NOT FOR UNDERAGE
Elsa penasaran dengan
wajah murung Kenia hari ini. Temannya itu belum membuka suara sama
sekali dari pagi sampai jam istirahat kedua saat ini. Padahal biasanya
Kenia yang aktif mengajaknya berbicara tentang topik apapun yang
menarik. Mereka berada di atap sekolah, tempat tenang yang Elsa temukan
beberapa hari lalu. Kenia menumpukan kedua sikunya ke pagar pembatas
atap, dan lagi-lagi menghembuskan napas kasar. Hal itu sudah
dilakukannya sejak tadi.
"El, apa menurutmu kalau aku hamil Aidan akan bertanggung jawab?" tanya Kenia lesu.
Elsa menoleh cepat, "H-hamil? Bagaimana bisa?" tanyanya terkejut.
Kenia mengangguk.
"Kamu bisa membagi
ceritamu padaku, kamu bilang kita adalah teman. Masalahku adalah
masalahmu. Begitu pula sebaliknya." Elsa mengaku jika berteman dengan
Kenia sangatlah menyenangkan, sifat dan sikap yang Kenia tunjukkan
tidaklah dibuat-buat untuk mencari muka.
Semuanya alami karena Kenia
benar-benar ingin berteman dengannya.
"Kupikir aku hamil. Kamu
tau, kami sudah sering melakukan hal itu, maksudku bercinta. Terlebih
akhir-akhir ini aku sering pusing dan mual di waktu tertentu."
Astaga, Elsa tak tahu kalau Kenia sudah berhubungan fisik lebih jauh.
Elsa mengusap lengan Kenia menenangkan. "Aidan pasti bertanggung jawab, aku yakin itu. Apa kamu sudah memastikan tentang ini?"
Kenia menggeleng, "Belum. Aku takut melihat hasilnya. Aku tak siap menjadi seorang ibu di usiaku sekarang ini."
"Lebih baik kamu pastikan dulu, sepulang sekolah aku akan menemanimu membeli testpack. Bagaimana?"
Kenia tersenyum sambil mengangguk.
.
.
.
.
Elsa
ikut merasa was-was menunggu hasil testpack Kenia. Kedua gadis itu
memekik bersamaan lalu berpelukan erat ketika melihat hanya ada satu
garis di testpack itu, pertanda negatif.
"Negatif! Ya ampun! Aku lega sekali Elsa!"
Elsa tertawa kecil, "Aku ikut lega. Aku juga tak setuju kalau kamu hamil mendahuluiku."
Kenia terkikik mendengar
gurauan Elsa. "Lihat saja nanti siapa yang lebih dulu punya anak. Pasti
aku dan Aidan karena kami sudah memulai prosesnya lebih dulu."
"Ya ya, terserahmu saja. Kupikir Aidanmu sudah menunggu terlalu lama di bawah."
Kenia memekik seperti
baru ingat kalau Aidan sudah menjemputnya di bawah. "Ya ampun, aku lupa!
Ya sudah, aku pulang dulu." teman Elsa itu mengecup pipi Elsa genit
sebelum berlari sambil terkikik mendengar gerutuan kesal Elsa.
"Els!"
Itu suara Rexan. Lelaki
itu kini mengetahui sandi apartementnya. Dengan terpaksa Elsa
memberitahunya karena ancaman mengerikan yang Rexan layangkan padanya.
Lengan Rexan memeluknya dari belakang, dagu lelaki itu ditumpukan di pundaknya. "Kemana saja sepulang sekolah?"
Elsa menghindar dengan halus, berdalih dengan mengambil minuman di kulkas. Lelaki itu mengekor langkahnya. "Kemana?"
"Membeli sesuatu bersama Kenia. Urusan wanita, kamu tak perlu tau."
Rexan mendudukkan Elsa
di meja makan lalu menyatukan keningnya dengan kening gadis itu. "Aku
merindukanmu. Seharian tak melihatmu membuatku hampir gila."
Bibir mereka begitu
dekat, Elsa bisa merasakan napas panas yang menguap dari bibir Rexan
yang terbuka. Ia menunduk ketika Rexan hendak menciumnya. "A-aku harus
menghubungi ayahku."
"Aku harus menciummu sekarang."
"Kamu selalu
melakukannya." suara Elsa semakin lirih dan kepalanya semakin menunduk
dalam. Terlihat seperti keningnya menyandar di pundak Rexan.
"Dan kamu selalu menolaknya." Rexan mengecup pelipis Elsa. "Kamu satu-satunya perempuan yang menolakku." ia terkekeh.
Menangkup kedua sisi
kepala Elsa, Rexan mendongakkannya. Ia tenggelam dalam tatapan redup
bola mata berwarna biru itu. Gadis itu menggigit bibir bawahnya.
"Kenapa kamu masih
menghindar sedangkan kamu menginginkan aku sama besarnya dengan aku
menginginkan kamu? Tubuh kita saling mendamba Elsa." bisik Rexan parau.
"Apa kamu sedang mencoba merayu gadis di bawah umur untuk bercinta denganmu?"
Rexan mengecup bibir
Elsa gemas. "Kamu memang pintar merusak rencana yang kubuat. Padahal aku
yakin sebentar lagi aku berhasil melihat isi celana dalammu."
Elsa tertawa kecil, dan
Rexan tertegun karenanya. Tawa gadis itu begitu merdu di telinganya,
serasa ia mau melakukan apa saja untuk mendengar tawa itu lagi. Desir
hangat merambati pembuluh darahnya.
"Kenapa baru sekarang?" tanyanya yang tak Elsa mengerti. "Tertawa di depanku. Kenapa baru sekarang kamu lakukan?"
Elsa mengernyit, "Maksudmu?"
"Aku suka mendengar tawamu, aku menyukai caramu tertawa. Kamu terlihat semakin manis saat melakukannya."
Pipinya terbakar
sekarang, panas sekali sampai Elsa harus menangkupnya dengan kedua
telapak tangannya. "Kamu membuatku malu." katanya dengan senyum ditahan.
"Nah, apa sekarang kamu bersedia memberiku sebuah ciuman panjang?"
Elsa mengangguk
malu-malu, rona wajahnya semakin terlihat ketika kedua tangan yang
digunakannya untuk menangkup pipi kini bertaut di belakang leher Rexan.
Lelaki itu menunggu dengan sabar. Elsa mendekatkan wajah sambil sedikit
menarik Rexan menunduk. Bibir mereka hanya menempel selama tiga detik,
di detik ke empat Elsa mulai melumat dengan gerakan amatir dan
asal-asalan. Namun begitu, tak urung Rexan merasa senang. Lelaki itu
mengerang karena gigitan Elsa di bibirnya terlalu keras hingga
menyebabkan luka kecil. Ia merasakan gelagat Elsa yang hendak menjauh,
karenanya segera saja ia mengambil alih kendali ciuman itu. Saling
berbalas lumatan dan hisapan dengan Elsa.
"Mmmh.. hmm.." gumam
Elsa tak jelas. Terlihat sekali gadis itu begitu menikmati ciuman mereka
yang semakin menuntut saling membutuhkan.
Rexan memindahkan ciumannya ke rahang Elsa, turun ke leher gadis itu dan memberi gigitan kecil di denyut nadinya.
Tangannya menelusup ke
balik kaos Elsa, menuju punggung gadis itu untuk melepas pengait branya.
Setelah terlepas, tangan kanannya beralih ke bagian depan tubuh Elsa,
menuju payudara ranumnya sementara tangan kirinya bertahan di punggung
gadis itu, memeluknya erat.
"Aah.. Rexann.. ughh.."
Gerakan Rexan begitu
halus, sebisa mungkin membuat Elsa tenggelam dalam pusaran gairah yang
tengah ia ciptakan. Ia tak ingin gadis itu ketakutan dengan perilakunya
yang terbiasa kasar setiap berhubungan seks. Ia meloloskan kaos
sekaligus bra dari tubuh gadis itu.
"Rexan.. a-aku.."
"Ssh.. aku tak kan
memaksamu. Katakan berhenti dan aku akan berhenti." Rexan mengecup kedua
kelopak mata Elsa. Lalu ia kembali melumat bibir gadis itu. Masih
dengan posisi sama ia membawa gadis itu ke kamar, merebahkannya
hati-hati sebelum kemudian ciumannya turun lagi dan berlabuh di dada
Elsa.
Rexan meniupkan napas
panasnya di puncak payudara Elsa, efeknya ia mendengar erangan indah
dari bibir gadis itu. "Bolehkah aku mengecupnya Els?" niat Rexan hanya
menggoda. Tapi reaksi Elsa lebih menyenangkan dari harapannya. Gadis itu
menjambak rambutnya dan mengarahkan kepalanya ke tempat yang memang
Rexan tuju.
Rexan membuka mulutnya,
memasukkan puting kanan Elsa lalu menghisapnya seperti seorang bayi yang
tengah menyusu pada ibunya. Ia melakukan hal sama terhadap payudara
kiri Elsa. Memujanya dengan sentuhan-sentuhan panasnya.
Cukup. Kalau Elsa
membiarkan Rexan bertindak lebih jauh, ia tak menjamin bisa
mempertahankan mahkotanya sampai esok pagi. Elsa melengkungkan
punggungnya dan melenguh panjang.
"S-sudah.. ohh.. b-berhen.. hh.."
Rexan semakin kuat
memakan payudara Elsa, mulut dan tangannya bekerjasama memanjakan gadis
itu. Yang satu dihisap yang lain diremas.
"Berhenti.." Elsa
menahan kepala Rexan. Menggeleng pelan ketika Rexan menatapnya tak
setuju.
"Kamu berjanji tidak akan memaksaku."
Menghembuskan napas
berat Rexan pun mengangguk. Ia harus sabar. Elsa bukanlah perempuan
murahan seperti yang sering ditidurinya. Gadis itu istimewa.. di mata
Rexan.
"Aku butuh air dingin."
gumamnya serak. Setelah mengecup kening Elsa ia beranjak ke kamar mandi.
Dan baru keluar delapan puluh menit kemudian ketika Elsa sudah tidur.
Godaan berat lagi-lagi harus dilaluinya. Mandi air dingin serasa tak
berguna ketika ia memeluk tubuh mungil gadis itu dan gairahnya seketika
memuncak.
Elsa belum tidur. Gadis
itu hanya menutup mata dan mengatur napas seteratur mungkin agar
terlihat sedang tidur. Deru napas Rexan terasa di tengkuknya karena
lelaki itu menenggelamkan wajahnya disana. Ia tahu hasrat lelaki itu
tengah tinggi dan lelaki itu menahannya. Elsa bisa merasakannya dari
semakin mengerasnya kejantanan Rexan mengganjal celah bokongnya. Lelaki
itu seperti sengaja menempatkan diri disana lalu menggesek-gesekkannya.
Elsa menggigit bibir
bawahnya kuat-kuat. Mendengar Rexan mendesah kecil membuatnya ingin
mendesah juga. Sesungguhnya ia menginginkan hal yang sama dengan Rexan.
Bisa saja ia membiarkan Rexan bercinta dengannya, tapi ia menahannya.
Oh, ayolah. Mereka bahkan baru bertemu, Elsa bukan wanita panggilan yang
menyambut penis manapun memasuki vaginanya dengan mudah!
Deru napas Rexan sudah teratur, lelaki itu juga tak bergerak seperti tadi. Akhirnya Elsa bisa terlelap dengan tenang malam ini.
***
Next: Beautiful Desire - 06
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan yaa :)