiful Desire -20
PENGUMUMAN!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan yaa :)

My Step Brother - 6 (Ending)

Chapter 6 ( Ending) Dua hari kemudian Bian membuka akun instagramnya. Gerahamnya segera saja bergemeletuk menahan geram ketika menda...