Rabu, 04 Oktober 2017

Beautiful Desire - 18

NOT FOR UNDERAGE


Elsa mendesah malas. Beberapa jam sudah berlalu dan Rexan belum juga kembali ke apartement-nya. Elsa mulai bosan menunggu. Tapi, ia merindukan Rexan. Entah kenapa ia tiba-tiba sangat merindukan Rexan. Kemarahannya pun seolah sirna, berganti rindu yang teramat besar.
Menjawab apa yang ditunggunya, pintu apartement terbuka. Elsa berdiri, melihat Rexan yang sedikit terluka di pelipisnya dan langkah lelaki itu tidak sempurna. Ia menghampiri Rexan dengan cepat. Suara kesiap kecil meluncur dari bibirnya saat Rexan tiba-tiba memeluknya dan menciumnya.

Elsa memeluk leher Rexan. Tubuhnya sedikit terangkat karena pelukan Rexan di sekeliling tubuhnya yang sangat erat. Ia membalas ciuman itu, meluapkan kerinduan yang ia tahan beberapa saat lalu. Mulutnya terbuka, lidah Rexan masuk ke dalamnya dan membelit lidahnya. Elsa melenguh merasakan darahnya berdesir hebat.

Rexan menarik kepalanya dan membenturkan dahinya ke dahi Elsa, "Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu, Els."

Tenggorokan Elsa tercekat. Ia mengangguk-angguk lalu membenamkan wajah di dada Rexan. Ia tahu dirinya cengeng, tapi ia tak tahu kalau dirinya secengeng ini. Air matanya keluar begitu saja.

"I love you more." balasnya lirih.

Rexan mengusap rambut Elsa, ia mengecup puncak kepala gadisnya dengan sayang.

"Dengarkan aku, apapun yang terjadi, aku akan menjagamu. Aku pasti akan menjagamu Els."

Elsa mengangguk lagi. Kepalanya terangkat, air matanya Rexan seka dengan tangan besarnya. Elsa menangkup kedua sisi wajah Rexan, bibirnya mengulum senyum tipisnya. Darah di pelipis Rexan yang mulai mengering tak luput dari perhatiannya.

"Luka apa ini?"

"Hanya luka kecil, akan segera sembuh saat kamu menciumku."

Luka di pelipisnya itu Rexan dapatkan karena kecelakaan kecil tadi. Ia beruntung karena hanya pelipisnya yang membentur mobil dan terluka sementara bagian tubuhnya yang lain tidak apa-apa. Berbeda halnya dengan supir truk tadi. Truk itu menabrak pohon dan supirnya bisa dibilang terluka parah. Rexan langsung menghubungi orang-orangnya untuk membereskan kecelakaan itu. Si supir truk dia biayai di rumah sakit berikut segala kerugian ia tanggung. Bagaimana pun semua itu salahnya.

Tawa kecil Elsa mengalun, sekarang dia senang sekali. Usia remajanya tidak bisa berbohong dilihat dari kelabilannya.

"Sebaiknya kamu mandi, kamu terlihat berantakan." Elsa melepaskan diri dari pelukan Rexan. Sepersekian detik kemudian ia kembali memekik kecil karena tubuhnya melayang karena Rexan menggendongnya. Mereka nyaris menabrak dinding karena Rexan melangkah goyah.

"Aku merasa pusing, sayang. Kamu harus memandikanku."

Elsa memutar bola matanya. Tahu pasti kegiatan mandi itu tidak akan hanya sekedar mandi, tetapi, ia tidak keberatan. Sudah ia katakan kalau dirinya merindukan Rexan, bukan? Dengan senang hati ia mengambil sabun dan menyabuni punggung Rexan saat Rexan menyodorkan sabun cair itu ke tangannya.

Punggung Rexan sangat lebar. Pundaknya kokoh, bisepnya terpahat sempurna. Elsa sangat menyukainya. Rambut lelaki itu sudah sedikit memanjang, Elsa mengambil shampo, menuang ke tangan dan mengusapkannya ke kepala Rexan, sesekali ia memijit kepala lelaki itu, membuat Rexan merasa rileks.

Merasa sudah cukup, Rexan meraih tangan Elsa lantas membawa gadis itu duduk di pahanya berhadapan dengannya. Elsa masih lengkap dengan seragamnya, gadis itu pasti langsung ke apartement-nya tanpa berganti baju lebih dulu, pikir Rexan tersenyum.

"Maafkan aku. Kamu tahu, aku terlalu menyayangimu. Sampai ketika melihat kamu begitu lega karena tidak hamil anakku, membuatku sedikit merasa... yah... kecewa. Harusnya aku tidak seperti itu. Kamu masih harus sekolah dan-"

Elsa menghentikan perkataan Rexan dengan mengalungkan lengannya ke leher lelaki itu. Secara otomatis tubuhnya mendekat ke dada lelaki itu. Menurutnya, tidak hanya Rexan yang bersalah, dirinya juga.

"Maafkan aku juga. Benar katamu, aku yang terlalu membesarkan masalah. Tapi..." Elsa menggantung ucapannya, ia mengerling, "mungkin kamu kurang jantan hingga tidak membuatku langsung hamil."

Sudut bibir kanan Rexan terangkat, ia mengecup telinga Elsa lantas berbisik, "Kamu meragukan kejantananku, sayang? Mari buktikan seberapa tidak jantannya aku."

Elsa mendesah kecil. Kedua tangan Rexan membukakan seragamnya, menyentak bra-nya dan membuangnya sembarangan. Mata lelaki itu sudah berkabut. Elsa bahkan merasakan bukti gairah Rexan yang menonjol dan didudukinya.

Rexan menyetuh pipinya dengan lembut, lantas mengecup keningnya dengan sayang. "Aku mencintaimu."

***

Elsa bertopang dagu di meja makan sambil terus memperhatikan Rexan yang tengah membuatkan pancake yang dimintanya. Aroma matang pancake itu meruap, menggoda indra penciumannya. Elsa semakin tidak sabar begitu Rexan menuang madu ke atas pancake yang telah matang tersebut.

"Kuharap kamu menyukainya." Rexan meletakkan pancake buatannya di hadapan Elsa.

Gadis itu langsung mengambil sendok, lantas menyuapkan pancake itu ke mulutnya. Bibirnya mengulum senyum senang. Seolah hanya dengan makanan sederhana itu, Elsa sudah merasa sangat bahagia.

Mau tak mau Rexan tersenyum. Ia duduk di sebelah Elsa, menyangga kepala dengan tangan kirinya. Tangan kanannya terangkat guna menyingkirkan rambut nakal yang keluar dari ikatan rambut Elsa yang asal-asalan.

"Ibuku bukan orang baik, Els. Maka dari itu aku melarangmu bahkan hanya untuk sekedar bertemu dengannya."

"Kenapa?" Elsa mengulum sendoknya dengan cara yang membuat Rexan gemas, "Bibi tidak terlihat seperti orang jahat. Dia menjamuku dengan baik di rumahnya. Lagipula dia ibumu. Tidak seharusnya kamu memusuhinya, 'kan?"

Rexan bernapas muram. Cepat atau lambat dia harus menceritakan segalanya kepada Elsa. Gadis itu bisa salah paham jika dia terus menyembunyikan kebenaran. Selama ini dia menyembunyikannya, karena ia tahu, jika ia membeberkan semuanya, Elsa tidak akan semudah itu percaya padanya. Elsa terlalu naif, gadis belia itu akan memercayai apa yang ada di depan matanya. Bukan kisah semata yang bertentangan dengan apa yang saat ini terjadi. Tetapi setidaknya, Elsa tahu segalanya kalau dia menceritakannya.

"Aku tidak memusuhinya, bahkan aku mencintainya. Tetapi situasi tak berpihak padaku. Bagaimana kalau kukatakan bahwa kematian Cella, tunanganku, adalah karena ibuku? Ibuku adalah dalang dari kematiannya."

Elsa membuka bibirnya lantas bertanya, "Kenapa? Apa yang membuat ibumu begitu jahat seperti yang kau katakan?"

"Hubungan ayah dan ibu tidak mendapat restu keluarga ayah. Ayah mencintai ibu. Dan demi keselamatan ibu, ayah harus meninggalkannya. Ayah membawaku sebab ayah khawatir dengan adanya diriku, hidup ibu akan semakin susah. Jadi begitulah, ibu berpikir bahwa ayah telah mencampakkannya. Padahal, hidup ayah tak lebih baik setelah meninggalkan ibu." Rexan mengambil napas, "aku menyayangi ibuku, Els." lanjutnya pelan.

Ia mencintai tunangannya, juga menyayangi ibunya. Cella pernah menjadi bagian terpenting di hidupnya dan berharga baginya. Dan jika ada satu perempuan lagi yang sangat penting, maka itu adalah ibunya. Adalah Jenny yang bahkan tidak pernah menganggapnya sebagai anak. Dan ia telah kehilangan dua perempuan berharga itu.

Tidak ada yang bisa Rexan lakukan ketika tunangannya tewas dan tahu dengan sangat bahwa ibunya membenci dirinya. Hatinya mungkin gelap, tetapi untuk sang ibu. Selalu ada secercah cahaya harapan kalau Jenny akan berubah.

Terkadang Rexan bertanya-tanya. Seperti apa rasanya memiliki seorang ibu? Seperti apa rasanya disayangi oleh ibu? Seberapa hangatkah rasanya dipeluk oleh ibu? Pertanyaan sederhana semacam itu sangat ingin ia rasakan. Tetapi jalan hidupnya tak membiarkannya merasakan itu.

Sekarang hanya Elsa. Hanya Elsa yang ia miliki saat ini. Gadisnya yang kini begitu memercayai ibunya. Jenny tentu saja berbahaya, maka dari itu Rexan tidak ingin Elsa bertemu muka dengan Jenny lagi.

"Kamu tak akan percaya, kan?"

Gerakan tangan Elsa untuk menyuap sendok ke mulutnya terhenti. Kemudian sendok itu kembali ia turunkan. Kepalanya menggeleng beberapa kali menunjukkan ketidakpercayaannya. Ia ingin percaya, apalagi Rexan nampak sangat sedih saat menceritakannya. Tetapi...

"Tidak. Itu sama sekali tidak mungkin, Rexan. Bibi baik padaku."

Rexan tersenyum muram, "Kamu terlalu polos untuk percaya. Aku tidak memintamu percaya padaku, tapi itulah kenyataannya. Karenanya, sekali lagi kuminta, ah, tidak. Kumohon padamu untuk tidak menemui ibuku lagi." diremasnya tangan kiri Elsa yang baru ia raih dengan tangan kanannya, "aku menyayangi kalian, sungguh, aku tidak ingin salah satu dari kalian membuatku harus memilih. 

Berjanjilah padaku untuk tidak menemui ibuku lagi. Karena sangat sulit bagiku untuk berada di antara kedua orang yang kusayangi yang salah satunya membenci yang lain. Promise me, Els. Tolong aku supaya aku tidak harus kehilangan salah satu dari kalian. Aku mencintai kalian sama besarnya."

Mata Elsa memanas. Rexan mencintai ibunya, Elsa percaya itu setelah mendengar nada putus asa dari perkataan yang baru Rexan ucapkan. Jenny juga terlihat mencintai Rexan. Keduanya membuat dirinya bingung.

"Dan..." Rexan menggantung ucapannya, ia nampak ragu namun berusaha keras untuk melanjutkan, ia ingin Elsa lebih berhati-hati.

"Dan apa?" pancing Elsa was-was. Ia sudah siap mendengar apapun yang akan Rexan katakan.

"Ibuku... sakit jiwa, Els."

Elsa menarik tangannya. Sakit jiwa?

"Ta-tapi..."

"Ibu memang tampak seperti orang waras pada umumnya, karena nyatanya dia tidak gila. Tetapi sebenarnya jiwanya..." Rexan mendesah, tak mampu melanjutkan perkataannya yang berisi kenyataan. "karena itu, aku memintamu untuk tidak berurusan dengan ibuku."

Elsa menghela napas setelah berpikir gamang, "Aku tidak bisa berjanji. Tapi aku akan berusaha." bisiknya memilih jalan tengah. Ia akan berusaha untuk tidak berurusan dengan Jenny. Tetapi bila Jenny yang tiba-tiba menemuinya, bagaimana? Ia juga tak mau membuat Jenny curiga dan melakukan hal yang berbahaya.

"Tak apa, itu sudah cukup. Sekarang habiskan makananmu."

Elsa melirik piring di hadapannya. Pancake-nya masih tersisa cukup banyak, tapi ia sudah tidak berselera lagi. Ia memasang wajah memohonnya kepada Rexan, berharap Rexan paham akan selera makannya yang sudah lenyap.

"Tidak. Jangan ada makanan sisa." ujar Rexan tegas.

Elsa menunduk seraya membuang napas pelan. Ia merasa deja vu. Dulu Rexan marah besar dan menyakitinya juga karena makanan. Elsa ingat betapa Rexan sangat menghargai makanan sesedikit apapun itu. Rexan akan marah ketika ia tidak menghabiskan makanannya.

Saat itu Jon yang menjadi korban, padahal semuanya salah Elsa. Elsa yang merasa kesal karena Rexan selalu mengaturnya mencoba pergi dari rumah Rexan. Ia hanya panik saat itu untuk bersmbunyi dari Rexan hingga tak berpikir dua kali langsung memeluk Jon. Alhasil Jon harus menerima pukulan Rexan.

Memikirkan hal itu membuat Elsa sadar betapa posesifnya Rexan padanya. Dari sana saja Elsa sudah yakin tentang cinta yang Rexan miliki untuknya. Rexan hanya ingin menjaganya tetap di sisi lelaki itu. Harusnya ia paham sejak dulu tentang hal itu. Bukan justru ikut berpikir bahwa Rexan sama sekali tidak memercayainya dan malahan membuatnya memendam kecewa seperti tempo hari yang ia katakan kepada Kenia. Rasa bersalah itu memukulnya dengan telak.

"Hei, tidak apa-apa. Jangan dihabiskan kalau sudah kenyang. Tapi jangan menangis begini."
Elsa mengerjap, dan saat itu ia baru tersadar kalau matanya basah. Rexan sudah berdiri di sebelahnya, mengusap puncak kepalanya dengan lembut.

"Aku tidak memaksa, Els. Tidak lagi."

Elsa melingkarkan lengannya ke pinggang Rexan. Wajahnya membenam di perut padat lelaki itu. Ia menghirup wangi parfum Rexan dari kemeja yang Rexan pakai lantas mengulum senyumnya. Tiba-tiba merasa sangat beruntung bisa memiliki Rexan yang mencintai dirinya.

Rexan membawa Elsa berdiri di hadapannya, "Kenapa?" tanyanya lembut sambil menyeka sisa air mata di pipi Elsa.

"Tidak apa-apa." jawab Elsa ringan. Ia menarik tangan Rexan, menuntun lelaki itu supaya duduk di sofa ruang tamu. Ia menyusul duduk di sebelah Rexan dan bergelung nyaman di pelukan lelaki itu.

"Aku suka berada di pelukanmu."

"Aku juga senang memelukmu." Rexan mendongakkan dagu Elsa, "dan sangat senang bisa menciummu begini." ia menanamkan ciumannya di bibir ranum Elsa.

Elsa menarik kepalanya menyudahi ciuman dari Rexan, ia membelai pipi Rexan dengan senang.

"Ceritakan tentang kamu dan tunanganmu. Di mana kalian bertemu?"

Rexan meraih tangan Elsa, menggenggamnya setelah mendorong kepala Elsa bersandar di pundaknya.

"Kami berada di perguruan tinggi yang sama, tapi berbeda fakultas. Aku tidak tahu persis kapan aku mencintainya, yang jelas aku merasa nyaman berdekatan dengannya sampai tidak berpikir lagi ketika aku memintanya untuk menjadi tunangannku."

"Bagaimana caramu menyatakan perasaan padanya?"

Rexan terkekeh, "Aku tidak pernah menyatakan perasaan pada wanita manapun, sayang. Berterimakasihlah karena kamu yang pertama yang menerima ucapan cintaku. Cella dan aku sebaya, kami saling membutuhkan dan kami memulai hubungan. Aku tahu aku mencintainya dan dia mencintaiku. Itu sudah cukup bagi kami."

"Tidak ada pernyataan cinta?"

"Tidak ada."

"Dan kamu tidur dengannya?"

"Yeah."

Elsa menegakkan punggungnya dan menatap Rexan tak percaya, "Kamu tidak mengatakan cinta padanya tapi kamu tidur dengannya? Kamu keterlaluan sekali!"

Rexan mengangkat sebelah alisnya, "Apa yang salah dengan itu? Dan kenapa kamu yang kesal?"

"Jelas saja aku kesal. Aku perempuan. Dan aku pantas merasa kesal saat seorang lelaki hanya meniduriku tanpa menyatakan cinta padaku."
Rexan tersenyum mengejek, ia mendorong Elsa terlentang dan mengurung gadis itu dengan kedua lengannya.

"Bukannya saat aku menidurimu aku juga belum menyatakan cintaku padamu? Jadi kamu merasa kesal padaku saat itu?"

Elsa terdiam memikirkan jawaban dari pertanyaan Rexan. Lebih tepatnya mengingat-ingat apakah dia kesal saat Rexan mengambil mahkotanya kala itu.

"Dan yang kuingat, kamu tidak kesal sama sekali. Justru kamu menyukai sentuhanku. Kamu mendesah dengan merdu saat aku mencumbui tubuhmu lalu memasukimu." Rexan menyeringai melihat pipi Elsa bersemu.

Tanpa bisa menahan diri, Rexan menunduk untuk mengecup pipi Elsa. Ia merengkuh pinggang gadis itu dan membalikkan posisi mereka, memeluk Elsa di dadanya dengan sayang.

"Saat menjalin hubungan dengan Cella, aku belum pernah meniduri perempuan mana pun. Itu terjadi saat Cella sudah meninggalkanku. Aku melampiaskan kesedihanku kepada perempuan-perempuan yang memberikan tubuhnya dengan sukarela padaku."

"Berapa banyak korban dari kesedihanmu itu?"

"Ellysa, aku tidak menghitung seberapa banyak perempuan yang kubawa ke tempat tidurku. Bahkan nama-nama mereka saja sebuah kejaiban bila aku mengingatnya."

"Kejam sekali." Elsa mendengus sarkastik, "aku tidak mau menjadi salah seorang dari yang kamu tinggalkan." suaranya melirih.

Rexan mengubah posisinya menjadi duduk hingga Elsa kini berada di pangkuannya. Ditatapnya Elsa dengan tajam. Egonya tersentil mendengar perkataan Elsa.

"Bicara apa kamu, Els? Apa yang selama ini aku lakukan padamu tidak berarti hingga kamu bisa berpikir begitu?" tanyanya tanpa menyembunyikan kesakitan pada suaranya.

Elsa terhenyak. Ia menatap Rexan penuh rasa bersalah dan juga serba salah. Ternyata perkataannya tanpa sadar telah melukai Rexan. Akhirnya ia hanya memeluk Rexan, menenangkan lelaki yang tubuhnya sudah kaku itu.

"Maafkan aku. Aku tidak berpikir saat mengatakannya. Itu murni kesalahanku. I'm sorry."
Rexan memejamkan mata, perlahan ia balas memeluk Elsa. Sedemikian erat menyatakan betapa Elsa teramat dicintainya.

"Masa laluku, berikut reputasiku memang buruk. Aku akui hal itu. Tetapi jika sudah tentangmu, aku lebih dari sekedar serius, Els. Seburuk apapun diriku, aku akan berusaha memberi yang terbaik untukmu meski mungkin caraku sedikit kasar. Namun inilah aku."

"Ya, aku mengerti, Rexan. Aku mengerti. Aku menyayangimu dengan segala caramu yang kamu bilang sedikit kasar. Tetaplah begitu."

Rexan mengecup pelipis Elsa, lalu memeluknya lagi. Tidak ingin kedekatan itu menyisakan ruang. Kalau bisa, ia ingin mendekap Elsa selamanya.

***

Next: Beautiful Desire - 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan sopan yaa :)

My Step Brother - 6 (Ending)

Chapter 6 ( Ending) Dua hari kemudian Bian membuka akun instagramnya. Gerahamnya segera saja bergemeletuk menahan geram ketika menda...